Sebagaimana kuatnya peranan Ulama dalam mempengaruhi kebijakan kepemimpinan dalam Kesultanan Aceh, begitu pula dengan kerajaan-kerajaan kecil lainnya di Aceh. Hampir di setiap kerajaan kecil ini mempunyai ulama sebagai penasehat dan bahkan bisa dikatakan sebagai mitra kerja para raja. Para ulama ini ada yang menyebutnya sebagai Mufti dan sebagian tempat menjuluki mereka dengan sebutan Teungku Qadhi. Tanpa terkecuali termasuk Kerajaan Seunagan, Kerajaan Seuneu‘am dan Kerajaan Beutong Benggalang berada di wilayah yang kini dikenal sebagai Kabupaten Nagan Raya. Dimana dalam perjalanan sejarahnya, di ketiga kerajaan ini, hubungan para ulama dengan para raja sangatlah kental dan terjaga.
Keterlibatan ulama dalam kepemimpinan di Nagan Raya sudah mulai terjalin kuat sejak era kerajaan, kuatnya hubungan ini juga mempengaruhi kebijakan pemerintahan raja-raja di Nagan. Bahkan hubungan semacam ini sudah menjadi hubungan emosional antara guru dan murid, sebagaimana hubungan antara Raja Seunagan Teuku Raja Liwaul Hamdi dan Raja Beutong Teuku Ali Hanafiah yang keduanya menjadi murid dari Syekh Abdurrahim. Teuku Radja Tampok menjadi murid dari Tgk Putik, Teuku Beutong Banta Tjoet menjadi murid dari Habib Muda Seunagan dan banyak keturunan raja lainnya yang menjadi murid-murid para ulama lainnya.
Selain hubungan antara guru dan murid, juga terjalin hubungan perkawinan dari keturunan keduanya. Banyak dari keturunan raja menikah dengan keturunan ulama di Nagan Raya. Contohnya Perkawinan anak Raja Beutong Banta Tjoet yaitu Teuku Raja Azman dengan Cut Wan Zainab anak dari Habib Muda Seunagan yang merupakan seorang ulama kharismatik di Nagan saat itu. Di masa lalu pernikahan semacam ini kerap terjadi di Nagan Raya.
Hubungan keterkaitan antara dua unsur ini (ulama-umara) melahirkan budaya dan adat-istiadat yang sesuai dengan nilai-nilai Islam yang terus bertahan sampai saat ini. Diantara contohnya ada dalam budaya seni, baik berupa Rapa'i, Seukat, Seudati dan Saman. Semua tradisi kesenian ini sangat erat hubungannya dengan Islam. Selain dari budaya seni juga ada tradisi kenduri dalam budaya pertanian. Diantaranya adalah khanduri peutren langai (kenduri saat memulai menyemai benih padi di sawah), khanduri blang (kenduri agar diberkati hasil panen) dan khanduri Nabi Adam (kenduri untuk mensyukuri hasil panen yang ditujukan kepada Nabi Adam as. sebagai manusia pertama yang dipercaya memulai bercocok tanam padi).
Peran Umara dan Ulama dalam Tradisi Pertanian di Nagan Raya
Nagan Raya termasuk salah satu daerah yang memiliki areal persawahan paling luas di pantai Barat Aceh. Basis persawahan di Nagan Raya membentang dari Kecamatan Kuala sampai Kecamatan Beutong, sehingga mayoritas penduduknya pun bermata pencaharian sebagai petani. Dulunya pertanian di Nagan Raya, padi dipanen dalam setahun sekali, seiring berjalannya waktu pertanian di wilayah tersebut masa panennya kini menjadi setahun dua kali.
Dalam tradisi Pertanian di Nagan Raya sebagaimana umumnya di Aceh, tidak terlepas dari berbagai ritual adat dan keagamaan. Ritus adat ini lebih dikenal dengan istilah kenduri. Dalam tradisi petani di Nagan ada tiga jenis kenduri yang dikenal, antara lain: khanduri peutren langai, khanduri blang, dan khanduri Nabi Adam. Ketiga kenduri yang telah dijelaskan sebelumnya ini memiliki perbedaan yang berbeda antara satu sama lain.
