Kita akan dengan mudah sekali mendapatkan tulisan, kajian, studi dan analisis di lingkup ilmu sosial, politik, ekonomi dan budaya yang melihat Aceh dalam kondisi yang terpuruk, tertinggal dan penuh dengan berbagai permasalahan.
Hal ini diperkuat dengan sejumlah data statistik. Dalam hal ekonomi dan politik, Aceh adalah provinsi termiskin di Sumatera, provinsi dengan pertumbuhan ekonomi terendah di Indonesia, nomor 7 tertinggi korupsi di Indonesia, padahal di saat yang sama Aceh adalah provinsi paling besar anggaran APBD di luar Pulau Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintahan daerah di Aceh cukup bermasalah sejak lama. Hal itu pula yang menyebabkan masyarakat Aceh terjebak dalam kemiskinan.
Aceh juga provinsi peringkat ketiga dalam prevalensi angka stunting di Indonesia, tertinggi prevalensi gangguan jiwa, peringkat pertama tingkat pemerkosaan tertinggi yang melapor ke polisi, terendah ketiga angka literasi, daerah paling rendah tidak memiliki sanitasi (WC) di rumah di luar Sumatera. Sejumlah data statistik itu menunjukkan ketertinggalan, keterpurukan dan masalah serius yang dialami oleh masyarakat Aceh.
Dengan sekelumit masalah yang dihadapi, kita patut bertanya, apa yang membuat masyarakat Aceh bertahan dan dapat menikmati hidup sehari-hari dengan normal?
Sejumlah data statistik yang telah disebutkan tadi, menunjukkan anomali dengan satu data yang menunjukkan bahwa masyarakat Aceh paling damai, mandiri dan bahagia.
Berdasarkan Pemutakhiran Pendataan Keluarga Tahun 2023, nilai capaian Indeks Pembangunan Keluarga (iBangga) tertinggi diraih Provinsi Aceh dengan indeks 65,38. Sedangkan nilai terendah adalah Provinsi Papua dengan indeks 51,96 dan DKI Jakarta dengan indeks 56,77.
iBangga merupakan salah satu indikator yang menunjukkan kualitas hidup keluarga dan pembangunan keluarga. Nilai iBangga Aceh tertinggi di Indonesia. iBangga mencakup tiga indikator utama: kedamaian, kemandirian, dan kebahagiaan.
Hasil penelitian ini mungkin berkorelasi dengan sebuah survey global yang menempatkan Indonesia sebagai negara paling makmur (flourish), dihitung tidak hanya berdasarkan aspek capaian finansial semata, namun studi yang melibatkan aspek sosial, psikologis dan spiritual yang lebih kompleks.
Penelitian bertajuk Global Flourishing Study, salah satu survei kesejahteraan terbesar di dunia, melibatkan lebih dari 207.000 responden di 23 negara, mencakup enam benua. Studi Kemakmuran Global atau Global Flourishing Study (GFS) merupakan kolaborasi antara para peneliti di Program Kemakmuran Manusia di Harvard, Institut Studi Agama Universitas Baylor, dan Gallup untuk mengatasi keterbatasan dalam penelitian terkini tentang kemakmuran manusia.
Survei ini tidak hanya bertanya seputar keamanan finansial, tetapi juga menyentuh aspek-aspek mendasar dari kehidupan manusia: kesehatan fisik, kebahagiaan, makna hidup, karakter, hubungan sosial, dan kesejahteraan spiritual.
Indonesia berada di posisi teratas sebagai negara yang warganya paling bahagia, dengan skor flourishing tertinggi, disusul Israel dan Filipina. Sementara Jepang, Turki, dan Inggris justru berada di posisi terbawah.
Yang jadi pertanyaan, mengapa Aceh yang warganya miskin dan terpuruk secara ekonomi, juga Indonesia yang banyak warganya masih berpendapatan rendah bisa bahagia?
Saya akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut.
Agama dan Ketahanan Sosial-Psikologis
Pertama, saya akan melihat peran utama agama sebagai basis ketahanan sosial psikologis yang menjadi alasan mengapa masyarakat Aceh dan Indonesia dapat bertahan, bahkan merasa bahagia.
Berdasarkan pemikiran sosiolog Emile Durkheim, kita bisa melihat bahwa ada korelasi yang kuat antara agama dan solidaritas sosial. Solidaritas sosial sendiri adalah teori Durkheim yang menjadi aspek ketahanan sosial dan faktor individu dapat hidup dengan baik dalam suatu komunitas masyarakat.
Agama sebagai kekuatan pengikat sosial. Durkheim berpendapat bahwa agama berperan penting dalam menciptakan dan mempertahankan solidaritas sosial. Agama menyediakan sistem nilai, simbol, dan ritual yang mendorong individu untuk merasa terikat dengan kelompok dan masyarakat. Durkheim juga melihat fungsi agama yang memberikan makna dan tujuan hidup, hal tersebut membantu individu dalam menghadapi tantangan dan kesulitan.
William James, filsuf dan psikolog Amerika Serikat ini meneliti tentang pengalaman keagamaan dan peran agama dalam memberikan rasa makna, tujuan hidup, dan kekuatan spiritual bagi individu. Menurutnya, pengalaman keagamaan dapat menjadi sumber kekuatan dan ketahanan psikologis dalam menghadapi tantangan dan kesulitan hidup.
James melihat bahwa agama memiliki fungsi untuk membantu manusia menghadapi penderitaan, penyakit, kehilangan, dan kematian, serta membantu mereka bertahan sebagai individu dalam masyarakat.
Seorang psikolog Albert Bandura memperkenalkan teori self efficacy atau efikasi diri. Teori ini menjelaskan tentang keyakinan individu terkait kemampuannya untuk berhasil dalam situasi tertentu. Dalam konteks agama, efikasi diri bisa dilihat sebagai keyakinan seseorang untuk mempraktekkan ajaran agama dalam hidup, mengatasi tantangan, dan mencapai tujuan spiritual.
Efikasi diri yang tinggi dapat meningkatkan motivasi untuk mencapai tujuan spiritual, seperti meningkatkan kualitas ibadah, meningkatkan pemahaman agama, dan mencapai kedamaian batin.Efikasi diri ini juga dapat membantu setiap orang untuk menghadapi tantangan dalam kehidupan yang mungkin berhubungan dengan ajaran agama, seperti menahan godaan, mengatasi kesulitan, dan tetap berpegang pada nilai-nilai agama. Efikasi diri yang tinggi dalam konteks agama dapat berdampak positif pada kehidupan tiap orang: dapat meningkatkan kualitas hidup, meningkatkan kesejahteraan mental, dan meningkatkan hubungan dengan Tuhan.
Meski agama seringkali dilihat secara skeptis, namun sejumlah studi dan teori justru membuktikan bahwa agama punya peran dalam membentuk ketahanan sosial-psikologis yang berdampak besar bagi masyarakat.
Komentar
Posting Komentar