Langsung ke konten utama

Mengapa Negeri Syariat tidak Bersyariat? Menjelaskan Anomali Sosial di Aceh

Aceh sebagai daerah yang berlaku syariat Islam namun marak muncul kasus yang mencoreng citra syariat. Tulisan berikut mencoba menganalisis persoalan kompleks ini, salah satunya adalah makin berjaraknya Islam dan syariat dari alam pikiran dan kesadaran generasi muda Aceh.  Tulisan ini merupakan tanggapan dari tulisan Putri Balqis Vilza berjudul Anomali Sosial dalam Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh yang ditulis di laman website kba13.com milik Prof. Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad. Putri coba mengangkat keresahannya mengenai maraknya angka bunuh diri pada mahasiswa, operasi tangkap tangan pasangan non muhrim, menjamurnya industri asusila, terjaringnya pasangan penyuka sesama jenis (Liwath/Musahaqah), sampai mewabahnya tindak kekerasan hingga pembunuhan yang terjadi di Aceh, padahal di Aceh berlaku Syariat Islam. Kamarruzzaman Bustamam Ahmad dalam salah satu artikelnya menyimpulkan bahwa kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya: Lingkungan pertem...

Ideologi dan Perubahan Tidak Lahir dari Ruang Kosong



Di satu sesi forum diskusi di Badan Kesbangpol Aceh, ketika teman saya yang merupakan peneliti ilmu politik, Mirza Ardi, memaparkan tentang matinya narasi ideologi di Pilkada, saya berkesempatan untuk menanggapi pemaparannya.

Bagi saya, matinya ideologi atau narasi ideologis bukan lahir dari ruang kosong, melainkan terkait dengan faktor kesejarahan atau konteks zaman.

Ada dua faktor yang menurut saya menjadi konteks yang melahirkan ideologi:

1. Collective suffering, dengan adanya penderitaan kolektif, kondisi tersebut memantik.
2. Collective consciousness (kesadaran kolektif).

Ideologi tidak lahir secara tiba-tiba, muncul begitu saja secara sporadis dari pemikiran seorang pemikir. Faktor kesejarahan di era tersebut yang kemudian membuat seorang pemikir kemudian merumuskan sebuah ideologi dalam upaya menciptakan tatanan yang lebih baik.

Apabila kita merujuk kepada sejarah modern dunia, lahirnya liberalisme klasik berawal dari penderitaan kaum petani atas pajak hasil panen yang tinggi yang ditetapkan oleh golongan aristokrat yang memiliki lahan.

Petani, rakyat banyak dan juga pedagang merasakan bahwa mereka berada di bawah kungkungan aristokrasi selaku penguasa politik yang menguasai pemerintahan dan yang menguasai lahan tanah.

Apabila ditilik dari segi esensi kemanusiaan, kaum yang tidak memiliki kuasa dan aset produksi, dianggap sebagai bagian yang lebih rendah secara status sosial dan tidak memiliki hak untuk mengekspresikan kebebasannya sebagai manusia.

Untuk itu melalui liberalisme klasik, atas semua kungkungan yang membuat mereka menderita, menawarkan ide tentang kebebasan berpendapat, hak politik yang setara untuk semua dan menggugat struktur politik monarki dan aristokrasi yang membelenggu kebebasan umum secara esensi kemanusiaan dan hak-hak politik.

Sementara itu, berselang waktu sekitar dua ratus tahun setelahnya, sosialisme juga lahir dari penderitaan kolektif kaum buruh yang tidak memiliki aset produksi dan tereksploitasi oleh pemilik modal dengan hanya diberikan upah yang minim, sementara mereka harus menjalani waktu kerja yang panjang dan melelahkan.

Dua contoh munculnya ideologi besar ini lahir atas dua hal yang sama, yaitu: adanya penderitaan kolektif yang dialami oleh mayoritas masyarakat yang memicu lahirnya kesadaran kolektif atas suatu ide bersama yang diandaikan dapat mengubah kondisi dunia menjadi lebih baik.

Untuk konteks Indonesia atau wilayah manapun di dunia, semangat perubahan pernah menggelora dan berakhir dengan sebuah gerakan demonstrasi menuntut reformasi agar lahirnya sebuah era baru yang menjunjung tinggi demokrasi dan penegakan hukum.

Reformasi muncul ketika keresahan masyarakat sudah memuncak, kesabaran masyarakat habis, kekecewaan terhadap rezim Orde Baru yang dianggap tiran, otoriter, sarat korupsi, tidak lagi bisa ditolerir. Kesadaran terhadap sebuah perubahan muncul saat masyarakat mengalami penderitaan akibat represi yang dibarengi dengan krisis ekonomi ’98 yang membuat masyarakat hidup dalam keadaan kesulitan secara ekonomi. Maka ketika derita kolektif tersebut memuncak, muncul kesadaran kolektif rakyat Indonesia untuk menuntut reformasi.

