Langsung ke konten utama

Mengapa Negeri Syariat tidak Bersyariat? Menjelaskan Anomali Sosial di Aceh

Aceh sebagai daerah yang berlaku syariat Islam namun marak muncul kasus yang mencoreng citra syariat. Tulisan berikut mencoba menganalisis persoalan kompleks ini, salah satunya adalah makin berjaraknya Islam dan syariat dari alam pikiran dan kesadaran generasi muda Aceh.  Tulisan ini merupakan tanggapan dari tulisan Putri Balqis Vilza berjudul Anomali Sosial dalam Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh yang ditulis di laman website kba13.com milik Prof. Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad. Putri coba mengangkat keresahannya mengenai maraknya angka bunuh diri pada mahasiswa, operasi tangkap tangan pasangan non muhrim, menjamurnya industri asusila, terjaringnya pasangan penyuka sesama jenis (Liwath/Musahaqah), sampai mewabahnya tindak kekerasan hingga pembunuhan yang terjadi di Aceh, padahal di Aceh berlaku Syariat Islam. Kamarruzzaman Bustamam Ahmad dalam salah satu artikelnya menyimpulkan bahwa kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya: Lingkungan pertem...

Anomali Data Statistik Aceh: Kondisi Aceh Baik Atau Buruk?

Di Tahun 2023, Universitas Syiah Kuala yang menjadi Jantong Hate Rakyat Aceh berada di peringkat ke delapan sebagai universitas terbaik di Indonesia. Suatu capaian luar biasa bagi dunia pendidikan Aceh. 

Di tahun yang sama, Banda Aceh menjadi kota dengan angka kualitas indeks pembangunan manusia (IPM) tertinggi di Indonesia. Data ini menunjukkan bahwa kota Banda Aceh adalah kota dengan penduduk yang hidup sejahtera secara ekonomi, kondisi warganya hidup layak dengan rata-rata tingkat pendidikan warga yang tinggi dan kualitas kesehatan yang juga baik, salah satu indikatornya adalah angka rata-rata harapan hidup (life expectancy) yang tinggi. Dengan kata lain, banyak warganya yang berumur panjang.

Namun jika kita menelaah data statistik lain dengan lebih terperinci, di saat yang sama, tiga dari Kabupaten/Kota di Aceh masuk dalam 10 besar wilayah dengan tingkat pengangguran tertinggi di Indonesia. Kota Lhokseumawe yang pernah jadi kota petrodollar, kota pusat industri, menduduki peringkat keempat kota dengan pengangguran tertinggi di Indonesia di angka 9,15 persen. 

Sementara Banda Aceh yang menjadi kota terbaik dalam indeks pembangunan manusia berada pada peringkat ke delapan terbanyak pengangguran se-Indonesia dengan kisaran angka 8,62 persen, diikuti oleh Aceh Besar di peringkat sembilan nasional dengan angka pengangguran sebesar 8,28 persen.

Data-data statistik ini menunjukkan anomali. Yang jadi catatan saya bahwa Aceh sebagai provinsi dengan persentase kemiskinan tertinggi di Sumatera, juga dengan capaian persentase pertumbuhan ekonomi paling kecil di Sumatera, di tambah lebih separuh penduduk atau 61,85 persen penduduk bekerja di sektor informal dengan penghasilan rata-rata per bulan hanya sekitar 1,7 juta rupiah perbulan, menunjukkan kinerja ekonomi daerah yang sedang tidak baik-baik saja. 

Geliat pertumbuhan ekonomi tidak terjadi di Aceh, atau tidak dirasakan oleh mayoritas masyarakat Aceh. Lebih dari setengah penduduk Aceh berpenghasilan sangat minim, jauh di bawah rata-rata upah minimun provinsi yang berada di angka 3,460 juta rupiah. Selain  denyut pertumbuhan ekonomi yang lemah, mayoritas atau rata-rata masyarakat Aceh juga berpenghasilan rendah, jumlah kelas menengah juga sedikit. 

Di sisi lain, dengan angka IPM Banda Aceh yang terbilang baik, bisa dipastikan bahwa kesenjangan sosial dan ekonomi juga tinggi di Aceh. Kesenjangan kualitas hidup dan pendapatan antara yang tinggal di kota yang jadi pusat kegiatan ekonomi dibandingkan kondisi masyarakat desa agaknya cukup terasa. Belum lagi kesenjangan ekonomi antara segelintir masyarakat yang berpenghasilan tinggi dengan masyarakat yang berpenghasilan rendah. 

Gaya hidup mewah masyarakat kelas atas di Aceh bisa dilihat dari jumlah kendaraan mewah atau yang harganya di atas 500 juta rupiah yang cukup mudah ditemukan di Aceh. Di tengah kondisi Aceh yang memprihatinkan, sebagian masyarakat kelas atas memamerkan hidup mewah melalui akun media sosial. Sebagian dari mereka menjadi influencer media sosial yang diikuti oleh banyak orang. 

Jika kita coba menelisik lebih dalam mengenai profesi dan sektor usaha masyarakat kelas atas di Aceh, saya coba memberikan asumsi–yang tentu perlu diuji dengan data statistik–bahwa masyarakat kelas atas Aceh sebagiannya hidup dengan APBA. Sebagian masyarakat kelas atas atau orang kaya Aceh adalah kontraktor atau yang mendapat manfaat dari kerja dengan anggaran pemerintah. Sebagian PNS khususnya pejabat daerah dan pejabat di dinas-dinas juga tergolong masyarakat kelas atas. Kendaraan roda empat dan bentuk rumah bisa dijadikan indikator yang valid. Mereka yang berprofesi sebagai dokter juga tergolong masyarakat berpendapatan tinggi di Aceh (juga dimanapun) sebagian dari mereka juga PNS.