Prosesi khanduri peutroen langai dilakukan ketika para petani memulai bajak sawah. Biasanya sebelum turun ke sawah Imum Mukim memanggil seluruh Keuchik dan Keujruen Blang dalam wilayah kemukimannya untuk bermusyawarah terlebih dahulu. Di dalam musyawarah tersebut melibatkan seluruh komponen masyarakat termasuk ulama sebagai ujung tombak dalam menentukan kapan waktu yang cocok untuk turun ke sawah.
Setelah sudah ditentukan hari dan tanggal yang cocok, kemudian Keujruen Blang mengumumkan waktu menanam padi kepada masyarakat setempat.
Khanduri peutroen langai ini biasanya dilakukan di pekuburan ulama yang dipercaya mempunyai karamah. Prosesi ritual dimulai dengan membaca Surat Yasin dan membaca tahlil, dipimpin oleh tokoh agama setempat sebagai bentuk tawasul kepada ulama tersebut.
Setelah acara di pemakaman ulama selesai, barulah kemudian Imum Mukim memberikan ceramah kapan harus membersihkan saluran air (taloe ie), memulai turun membajak sawah, menabur benih dan kapan mulai menanam. Semuanya harus dilakukan secara serentak dalam waktu yang bersamaan, dengan demikian hama bisa diminimalisir.
Setelah padi sudah mulai menghijau, barulah kemudian Keuchik Gampong memanggil Keujruen Blang dan tokoh agama untuk mulai bermusyawarah kembali menentukan kapan diadakan khanduri blang. Berbeda dengan khanduri peutren langai yang dilakukan di makam ulama keramat, khanduri blang biasanya dilakukan di Meunasah Gampong.
Dalam khanduri blang, Keujruen Blang mengintruksikan kepada para petani untuk membawa makanan yang berupa Bu Kulah dan lauknya ke Meunasah Gampong. Prosesi khanduri blang ini dilakukan di malam hari, yang diawali dengan pembacaan zikir, shalawat dan menabuh rapa'i sampai subuh. Tujuan acara ini adalah sebagai bentuk permohonan kepada Allah supaya dijauhkan dari berbagai macam hama dan hasil panennya lebih maksimal.
Seminggu pasca panen, sebagai wujud rasa syukur kepada Allah, para petani kembali melakukan prosesi kenduri yang dikenal dengan khanduri Nabi Adam As. Bentuk syukur atas hasil panen mereka wujudkan melalui pembacaan kitab Maulid Nabi Muhammad Saw. Hal ini tidak terlepas dari pemahaman mereka tentang eksistensi Nur Muhammad yang dinamai dengan Hadratul Jam'i wal Wujud (tempat berkumpul dan asal seluruh eksistensi wujud), sebagaimana dalam hadits qudsi Allah Swt berfirman "Laulaka laulaka ya Muhammad ma khalaqtu al aflaq," yang artinya: kalau tidak karena mu wahai Muhammad maka aku tidak akan menciptakan alam raya ini.
Hubungan erat antara ulama dengan umara dalam praktik sosial masyarakat Nagan Raya merupakan bentuk konfigurasi sosial yang harmoni dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat. Peran ulama yang begitu mengakar dalam pelaksanaan adat-istiadat, budaya, kesenian dan prosesi perayaan, tidak luput dari posisi Islam yang telah menjadi sistem pandangan dunia dan sumber nilai, etos dan spirit bagi masyarakat Aceh, dimana masih lestari keberadaannya di Nagan Raya, dan juga terkait dengan unsur keyakinan yang mengejewantah dalam adat-istiadat dan tradisi masyarakat.
Oleh: Sayed Mukhsin
Komentar
Posting Komentar