Jika pra-kondisi penderitaan kolektif sudah menjadi suatu hal yang mengkristal dan memuncak, maka saya yakin akan muncul suatu kesadaran ideologis baru yang akan menggerakkan perubahan.

Jika hal tersebut belum muncul, mungkin taraf penderitaan yang dialami masyarakat belum menemui titik didih tahap maksimal. Atau mungkin masyarakat sudah menderita secara kolektif namun belum ada tokoh, pihak, kelompok yang muncul untuk menawarkan suatu gagasan baru yang memunculkan kesadaran kolektif bersama untuk perubahan.

Dalam memunculkan kesadaran kolektif, hal ini tidaklah sederhana. Perlu ada suatu gagasan yang benar-benar kuat, sejalan dan sesuai dengan konteks zaman tersebut, yang membuat penggagasnya diterima dan akhirnya idenya benar-benar menancap kuat di dalam benak masyarakat.

Tentu hal tersebut tidak memakan waktu yang cepat. Perlu ada ide yang benar-benar kuat yang dibawa oleh tokoh yang punya karakter dan kharisma yang kuat pula.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Posisi Perempuan dalam Kasus Komersialisasi Asmara dan Industri Asusila di Banda Aceh

  Ilmuwan sosial dan akademisi kenamaan Aceh, Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad (KBA), dalam tulisan di laman pribadinya mengangkat tentang kasus “industri asusila” (prostitusi terselubung yang sedang marak) di Banda Aceh. Ia coba menyibak fenomena tersebut sebagai sebuah masalah atau patologi sosial di masyarakat kita sebagai sebuah hal yang meresahkan. Namun ada yang luput dari amatan KBA, bahwa perempuan-perempuan itu bukan semata subjek yang memilih dengan kesadaran penuh untuk menjadi pelaku asusila. Perempuan-perempuan tersebut juga bisa kita lihat sebagai korban dari konstruksi sosial-budaya yang dibentuk oleh pergeseran budaya massa di kalangan generasi muda, yang berakar pada kapitalisme dan budaya konsumerisme. Lewat tulisan ini saya coba mengangkat sebuah fenomena relasi paling natural antara laki-laki dan perempuan yang biasanya terikat dalam hubungan asmara, namun kini muncul varian hubungan asmara baru yang bertransformasi menjadi hubungan yang cenderung artifisial, direkat...

Mengapa Negeri Syariat tidak Bersyariat? Menjelaskan Anomali Sosial di Aceh

Aceh sebagai daerah yang berlaku syariat Islam namun marak muncul kasus yang mencoreng citra syariat. Tulisan berikut mencoba menganalisis persoalan kompleks ini, salah satunya adalah makin berjaraknya Islam dan syariat dari alam pikiran dan kesadaran generasi muda Aceh.  Tulisan ini merupakan tanggapan dari tulisan Putri Balqis Vilza berjudul Anomali Sosial dalam Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh yang ditulis di laman website kba13.com milik Prof. Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad. Putri coba mengangkat keresahannya mengenai maraknya angka bunuh diri pada mahasiswa, operasi tangkap tangan pasangan non muhrim, menjamurnya industri asusila, terjaringnya pasangan penyuka sesama jenis (Liwath/Musahaqah), sampai mewabahnya tindak kekerasan hingga pembunuhan yang terjadi di Aceh, padahal di Aceh berlaku Syariat Islam. Kamarruzzaman Bustamam Ahmad dalam salah satu artikelnya menyimpulkan bahwa kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya: Lingkungan pertem...

Hubungan Ulama dan Umara di Tiga Kerajaan di Nagan Raya: Peran Bersama Dalam Budaya Pertanian

Sebagaimana kuatnya peranan Ulama dalam mempengaruhi kebijakan kepemimpinan dalam Kesultanan Aceh, begitu pula dengan kerajaan-kerajaan kecil lainnya di Aceh. Hampir di setiap kerajaan kecil ini mempunyai ulama sebagai penasehat dan bahkan bisa dikatakan sebagai mitra kerja para raja. Para ulama ini ada yang menyebutnya sebagai Mufti dan sebagian tempat menjuluki mereka dengan sebutan Teungku Qadhi. Tanpa terkecuali termasuk Kerajaan Seunagan, Kerajaan Seuneu‘am dan Kerajaan Beutong Benggalang berada di wilayah yang kini dikenal sebagai Kabupaten Nagan Raya. Dimana dalam perjalanan sejarahnya, di ketiga kerajaan ini, hubungan para ulama dengan para raja sangatlah kental dan terjaga. Keterlibatan ulama dalam kepemimpinan di Nagan Raya sudah mulai terjalin kuat sejak era kerajaan, kuatnya hubungan ini juga mempengaruhi kebijakan pemerintahan raja-raja di Nagan. Bahkan hubungan semacam ini sudah menjadi hubungan emosional antara guru dan murid, sebagaimana hubungan antara Raja Seunagan Te...