Langsung ke konten utama

Komersialisasi Asmara di Banda Aceh

Sebut saja namanya Nisa, bukan nama sebenarnya, gadis perantau dari salah satu kabupaten di Aceh yang hijrah ke Banda Aceh untuk mencari pekerjaan. Ia hanya lulusan SMA, oleh karena itu, ia hanya bisa mengakses pekerjaan yang terbatas di kota. Ia bekerja sebagai pramuniaga di sebuah toko kosmetik. 

Gaji rata-rata pramuniaga di toko-toko pakaian, kosmetik, ponsel dan lain-lain di Banda Aceh rata-rata berkisar di bawah upah minimum. Bahkan bisa berkisar hanya separuh dari upah minimum provinsi. Meski digaji rendah, permintaan untuk lowongan ini tak pernah sepi. Rata-rata yang bekerja sebagai pramuniaga adalah perempuan berusia di bawah 30 tahun. Mayoritasnya adalah perempuan perantauan dari berbagai kabupaten di Aceh. 

Nisa terbilang gadis belia yang berparas elok. Wajahnya sebagaimana perempuan khas Aceh, terlihat menawan dengan hidung mancung, wajah tirus, dan bermata bulat. Tampilannya pun terbilang modis. Pakaian yang ia kenakan dan gadget yang ia pakai terlihat mewah, seakan tak sebanding dengan gajinya yang terbatas. 

Tanpa bermaksud melakukan generalisasi bagi tiap gadis perantau di Banda Aceh, namun berdasarkan hasil investigasi ringan dan wawancara dengan beberapa narasumber, kami berhasil menghimpun beberapa fakta tentang gadis perempuan perantau seperti Nisa. 

Nisa diketahui kerap berkencan dengan para pria. Hubungan Nisa dan para pria ini jika sekilas diperhatikan, seperti hubungan asmara biasa. Namun jika ditelisik lebih jauh, terkesan pelik dan rumit. 

Nisa kerap mendapatkan sejumlah uang dari teman prianya. Ia bukan seorang (maaf) pekerja seks komersil. Ia juga punya pekerjaan tetap yang terhormat. Namun hubungan asmaranya dengan pria yang jadi teman kencannya menjadi hubungan asmara yang bisa dibilang, memiliki unsur komersil.

Dari kenalan prianya, Nisa bisa meminta untuk diberikan sejumlah uang. Dia juga meminta untuk dibelikan berbagai keperluannya. Nisa juga tak perlu terikat dengan hubungan asmara konvensional yang kita kenal dengan nama pacaran. Tidak ada komitmen khusus dalam hubungan itu. Ia dan teman prianya menikmati hubungan simbiosis mutualisme diantara mereka tanpa komitmen yang jelas. Nisa juga tak terikat komitmen untuk tidak menjalin hubungan dengan pria lain. 

Dengan pola hubungan asmara yang komersil ini, Nisa dapat bertahan hidup di Banda Aceh meski dengan gaji yang kecil. Ia juga bisa memenuhi kebutuhan dan gaya hidupnya yang terbilang tidak murah. Sebagai seorang perantau dari kampung, ia merasa tak terikat dengan aturan moral dan sangsi sosial yang sebetulnya masih dipegang kuat oleh masyarakat Aceh. Di Banda Aceh, ia bebas hidup tanpa aturan adat, pengawasan keluarga dan norma sosial sebagaimana yang ada di kampung. 

Jika fenomena komersialisasi asmara ini dianggap karena faktor kemiskinan dan kesejahteraan semata, masih banyak pekerja lain dengan tingkat penghasilan yang setara, namun tetap bisa hidup dengan normal. Ada faktor lain yang terjadi bersamaan dengan faktor kemiskinan, keterbatasan lapangan kerja dan biaya hidup tinggi yang terjadi di daerah kita. 

