Aceh sebagai daerah yang berlaku syariat Islam namun marak muncul kasus yang mencoreng citra syariat. Tulisan berikut mencoba menganalisis persoalan kompleks ini, salah satunya adalah makin berjaraknya Islam dan syariat dari alam pikiran dan kesadaran generasi muda Aceh.
Tulisan ini merupakan tanggapan dari tulisan Putri Balqis Vilza berjudul Anomali Sosial dalam Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh yang ditulis di laman website kba13.com milik Prof. Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad.
Putri coba mengangkat keresahannya mengenai maraknya angka bunuh diri pada mahasiswa, operasi tangkap tangan pasangan non muhrim, menjamurnya industri asusila, terjaringnya pasangan penyuka sesama jenis (Liwath/Musahaqah), sampai mewabahnya tindak kekerasan hingga pembunuhan yang terjadi di Aceh, padahal di Aceh berlaku Syariat Islam.
Kamarruzzaman Bustamam Ahmad dalam salah satu artikelnya menyimpulkan bahwa kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya: Lingkungan pertemanan, memiliki latar belakang keluarga broken home, pernah menjadi korban kekerasan, ajang meluapkan kebebasan, korban senioritas, berasal dari latar belakang kurang mampu, memiliki hutang, terlibat judi online, mabuk sosial media baik flexing atau butuh validasi, hingga adanya hubungan tidak sehat dengan tenaga pengajar (dosen).
Berbagai fenomena sosial yang menyingkap keberadaan patologi sosial di Aceh, tidak berfungsinya nilai dan norma dalam adat, tradisi dan budaya serta aturan formal syariat Islam, adalah masalah yang kompleks untuk dijelaskan dan diuraikan. Namun melalui kasus ini, sebagaimana judul yang diangkat oleh Putri, menunjukkan kondisi anomali. Bagaimana mungkin hal-hal buruk yang bertentangan dengan syari'at justru marak di Aceh hari ini?
Secara umum, saya coba menjelaskan bahwa berbagai masalah sosial yang muncul di Aceh menunjukkan kondisi chaotic, lawan dari harmoni, disebabkan oleh kehidupan yang jauh dari panduan dan tatanan (order), dalam hal ini, jauh dari Islam sebagai sumber tatanan nilai dan moral penganutnya.
Lalu, bagaimana kita menjelaskan bahwa masyarakat Aceh jauh dari Islam padahal Aceh menerapkan syariat Islam?
Kesadaran dan Imajinasi Generasi Muda Aceh tentang Islam dan Syariat
Saya akan menjawab bahwa kesadaran tentang berlakunya syariat dalam kehidupan masyarakat Aceh hanya ada dalam alam pikiran dan kesadaran sebagian orang saja. Khususnya pada generasi yang telah dewasa ataupun sedang tumbuh dewasa saat pertama kali syariat Islam diberlakukan di Aceh, di masa konflik, di tahun 1999.
Masyarakat Aceh di masa akhir tahun ‘90an hingga awal 2000’an punya cara pandang dan kesadaran yang mengimajinasikan syariat sebagai “kondisi ideal” di tengah kekejaman konflik dan maraknya kasus kekerasan yang dialami masyarakat sipil akibat konflik. Imajinasi syariat sebagai kondisi ideal makin diperkuat dengan bencana tsunami yang menerpa Aceh di tahun 2004. Di saat derita konflik dan hantaman bencana dahsyat tsunami makin memperkokoh agama dan syariat dalam alam pikiran masyarakat Aceh.
Mereka yang telah dewasa dan tumbuh menjelang dewasa di periode ini, akan hidup dengan kesadaran dan alam pikiran yang sama. Tipikalnya adalah watak yang relijius dan cenderung menjunjung tinggi Islam, khususnya setelah mengalami pengalaman kesejarahan yang perih dalam menghadapi konflik dan tsunami. Harapan mereka, Islam melalui syariat, adalah “kondisi ideal” atau jalan keluar yang dituju untuk lepas dari kepedihan selama beberapa dekade terakhir.
