Langsung ke konten utama

Ideologi dan Perubahan Tidak Lahir dari Ruang Kosong



Di satu sesi forum diskusi di Badan Kesbangpol Aceh, ketika teman saya yang merupakan peneliti ilmu politik, Mirza Ardi, memaparkan tentang matinya narasi ideologi di Pilkada, saya berkesempatan untuk menanggapi pemaparannya.

Bagi saya, matinya ideologi atau narasi ideologis bukan lahir dari ruang kosong, melainkan terkait dengan faktor kesejarahan atau konteks zaman.

Ada dua faktor yang menurut saya menjadi konteks yang melahirkan ideologi:

1. Collective suffering, dengan adanya penderitaan kolektif, kondisi tersebut memantik.
2. Collective consciousness (kesadaran kolektif).

Ideologi tidak lahir secara tiba-tiba, muncul begitu saja secara sporadis dari pemikiran seorang pemikir. Faktor kesejarahan di era tersebut yang kemudian membuat seorang pemikir kemudian merumuskan sebuah ideologi dalam upaya menciptakan tatanan yang lebih baik.

Apabila kita merujuk kepada sejarah modern dunia, lahirnya liberalisme klasik berawal dari penderitaan kaum petani atas pajak hasil panen yang tinggi yang ditetapkan oleh golongan aristokrat yang memiliki lahan.

Petani, rakyat banyak dan juga pedagang merasakan bahwa mereka berada di bawah kungkungan aristokrasi selaku penguasa politik yang menguasai pemerintahan dan yang menguasai lahan tanah.

Apabila ditilik dari segi esensi kemanusiaan, kaum yang tidak memiliki kuasa dan aset produksi, dianggap sebagai bagian yang lebih rendah secara status sosial dan tidak memiliki hak untuk mengekspresikan kebebasannya sebagai manusia.

Untuk itu melalui liberalisme klasik, atas semua kungkungan yang membuat mereka menderita, menawarkan ide tentang kebebasan berpendapat, hak politik yang setara untuk semua dan menggugat struktur politik monarki dan aristokrasi yang membelenggu kebebasan umum secara esensi kemanusiaan dan hak-hak politik.

Sementara itu, berselang waktu sekitar dua ratus tahun setelahnya, sosialisme juga lahir dari penderitaan kolektif kaum buruh yang tidak memiliki aset produksi dan tereksploitasi oleh pemilik modal dengan hanya diberikan upah yang minim, sementara mereka harus menjalani waktu kerja yang panjang dan melelahkan.

Dua contoh munculnya ideologi besar ini lahir atas dua hal yang sama, yaitu: adanya penderitaan kolektif yang dialami oleh mayoritas masyarakat yang memicu lahirnya kesadaran kolektif atas suatu ide bersama yang diandaikan dapat mengubah kondisi dunia menjadi lebih baik.

Untuk konteks Indonesia atau wilayah manapun di dunia, semangat perubahan pernah menggelora dan berakhir dengan sebuah gerakan demonstrasi menuntut reformasi agar lahirnya sebuah era baru yang menjunjung tinggi demokrasi dan penegakan hukum.

Reformasi muncul ketika keresahan masyarakat sudah memuncak, kesabaran masyarakat habis, kekecewaan terhadap rezim Orde Baru yang dianggap tiran, otoriter, sarat korupsi, tidak lagi bisa ditolerir. Kesadaran terhadap sebuah perubahan muncul saat masyarakat mengalami penderitaan akibat represi yang dibarengi dengan krisis ekonomi ’98 yang membuat masyarakat hidup dalam keadaan kesulitan secara ekonomi. Maka ketika derita kolektif tersebut memuncak, muncul kesadaran kolektif rakyat Indonesia untuk menuntut reformasi.

Jika pra-kondisi penderitaan kolektif sudah menjadi suatu hal yang mengkristal dan memuncak, maka saya yakin akan muncul suatu kesadaran ideologis baru yang akan menggerakkan perubahan.

Jika hal tersebut belum muncul, mungkin taraf penderitaan yang dialami masyarakat belum menemui titik didih tahap maksimal. Atau mungkin masyarakat sudah menderita secara kolektif namun belum ada tokoh, pihak, kelompok yang muncul untuk menawarkan suatu gagasan baru yang memunculkan kesadaran kolektif bersama untuk perubahan.