***

Secara sosial, dinding-dinding sekat sosial yang membatasi ruang-ruang sosial seperti desa atau kampung, daerah dan ibukota, telah roboh. Selama ini desa atau kampung menjadi sebuah ruang sosial dan wilayah yang dipagari oleh jarak hidup dengan aturan norma dan nilai yang mengatur gaya hidup masyarakatnya secara khas dan berbeda dengan wilayah lain di luarnya. 

Hal-hal yang sebelumnya merupakan kebiasaan yang tabu dan dihindari bagi masyarakat di suatu tempat yang memiliki tradisi, kini didobrak oleh banyak kebiasaan baru yang mengguncang nilai dan norma yang ada. 

Norma, nilai dan gaya hidup di ruang sosial disebut dengan tradisi. Tradisi desa dan kampung dihadapkan dengan kota, atau daerah seperti Aceh dihadapkan dengan ibukota Jakarta, punya tradisi yang berbeda. Tradisi itu seakan dihadapkan pada ancaman perubahan oleh tampilan kehidupan kemewahan kota yang senantiasa ditampilkan di media sosial. 

Media sosial menjadi alat yang menampilkan kehidupan dengan pola yang sama sekali jauh berbeda, bahkan bertentangan dengan tradisi kampung dan daerah yang selama ini bertahan berkat isolasi teritorialnya. Media sosial telah menjadi senjata kebudayaan yang menjadi musuh utama tradisi. Media sosial menjadi semacam senjata destruktif yang mengancam tradisi dan tatanan masyarakat tradisional. 

Kapitalisme telah menggunakan media sosial sebagai senjata untuk menciptakan masyarakat yang konsumtif. Melalui revolusi gaya hidup yang ditawarkan di media sosial, bermaksud menjadikan masyarakat sebagai konsumen yang secara psikologis terpikat untuk terus membeli produk-produk kapitalisme, bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup semata, melainkan membeli produk untuk mendapatkan sensasi atau kepuasan psikologis melalui afirmasi sosial sebagai seorang yang ikut trend, dianggap berkelas, punya status sosial dan sensasi semisal lainnya. 

Thorstein Veblen, seorang ekonom dan sosiolog abad ke-19 terkenal dengan istilah "conspicuous consumer" dalam bukunya "The Theory of the Leisure Class" (1899). Conspicuous consumer menurut Veblen merupakan cara untuk menunjukkan status sosial seseorang, terutama ketika barang dan jasa yang dipajang di depan umum terlalu mahal bagi anggota kelas yang sama. Jenis konsumsi ini biasanya dikaitkan dengan orang kaya tetapi dapat juga berlaku untuk kelas ekonomi mana pun.

Jean Baudrillard, seorang filsuf posmodernisme abad ke-20 mengungkap tentang budaya konsumerisme yang terjadi hari ini. Ia mengatakan bahwa dalam budaya konsumerisme, yang kita beli bukan hanya sebatas produk, melainkan sebuah penanda, simbol atau bahasa–ia menyebutnya signifier effect–yang menciptakan makna atau kesan tentang siapa kita. Pola konsumsi kita, secara semiotik, terkait dengan cara kita memproduksi identitas kita secara psikologis dalam pandangan dan kesan masyarakat. Konsumen di era pasca modern yang tanpa makna ini tidak punya pilihan lain, selain terus mengonsumsi produk dengan berharap untuk dapat memenuhi hasratnya dalam memberi makna terhadap hidup. 

Bagi Baudrillard, konsumerisme bukan hanya sebatas sistem ekonomi, namun menjadi sebuah cara bagaimana masyarakat pasca modern berfungsi. Produk-produk adalah simbol dan menerangkan tentang diri kita lebih dari yang disadari. Konsumerisme menjadi alat untuk menemukan tempat tersendiri di dalam masyarakat dan alat untuk menentukan keadaan sosial. Konsumerisme menjadi alat untuk menjadi seperti yang kita inginkan dan menentukan bagaimana dunia melihat kita. 