Sementara pada generasi muda Aceh hari ini–rata-rata lahir beberapa tahun sebelum hingga sesudah tsunami–tidak merasakan pengalaman kesejarahan yang sama untuk menjadi sama religiusnya dengan generasi yang lebih tua.
Mereka tidak mengalami peristiwa kelam yang mengguncang psikologis mereka–sebagaimana generasi sebelumnya–sehingga kemudian tidak punya alasan cukup kuat untuk punya relasi yang dalam dengan agama dan syariat. Dalam alam pikiran mereka, hampir tidak ada bedanya Aceh dengan wilayah luar, Jakarta misalnya, kecuali hanya tidak boleh berhubungan dengan lawan jenis secara terbuka dan tidak bisa membeli alkohol secara bebas.
Bagi generasi muda di Aceh saat ini, mereka tak merasakan aura atau suasana “negeri bersyariat” di Aceh. Mereka main gim Mobile Legend sebagaimana gamers lain di daerah lain, menjadi “anak Skena” sebagaimana anak lain di luar Aceh, mereka adalah bagian dari Army, kelompok penggemar grup musik K-Pop sebagaimana yang ada di belahan dunia lain. Mereka merasa tak ubahnya sama dengan anak muda di luar Aceh yang telah terkoneksi secara daring dengan berbagai informasi yang telah membentuk kesadaran baru, imajinasi baru, alam pikiran baru, sikap hidup dan makna hidup yang sama sekali berbeda dengan generasi sebelumnya.
Era teknologi informasi yang menghubungkan mereka dengan dunia di luar Aceh, di tambah dengan minimnya pengetahuan mereka mengenai Aceh sebelum mereka lahir, jauh dari pengetahuan kesejarahan, membuat mereka telah menjadi generasi muda Aceh yang telah jauh sekali berbeda dengan generasi sebelumnya yang telah mengalami peristiwa sejarah besar (konflik dan tsunami). Dengan kondisi seperti ini, imajinasi mereka melihat Islam dan keterikatan psikologis mereka terhadap Islam dan syariat, sama sekali berbeda dengan generasi yang lebih tua.
Saya tidak melihat pemberlakukan syariat Islam gagal atau berhasil di Aceh. Namun saya melihat bahwa formalisasi syariat Islam di Aceh gagal dalam menanamkan kesadaran dan ikatan yang kuat antara generasi muda dan syariat.
Hal ini terjadi karena syariat Islam sebagai hukum formal lebih berfokus pada penindakan kasus pelanggaran syariat namun abai dalam menanamkan kesadaran syariat dalam alam pikiran generasi muda. Salah satu faktor yang mungkin bisa dilakukan untuk memperkuat syariat Islam dalam kesadaran generasi muda adalah mengintegrasikan pengajaran Islam dan syariat dalam kurikulum formal dan pengajaran di sekolah. Hal ini pun kita lihat belum dilaksanakan, meski telah ada program Diniyah yang diajarkan di sekolah, namun belum dioptimalkan dengan penyusunan konsep dan praktik pengajaran yang sistematis, rapi serta terencana. Syariat Islam di Aceh masih fokus pada penegakan hukum, bukan membumikan ilmu yang jadi alat membentuk kesadaran.
Meminjam istilah Althusser, Wilayatul Hisbah sebagai repressive state apparatus masih jadi garda terdepan syariat Islam. Harusnya melalui Dinas Syariat Islam, perlu mendorong ulama, dai, pengajar, dll dalam kapasitasnya sebagai ideological state apparatus.
Argumen yang saya angkat dalam tulisan ini mungkin hanya satu faktor dari banyak faktor yang perlu dijelaskan untuk menjawab mengapa negeri syariat tidak bersyariat. Namun setidaknya tulisan ini bisa memberikan gambaran, khususnya di kalangan generasi muda, mengapa Islam dan syariat jauh dari kesadaran dan alam pikiran mereka.
Komentar
Posting Komentar