Dalam memunculkan kesadaran kolektif, hal ini tidaklah sederhana. Perlu ada suatu gagasan yang benar-benar kuat, sejalan dan sesuai dengan konteks zaman tersebut, yang membuat penggagasnya diterima dan akhirnya idenya benar-benar menancap kuat di dalam benak masyarakat.

Tentu hal tersebut tidak memakan waktu yang cepat. Perlu ada ide yang benar-benar kuat yang dibawa oleh tokoh yang punya karakter dan kharisma yang kuat pula.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Komersialisasi Asmara di Banda Aceh

Sebut saja namanya Nisa, bukan nama sebenarnya, gadis perantau dari salah satu kabupaten di Aceh yang hijrah ke Banda Aceh untuk mencari pekerjaan. Ia hanya lulusan SMA, oleh karena itu, ia hanya bisa mengakses pekerjaan yang terbatas di kota. Ia bekerja sebagai pramuniaga di sebuah toko kosmetik.  Gaji rata-rata pramuniaga di toko-toko pakaian, kosmetik, ponsel dan lain-lain di Banda Aceh rata-rata berkisar di bawah upah minimum. Bahkan bisa berkisar hanya separuh dari upah minimum provinsi. Meski digaji rendah, permintaan untuk lowongan ini tak pernah sepi. Rata-rata yang bekerja sebagai pramuniaga adalah perempuan berusia di bawah 30 tahun. Mayoritasnya adalah perempuan perantauan dari berbagai kabupaten di Aceh.  Nisa terbilang gadis belia yang berparas elok. Wajahnya sebagaimana perempuan khas Aceh, terlihat menawan dengan hidung mancung, wajah tirus, dan bermata bulat. Tampilannya pun terbilang modis. Pakaian yang ia kenakan dan gadget yang ia pakai terlihat mewah, seaka...

Banda Aceh Kota Tua Bersejarah, Kini Kehilangan Banyak Bangunan Bersejarah

Kota Banda Aceh adalah salah satu kota tertua yang ada di Indonesia. Berdirinya kota ini ditandai dengan awal mula kerajaan Aceh di tahun 1205 yang didirikan oleh Sultan Johan Syah.  Kota Banda Aceh selama ratusan tahun menjadi kota pelabuhan penting di Kepulauan Nusantara. Kapal-kapal dagang yang masuk ke wilayah Nusantara untuk berdagang dan membeli hasil alam berupa rempah-rempah, terlebih dulu singgah di Aceh. Tak hanya pedagang Muslim dari Arab, Turki dan Gujarat, pedagang dan penjelajah asal Eropa juga turut menyinggahi Aceh. Banda Aceh digambarkan sebagai kota pelabuhan yang menjadi pusat perdagangan penting. Kota ini dibelah oleh sebuah sungai yang oleh penduduk lokal disebut dengan Kreung Aceh. Di tengah-tengah kota terdapat Istana Kerajaan yang di dalamnya mengalir sungai buatan yang dikenal dengan nama Krueng Daroy. Sungai ini dibuat mengalir melintasi istana dan bersambung alirannya dengan Kreung Aceh.  Ketika Aceh takluk oleh kolonial Belanda di tahun ...

Banda Aceh Yang Berubah: Potret Sosiologis Kota Banda Aceh

Garuda Theatre, salah satu bioskop di Band Aceh tempo dulu. Foto   FOTO/roeshanny.wordpress.com. Banda Aceh dahulu, sebelum tsunami, mungkin akan menjadi kenangan nostalgia yang manis bagi warganya. Khususnya bagi mereka yang lahir, besar dan beranjak dewasa di kota ini. Dari pengalaman saya mendengarkan penuturan warganya, khususnya yang berusia lebih tua dari saya, Banda Aceh dalam ingatan mereka begitu indah.  Indahnya ingatan itu, karena Banda Aceh adalah kota yang menjadi tempat segala kisah masa kecil, remaja dan menjadi dewasa, mengambil tempat di kota ini. Saya yang lahir dan besar di kota ini, juga mengenang betapa manisnya kisah masa lalu itu. Saya coba merekam potret sosiologis kota ini di era 90’an hingga 2000’an hingga menjelang tsunami. Corak sosiologis yang tak hitam putih, bahkan saya juga coba mengangkat sisi gelap yang pernah ada di kota ini. Sebagaimana menulis sejarah, gambaran utuh harus dihadirkan. Keutuhan itu juga berupa konfigurasi sosial, patolog...