Langsung ke konten utama

Posisi Perempuan dalam Kasus Komersialisasi Asmara dan Industri Asusila di Banda Aceh

  Ilmuwan sosial dan akademisi kenamaan Aceh, Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad (KBA), dalam tulisan di laman pribadinya mengangkat tentang kasus “industri asusila” (prostitusi terselubung yang sedang marak) di Banda Aceh. Ia coba menyibak fenomena tersebut sebagai sebuah masalah atau patologi sosial di masyarakat kita sebagai sebuah hal yang meresahkan. Namun ada yang luput dari amatan KBA, bahwa perempuan-perempuan itu bukan semata subjek yang memilih dengan kesadaran penuh untuk menjadi pelaku asusila. Perempuan-perempuan tersebut juga bisa kita lihat sebagai korban dari konstruksi sosial-budaya yang dibentuk oleh pergeseran budaya massa di kalangan generasi muda, yang berakar pada kapitalisme dan budaya konsumerisme. Lewat tulisan ini saya coba mengangkat sebuah fenomena relasi paling natural antara laki-laki dan perempuan yang biasanya terikat dalam hubungan asmara, namun kini muncul varian hubungan asmara baru yang bertransformasi menjadi hubungan yang cenderung artifisial, direkat...

Ideologi dan Perubahan Tidak Lahir dari Ruang Kosong



Di satu sesi forum diskusi di Badan Kesbangpol Aceh, ketika teman saya yang merupakan peneliti ilmu politik, Mirza Ardi, memaparkan tentang matinya narasi ideologi di Pilkada, saya berkesempatan untuk menanggapi pemaparannya.

Bagi saya, matinya ideologi atau narasi ideologis bukan lahir dari ruang kosong, melainkan terkait dengan faktor kesejarahan atau konteks zaman.

Ada dua faktor yang menurut saya menjadi konteks yang melahirkan ideologi:

1. Collective suffering, dengan adanya penderitaan kolektif, kondisi tersebut memantik.
2. Collective consciousness (kesadaran kolektif).

Ideologi tidak lahir secara tiba-tiba, muncul begitu saja secara sporadis dari pemikiran seorang pemikir. Faktor kesejarahan di era tersebut yang kemudian membuat seorang pemikir kemudian merumuskan sebuah ideologi dalam upaya menciptakan tatanan yang lebih baik.

Apabila kita merujuk kepada sejarah modern dunia, lahirnya liberalisme klasik berawal dari penderitaan kaum petani atas pajak hasil panen yang tinggi yang ditetapkan oleh golongan aristokrat yang memiliki lahan.

Petani, rakyat banyak dan juga pedagang merasakan bahwa mereka berada di bawah kungkungan aristokrasi selaku penguasa politik yang menguasai pemerintahan dan yang menguasai lahan tanah.

Apabila ditilik dari segi esensi kemanusiaan, kaum yang tidak memiliki kuasa dan aset produksi, dianggap sebagai bagian yang lebih rendah secara status sosial dan tidak memiliki hak untuk mengekspresikan kebebasannya sebagai manusia.

Untuk itu melalui liberalisme klasik, atas semua kungkungan yang membuat mereka menderita, menawarkan ide tentang kebebasan berpendapat, hak politik yang setara untuk semua dan menggugat struktur politik monarki dan aristokrasi yang membelenggu kebebasan umum secara esensi kemanusiaan dan hak-hak politik.

Sementara itu, berselang waktu sekitar dua ratus tahun setelahnya, sosialisme juga lahir dari penderitaan kolektif kaum buruh yang tidak memiliki aset produksi dan tereksploitasi oleh pemilik modal dengan hanya diberikan upah yang minim, sementara mereka harus menjalani waktu kerja yang panjang dan melelahkan.

Dua contoh munculnya ideologi besar ini lahir atas dua hal yang sama, yaitu: adanya penderitaan kolektif yang dialami oleh mayoritas masyarakat yang memicu lahirnya kesadaran kolektif atas suatu ide bersama yang diandaikan dapat mengubah kondisi dunia menjadi lebih baik.

Untuk konteks Indonesia atau wilayah manapun di dunia, semangat perubahan pernah menggelora dan berakhir dengan sebuah gerakan demonstrasi menuntut reformasi agar lahirnya sebuah era baru yang menjunjung tinggi demokrasi dan penegakan hukum.

Reformasi muncul ketika keresahan masyarakat sudah memuncak, kesabaran masyarakat habis, kekecewaan terhadap rezim Orde Baru yang dianggap tiran, otoriter, sarat korupsi, tidak lagi bisa ditolerir. Kesadaran terhadap sebuah perubahan muncul saat masyarakat mengalami penderitaan akibat represi yang dibarengi dengan krisis ekonomi ’98 yang membuat masyarakat hidup dalam keadaan kesulitan secara ekonomi. Maka ketika derita kolektif tersebut memuncak, muncul kesadaran kolektif rakyat Indonesia untuk menuntut reformasi.

