Jagat media sosial sempat dihebohkan dengan istilah “Korea” yang dipopulerkan oleh politisi senior PDI-P, Bambang Pacul. Korea bisa diartikan sebagai sosok yang memulai dan merintis karir politik dari bawah hingga sukses menjadi tokoh politik yang diperhitungkan. Bambang Pacul melahirkan istilah Korea bercermin dari kisah hidupnya sendiri. Ia sebagai “wong cilik” memulai karir politik dari level paling bawah. Dulu hidupnya susah, sering tak punya uang.
Saya dulu mendengar bahwa Bambang Pacul tiap pagi naik kereta ke kantor PDI-P. Disana ia baca semua koran dan majalah. Lalu dia membuat semacam laporan atau resume dan analisis tentang perkembangan politik aktual. Megawati, Ketua PDI-P, yang tak sempat membaca semua berita politik di media massa, merasa senang disuguhkan dengan rangkuman yang ditulis Bambang. Sejak itu ia jadi kader yang diperhitungkan dan akhirnya menemukan momentum untuk “melenting”, artinya momen dimana ia bisa menjadi seorang sosok yang melejit sukses menjadi tokoh penting.
Di salah satu podcast, Bambang Pacul bercerita tentang korea-korea yang sukses di dunia politik. Salah satunya adalah Setya Novanto, mantan Ketua Golkar yang dulunya hanya jadi pesuruh menemani “orang besar” bermain tenis. Ia disenangi oleh orang besar itu dan menemukan “galah” (istilah untuk mentor yang membesarkan) untuk bisa melenting.
Sebenarnya banyak orang-orang kecil, bukan siapa-siapa, bukan anak tokoh dan bukan anak orang kaya yang akhirnya bisa sukses menjadi politisi dan menjabat sejumlah jabatan politik. Ada yang memulai karirnya sebagai aktivis kampus seperti Akbar Tandjung yang merupakan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang akhirnya sukses menjadi Ketua Umum Partai Golkar.
Di usia dan era yang lebih muda, ada aktivis mahasiswa seperti Budiman Sudjatmiko dan Adrian Napitupulu. Keduanya adalah aktivis ’98 yang setelah reformasi terjun ke dunia politik. Keduanya kemudian sempat menjadi anggota DPR-RI.
Begitu juga dengan Fahri Hamzah, Fadli Zon ataupun Willy Aditya. Mereka adalah mantan aktivis mahasiswa yang sukses dalam karir politik Indonesia hari ini.
***
Dibalik cerita soal para Korea yang harus bertarung dan berjuang sekuat tenaga untuk bisa melejit menjadi tokoh politik yang diperhitungkan, ada sekelompok politisi yang lahir dengan sejumlah privilese. Mereka anak tokoh politik, orang tua mereka punya uang, mereka besar dengan sejumlah fasilitas dan kemudahan sehingga bisa jadi orang besar.
Puncaknya adalah ketika Jokowi berhasil menempatkan anaknya Gibran menjadi wakil presiden terpilih. Gibran yang relatif muda mendapatkan privilese dari ayahnya yang menjabat presiden. Begitu juga dengan Bobby Nasution, ipar Gibran, yang berhasil menjadi walikota Medan dan menjadi Gubernur Sumatera Utara. Juga Kaesang yang melalui proses yang cepat, menjadi ketua partai.
Di Partai Golkar sebagai contoh lain, sejumlah anak orang besar berkumpul dan menjadi tokoh-tokoh politik yang diperhitungkan. Airlangga Hartarto adalah anak Hartarto, mantan menteri perindustrian di masa kepresidenan Soeharto. Kemudian politisi senior Golkar Agung Laksono kini punya anak yang eksis di partai, Dave Laksono.
Surya Paloh punya anak bernama Prananda yang menjadi pengurus teras partai milik Surya sekaligus berhasil menjadi anggota DPR. Kedua putra SBY, AHY dan Ibas menjadi tokoh politik yang menahkodai Demokrat dan memegang jabatan pemerintahan. Demikian juga dengan anak Zulkifli Hasan, ketua PAN. Anak Megawati, Puan Maharani. Bahkan cucu Mega, anak Puan, kini juga telah menjadi anggota legislatif.
Masih banyak lagi nama anak-anak dan keluarga pembesar yang ikut terjun dalam politik dan mendapatkan sejumlah privilese dari orang tua dan keluarga mereka. Apakah fenomena ini menjadi tanda dari kemunduran demokrasi, apakah ini bagian dari politik dinasti? Atau memang dalam sistem demokrasi liberal yang membutuhkan cost politik yang tinggi, posisi orang kecil untuk dapat eksis makin sulit di tengah munculnya nama-nama anak orang besar yang punya uang dan privilese? Bagaimana kita menyikapi fenomena ini?
Menguatkan Budaya Politik Berbasis Meritokrasi
Harus diakui, sirkulasi elit kita hari ini cukup bermasalah. Di saat anak-anak elit dengan mudah turut menjadi elit politik, penghargaan terhadap kepakaran dan keahlian seseorang juga semakin berkurang.
Di tengah mahalnya biaya kontestasi elektoral, tentu yang punya uang yang lebih diunggulkan. Apalagi dengan menguatnya fenomena politik uang dalam kontestasi elektoral kita. Namun hal ini bukan tidak bisa diatasi atau setidaknya dibatasi.
Salah satu kunci untuk kembali menyehatkan pola rekrutmen elit dalam panggung politik hari ini adalah dengan memperbaiki budaya politik kita. Penghargaan dan penerimaan masyarakat terhadap sosok politisi harus menyertakan beberapa indikator tertentu, salah satunya adalah soal kepakaran, kecakapan dan keahlian.
Masyarakat kita perlu disadarkan bahwa jabatan publik perlu diisi oleh mereka yang memiliki kompetensi dan kecakapan. Dengan menempatkan orang terbaik pada tempatnya (the right man in the right place) maka kinerja roda pemerintahan dan institusi politik akan berjalan dengan baik. Hal ini yang disebut dengan meritokrasi.
Ilmuwan politik Francis Fukuyama memberi syarat bahwa sebuah negara perlu menjadikan meritokrasi sebagai syarat yang dimiliki untuk dapat menciptakan tatanan politik yang baik. Negara maju di Asia semisal China dan Singapura adalah contoh dimana meritokrasi dijalankan. Siapa yang paling mampu dan paling kompeten, dialah yang dipilih untuk menempati jabatan publik, terlepas dari latar belakang keluarga dan lain-lain.
Jika budaya politik kita terlalu permisif memberikan ruang bagi anak orang besar untuk eksis tanpa mempertimbangkan kemampuan yang dimiliki, maka hal tersebut akan memperkuat oligarki dan mencederai demokrasi, yang hari ini cukup mengkhawatirkan.
Hal tersebut dapat dicegah dan dibatasi dengan memperbaiki budaya politik kita, dengan mengubah cara pandang masyarakat tentang siapa yang pantas memimpin dan menduduki jabatan publik. Penghargaan terhadap keahlian dan kepakaran adalah kunci agar kualitas institusi politik dan pemerintahan kita bisa baik dan kuat.
Mereka yang merasi diri sebagai Korea perlu untuk terus meningkatkan kapasitas diri agar mampu bersaing dibalik berbagai kekurangan yang dimiliki. Dengan berbekal kemampuan dan keahlian, setiap Korea perlu meyakinkan diri mereka kepada publik bahwa mereka layak untuk dipilih dan mengisi jabatan politik dan pemerintahan.
Komentar
Posting Komentar