Langsung ke konten utama

Orang Aceh di Malaysia, Ibarat Imigran Asal Sicilia di New York


Kehidupan modern punya kecenderungan merenggangkan tatanan keluarga. Nilai, norma, dan sistem tatanan moral pertama kali dibentuk dalam tatanan sistem keluarga. Rusaknya tatanan keluarga adalah awal dari hancurnya sebuah bangsa. 

Warga keturunan asal Sisilia, wilayah di Selatan Italia yang banyak berhijrah ke Amerika Serikat, di antaranya kota New York, mereka turut membawa sistem tatanan keluarga, sosial, dan kebudayaan di kampung asal mereka ke tempat mereka hijrah. 

Dalam menghadapi kehidupan modern, mereka bertahan dengan tradisi. Tradisi bagi warga Sisilia adalah ruh yang harus dipertahankan. Mereka menjaga sistem kekerabatan, sistem keyakinan dari agama kristen katolik yang juga sangat mempengaruhi tradisi mereka. Tiap warga Sisilia yang lahir dan dibaptis, mereka punya bapak baptis. Biasanya adalah tokoh dari keluarga feodal berpengaruh yang menjadi bapak baptis bagi anak-anak mereka. 

Tradisi yang merekatkan sistem kekerabatan dan sosial juga menjadi kekuatan mereka dalam membangun jejaring bisnis hingga banyak muncul tokoh-tokoh besar keturunan Sisilia yang berjaya di New York. 

Dalam tradisi warga Sisilia, ada keluarga-keluarga berpengaruh, dimana kepala keluarganya dipanggil Don, tokoh ini menjadi patron yang menjamin kelangsungan hidup mereka yang berada di bawah jejaring sub-ordinatnya. Jejaring patron-klien ini sudah ada sejak mereka belum hijrah ke AS. 

Sebagai masyarakat yang mempertahankan karakteristik komunal, maka mudah bagi mereka untuk bekerja sama membangun sebuah kekuatan di tengah masyarakat urban AS yang kehidupannya sudah cenderung individual. Mereka tidak punya banyak orang untuk bisa digerakkan untuk tujuan tertentu. 

***

Praktik masyarakat komunal Sisilia di New York yang sudah ditulis di banyak novel dan difilmkan dalam banyak film bergenre Mafia ini bisa kita lihat dari kehidupan masyarakat Aceh di Kuala Lumpur. Masyarakat Aceh di Kuala Lumpur dengan warga Sisilia di New York hampir mirip. Meski tidak ada istilah seperti Don. Namun mereka punya kemiripan yang tak tampak jika diperhatikan.

Orang-orang Aceh di Kuala Lumpur banyak melahirkan tokoh-tokoh yang cukup berpengaruh secara sosial dan politik. Mereka juga cukup sukses dalam dunia bisnis gerai retail di ibukota negeri Semenanjung Melayu itu. Ada beberapa gelombang kedatangan orang Aceh di Malaysia yang tiap gelombang/fase kalau di lihat dalam periodesasi waktu, punya perbedaan masing-masing. 

Kesempatan kemarin, saya sempat mengunjungi seorang yang saya anggap bos dalam bisnis di sebuah rumah makan di Chow Kit, Little Italia-nya Kuala Lumpur bagi warga Aceh. Kami berbincang banyak hal dengan santai. Banyaknya yang kami bincangkan adalah perihal kampung halaman. Soal keadaan masyarakat di Aceh, geliat pasar, dan juga hal remeh-temeh lain yang memancing gelak tawa. 

Di Malaysia, bisa dibilang mereka turut bergerak untuk membantu program-program keagamaan dan sosial kemanusiaan di kampung halaman. Mereka punya sense of belonging yang baik. Kontribusi dalam hal-hal kecil sudah menunjukkan niat baik mereka untuk membantu kampung halaman. 

Soal siapa orang Aceh ke depan yang menjadi leader atau Don. Ada tokoh yang sudah meninggal dan lanjut usia yang mana peran mereka perlu diganti oleh tokoh-tokoh muda yang cukup powerful dan masih punya tekad kuat untuk mempertahankan tradisi.

Salah satu diantara sekian tokoh Aceh paling berpengaruh adalah almarhum Tan Sri Sanusi Juneid. Beliau adalah mantan menteri di era Mahathir Mohammad. Beliau juga pernah menjabat Sekretaris Jendral UMNO, partai berkuasa di Malaysia di era Mahathir. Seperti Golkar di Indonesia.

Tan Sri Sanusi Juneid berasal dari Kampong Acheh di Yan, Kedah. Negeri federal di ujung Utara Malaysia. Kampung ini ada karena sejumlah imigran asal Aceh yang hijrah saat meletusnya Perang Aceh melawan invasi Belanda. Sebagian tokoh Aceh sengaja diungsikan ke Malaysia kala itu.