Jika pra-kondisi penderitaan kolektif sudah menjadi suatu hal yang mengkristal dan memuncak, maka saya yakin akan muncul suatu kesadaran ideologis baru yang akan menggerakkan perubahan.

Jika hal tersebut belum muncul, mungkin taraf penderitaan yang dialami masyarakat belum menemui titik didih tahap maksimal. Atau mungkin masyarakat sudah menderita secara kolektif namun belum ada tokoh, pihak, kelompok yang muncul untuk menawarkan suatu gagasan baru yang memunculkan kesadaran kolektif bersama untuk perubahan.

Dalam memunculkan kesadaran kolektif, hal ini tidaklah sederhana. Perlu ada suatu gagasan yang benar-benar kuat, sejalan dan sesuai dengan konteks zaman tersebut, yang membuat penggagasnya diterima dan akhirnya idenya benar-benar menancap kuat di dalam benak masyarakat.

Tentu hal tersebut tidak memakan waktu yang cepat. Perlu ada ide yang benar-benar kuat yang dibawa oleh tokoh yang punya karakter dan kharisma yang kuat pula.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Posisi Perempuan dalam Kasus Komersialisasi Asmara dan Industri Asusila di Banda Aceh

  Ilmuwan sosial dan akademisi kenamaan Aceh, Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad (KBA), dalam tulisan di laman pribadinya mengangkat tentang kasus “industri asusila” (prostitusi terselubung yang sedang marak) di Banda Aceh. Ia coba menyibak fenomena tersebut sebagai sebuah masalah atau patologi sosial di masyarakat kita sebagai sebuah hal yang meresahkan. Namun ada yang luput dari amatan KBA, bahwa perempuan-perempuan itu bukan semata subjek yang memilih dengan kesadaran penuh untuk menjadi pelaku asusila. Perempuan-perempuan tersebut juga bisa kita lihat sebagai korban dari konstruksi sosial-budaya yang dibentuk oleh pergeseran budaya massa di kalangan generasi muda, yang berakar pada kapitalisme dan budaya konsumerisme. Lewat tulisan ini saya coba mengangkat sebuah fenomena relasi paling natural antara laki-laki dan perempuan yang biasanya terikat dalam hubungan asmara, namun kini muncul varian hubungan asmara baru yang bertransformasi menjadi hubungan yang cenderung artifisial, direkat...

Tentang Nelayan Membuang Ikan 3 Ton di Lampulo dan Potensi Industri Pengolahan Ikan

Nelayan membuang 3 ton hasil tangkapannya di Lampulo, Kamis, (2/5) karena hasil tangkapan nelayan kali ini membludak. Mengakibatkan harga ikan di pasar anjlok. Mereka terpaksa membuang karena jika dijual, mereka tetap rugi, sementara kondisi ikan mulai membusuk.  Kejadian ini sangat disayangkan mengingat potensi laut kita yang cukup besar. Jumlah tangkapan ikan di musim tertentu bisa membludak. Jika stok membludak, harga ikan bisa menurun drastis. Sementara jumlah ikan yang mampu ditampung di cold storage terbatas. Katanya, sejumlah cold storage yang pernah dibangun untuk menampung hasil tangkapan ikan di Aceh, tinggal 46 persen yang masih berfungsi. Sisanya sudah tidak bisa digunakan lagi.  Keadaan ini patut disesali. Pertama, pemerintah yang telah membangun infrastruktur cold storage untuk menampung ikan, sebagiannya rusak tak dapat digunakan lagi. Tentu ini masuk kategori pemborosan anggaran yang merugikan kita semua.  Kedua, sistem supply chain atau rantai dagang peri...

Habaib, Abu Hasan Krueng Kalee dan Abon Seulimeum: Cerita Hubungan Habib dan Ulama di Aceh

Generasi Banda Aceh tahun 70-80an banyak yang masih ingat dengan Habib Ulee Kareng yang dikenal sebagai wali majzub/jazab di Ulee Kareng. Berdasarkan cerita Abu Din Lam Ateuk, beliau selalu naik sepeda ontel dan mendawamkan zikir Hu Hu Hu di dalam batin beliau (bukan dengan suara lisan). Nama beliau Habib Abubakar bin Hasan Assegaf. Beliau adalah paman dari sebelah ibu Habib Abdul Haris Alaydrus. Habib Abubakar punya saudara bernama Habib Ja'far bin Hasan Assegaf, yang berguru kepada Abu Hasan Krueng Kalee, ulama kharismatik Aceh yang berthariqah Haddadiyah, nisbah kepada Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad di Hadramaut, Yaman. Abu Hasan Krueng Kalee selain mengajar di Dayah Siem (wilayah XXVI Mukim Sagi Aceh Darussalam), juga mengajar di Gampong Keudah. Lokasi yang berdekatan dengan perkampungan Habaib di Peulanggahan, Gampong Jawa dan Merduati. Di era 2000'an pengajian di Gampong Jawa dipimpin oleh Almarhum Abon Seulimum, anak Abu Abdul Wahab Seulimum (yg akan saya ceritakan be...