Baudrillard percaya bahwa media dan budaya siber (media sosial hari ini, pen) bertanggung jawab atas terciptanya masyarakat konsumerisme. Ia percaya bahwa citra dan pengalaman yang diciptakan oleh media ini memiliki dampak besar pada sistem ekonomi pascamodern.

Dengan pola seperti yang dijelaskan di atas itulah Nisa berupaya untuk mencari pemaknaan melalui gaya hidup, produk fesyen dan tampilan yang elegan dan memukau dengan perawatan wajah dan kulit, yang semuanya membutuhkan biaya yang tidak murah. 

Kencan menjadi jalan yang ia tempuh untuk memenuhi kebutuhan finansial agar tampak mewah dan menawan bak artis dan influencer media sosial yang kerap ia ikuti. Dengan demikian, ia dapat membentuk citra dan menentukan kelas sosialnya di antara perempuan lain yang ada di lingkungan sosialnya. 

Meski berasal dari kampung, dengan upaya mempercantik diri dan berpakaian menawan, ia berharap nantinya akan mampu melakukan pansos (panjat sosial, dalam istilah sekarang) untuk mengganti dan menemukan status dan pandangan sosial baru di Banda Aceh, sebagai perempuan kota yang menarik dan berkelas. Ia membeli capaian dan status sosial baru itu dengan uang pria yang ia kencani, melalui hubungan asmara yang dikomersialisasi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Banda Aceh Kota Tua Bersejarah, Kini Kehilangan Banyak Bangunan Bersejarah

Kota Banda Aceh adalah salah satu kota tertua yang ada di Indonesia. Berdirinya kota ini ditandai dengan awal mula kerajaan Aceh di tahun 1205 yang didirikan oleh Sultan Johan Syah.  Kota Banda Aceh selama ratusan tahun menjadi kota pelabuhan penting di Kepulauan Nusantara. Kapal-kapal dagang yang masuk ke wilayah Nusantara untuk berdagang dan membeli hasil alam berupa rempah-rempah, terlebih dulu singgah di Aceh. Tak hanya pedagang Muslim dari Arab, Turki dan Gujarat, pedagang dan penjelajah asal Eropa juga turut menyinggahi Aceh. Banda Aceh digambarkan sebagai kota pelabuhan yang menjadi pusat perdagangan penting. Kota ini dibelah oleh sebuah sungai yang oleh penduduk lokal disebut dengan Kreung Aceh. Di tengah-tengah kota terdapat Istana Kerajaan yang di dalamnya mengalir sungai buatan yang dikenal dengan nama Krueng Daroy. Sungai ini dibuat mengalir melintasi istana dan bersambung alirannya dengan Kreung Aceh.  Ketika Aceh takluk oleh kolonial Belanda di tahun ...

Banda Aceh Yang Berubah: Potret Sosiologis Kota Banda Aceh

Garuda Theatre, salah satu bioskop di Band Aceh tempo dulu. Foto   FOTO/roeshanny.wordpress.com. Banda Aceh dahulu, sebelum tsunami, mungkin akan menjadi kenangan nostalgia yang manis bagi warganya. Khususnya bagi mereka yang lahir, besar dan beranjak dewasa di kota ini. Dari pengalaman saya mendengarkan penuturan warganya, khususnya yang berusia lebih tua dari saya, Banda Aceh dalam ingatan mereka begitu indah.  Indahnya ingatan itu, karena Banda Aceh adalah kota yang menjadi tempat segala kisah masa kecil, remaja dan menjadi dewasa, mengambil tempat di kota ini. Saya yang lahir dan besar di kota ini, juga mengenang betapa manisnya kisah masa lalu itu. Saya coba merekam potret sosiologis kota ini di era 90’an hingga 2000’an hingga menjelang tsunami. Corak sosiologis yang tak hitam putih, bahkan saya juga coba mengangkat sisi gelap yang pernah ada di kota ini. Sebagaimana menulis sejarah, gambaran utuh harus dihadirkan. Keutuhan itu juga berupa konfigurasi sosial, patolog...