Di kampung tersebut, ceritanya, warga Aceh hidup dengan adat dan tradisi Aceh. Mereka juga masih menggunakan bahasa Aceh. Di kampung tersebut mereka dididik untuk mampu unggul dan bersaing dengan orang Melayu. Hingga akhirnya generasi Aceh pada masa itu banyak menjadi tokoh-tokoh yang berpengaruh di Malaysia.

Ketika terjadi konflik Aceh masa 80'an, Malaysia menjadi pilihan warga Aceh untuk menghindari konflik di kampung halaman mereka. Kini, Malaysia masih menjadi tujuan warga Aceh untuk merantau mencari kerja dan berharap mendapatkan penghidupan yang lebih baik.

Oleh: Jabal Sab

Mari dukung dan apresiasi karya ini dengan berdonasi, melalui link berikut: Trakteer

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Banda Aceh Kota Tua Bersejarah, Kini Kehilangan Banyak Bangunan Bersejarah

Kota Banda Aceh adalah salah satu kota tertua yang ada di Indonesia. Berdirinya kota ini ditandai dengan awal mula kerajaan Aceh di tahun 1205 yang didirikan oleh Sultan Johan Syah.  Kota Banda Aceh selama ratusan tahun menjadi kota pelabuhan penting di Kepulauan Nusantara. Kapal-kapal dagang yang masuk ke wilayah Nusantara untuk berdagang dan membeli hasil alam berupa rempah-rempah, terlebih dulu singgah di Aceh. Tak hanya pedagang Muslim dari Arab, Turki dan Gujarat, pedagang dan penjelajah asal Eropa juga turut menyinggahi Aceh. Banda Aceh digambarkan sebagai kota pelabuhan yang menjadi pusat perdagangan penting. Kota ini dibelah oleh sebuah sungai yang oleh penduduk lokal disebut dengan Kreung Aceh. Di tengah-tengah kota terdapat Istana Kerajaan yang di dalamnya mengalir sungai buatan yang dikenal dengan nama Krueng Daroy. Sungai ini dibuat mengalir melintasi istana dan bersambung alirannya dengan Kreung Aceh.  Ketika Aceh takluk oleh kolonial Belanda di tahun ...

Banda Aceh Yang Berubah: Potret Sosiologis Kota Banda Aceh

Garuda Theatre, salah satu bioskop di Band Aceh tempo dulu. Foto   FOTO/roeshanny.wordpress.com. Banda Aceh dahulu, sebelum tsunami, mungkin akan menjadi kenangan nostalgia yang manis bagi warganya. Khususnya bagi mereka yang lahir, besar dan beranjak dewasa di kota ini. Dari pengalaman saya mendengarkan penuturan warganya, khususnya yang berusia lebih tua dari saya, Banda Aceh dalam ingatan mereka begitu indah.  Indahnya ingatan itu, karena Banda Aceh adalah kota yang menjadi tempat segala kisah masa kecil, remaja dan menjadi dewasa, mengambil tempat di kota ini. Saya yang lahir dan besar di kota ini, juga mengenang betapa manisnya kisah masa lalu itu. Saya coba merekam potret sosiologis kota ini di era 90’an hingga 2000’an hingga menjelang tsunami. Corak sosiologis yang tak hitam putih, bahkan saya juga coba mengangkat sisi gelap yang pernah ada di kota ini. Sebagaimana menulis sejarah, gambaran utuh harus dihadirkan. Keutuhan itu juga berupa konfigurasi sosial, patolog...

Tentang Nelayan Membuang Ikan 3 Ton di Lampulo dan Potensi Industri Pengolahan Ikan

Nelayan membuang 3 ton hasil tangkapannya di Lampulo, Kamis, (2/5) karena hasil tangkapan nelayan kali ini membludak. Mengakibatkan harga ikan di pasar anjlok. Mereka terpaksa membuang karena jika dijual, mereka tetap rugi, sementara kondisi ikan mulai membusuk.  Kejadian ini sangat disayangkan mengingat potensi laut kita yang cukup besar. Jumlah tangkapan ikan di musim tertentu bisa membludak. Jika stok membludak, harga ikan bisa menurun drastis. Sementara jumlah ikan yang mampu ditampung di cold storage terbatas. Katanya, sejumlah cold storage yang pernah dibangun untuk menampung hasil tangkapan ikan di Aceh, tinggal 46 persen yang masih berfungsi. Sisanya sudah tidak bisa digunakan lagi.  Keadaan ini patut disesali. Pertama, pemerintah yang telah membangun infrastruktur cold storage untuk menampung ikan, sebagiannya rusak tak dapat digunakan lagi. Tentu ini masuk kategori pemborosan anggaran yang merugikan kita semua.  Kedua, sistem supply chain atau rantai dagang peri...