Sementara itu, bukan tidak ada masyarakat berpendapatan tinggi yang menjadi kaya karena berwirausaha atau murni berbisnis. Pengusaha sektor perkebunan seperti pemilik kebun kelapa sawit di Aceh adalah diantara orang-orang yang masuk daftar pengusaha tergolong kaya di Aceh. Ada juga yang kaya dari usaha di sektor pertanian dengan memiliki lahan sawah yang luas atau memiliki kilang-kilang padi. Kilang-kilang padi dapat kita temui hampir di setiap kabupaten di Aceh. Ada juga pengusaha yang menjadi kaya karena bisnis perikanan seperti tambak udang, pengusaha perikanan seperti toke boat dan juga pengusaha di sektor jasa seperti pengusaha property, jasa angkutan transportasi (bis dan mobil penumpang) perdagangan ritel dan grosir, pemilik warung kopi dan lain-lain. 

Meski demikian, stigma bahwa ekonomi Aceh digerakkan dan bergantung dari APBA sangatlah kuat. Stimulus fiskal melalui anggaran pemerintah di Aceh menjadi penggerak roda perekonomian. Bahkan katanya, sebelum APBA disahkan di awal tahun, toko-toko di seputaran pasar Aceh dan sekitarnya masih sepi pembeli. Setelah APBA disahkan, pasar terasa mulai bergeliat kembali.

Saya coba menggambarkan tentang kondisi ekonomi Aceh hari ini yang sangat bergantung pada stimulus fiskal. Sementara lemahnya stimulus fiskal, berdampak kepada perlambatan ekonomi di pasar atau sektor usaha masyarakat. 

Pengangguran dan Nasib Sarjana

Kembali ke data statistik yang saya paparkan di awal, jika memang IPM Banda Aceh tinggi, mengapa angka pengangguran ikut tinggi? Saya coba akan coba menjawab anomali statistik ini. 

Pertama, IPM di Banda Aceh tinggi karena rata-rata jenjang pendidikan masyarakatnya tinggi dan kualitas kesehatan masyarakatnya baik. Berarti mayoritas masyarakatnya berpendidikan hingga SMA, SMK dan banyak yang meriah gelar sarjana. Namun yang menjadi masalah adalah menemukan bagi para fresh graduate dari universitas adalah menemukan pekerjaan yang sejalan dengan bidang yang ditekuni di kuliah. 

Jika di Aceh banyak kampus-kampus akademi kebidanan dan perawat, sementara jumlah pekerja di sektor ini terbatas, otomatis sebagian lulusan ini akan menganggur. Begitu juga mereka yang mengambil studi keguruan (FKIP) sementara jumlah guru yang diterima sebagai PNS terbatas, maka sebagian dari mereka harus menganggur. Begitu juga pada bidang studi keilmuan lainnya. 

Mindset lulusan universitas di Aceh hari ini adalah mencari kerja selepas menyelesaikan studi di kampus. Mindset pencari kerja (job seeker) ini juga turut mempengaruhi banyaknya angka pengangguran. Seharusnya generasi muda kita dibekali dengan kemampuan kreatif untuk menciptakan lapangan kerja (job creator) dan bukan hanya sebatas pencari kerja. 

Kedua, saya menilai bahwa di tengah zaman yang mengalami disrupsi, proporsi jumlah mahasiswa di bidang-bidang keilmuan atau studi tertentu juga harus direncanakan dan disesuaikan dengan teratur. Jangan sampai penerimaan siswa Fakultas Keguruan dan Imu Pendidikan (FKIP) jumlahnya besar, sementara jumlah lowongan kerja menjadi guru juga semakin terbatas. Hal lain, juga perlu mendorong keragaman program studi yang ada, khususnya program studi yang punya potensi untuk diterima lebih banyak di dunia kerja, atau program studi yang bisa menciptakan lapangan kerja. 

Ketiga, Fakultas ekonomi dan bisnis yang ada di Aceh harus serius membangun dan mengembangkan program studi ilmu bisnis untuk mendorong kewirausahaan di Aceh dan meningkatkan pertumbuhan wirausahawan yang terampil di bidangnya. Fakultas ekonomi jangan hanya terfokus pada akutansi dan ilmu perbankan, misalnya, yang membuat citra fakultas ekonomi seolah hanya memproduksi lahirnya calon pegawai bank dan asuransi, bukannya melahirkan pebisnis dan pengusaha handal.

Keempat, apapun bidang studi yang diambil oleh mahasiswa, penting untuk memberikan pelatihan dan bimbingan terkait kewirausahaan, baik di dalam kampus maupun di luar kampus. Dengan kata lain, apapun latar belakang studi yang diambil, setiap generasi muda di Aceh punya kemampuan untuk mengembangkan usaha atau berwirausaha di segala sektor, terutama sektor usaha yang terkait dengan basis keilmuannya. Kita bisa melihat bagaimana ilmu pendidikan dikembangkan menjadi sebuah industri atau sektor usaha di bidang pendidikan melalui aplikasi Ruangguru. Aplikasi tersebut mampu mengembangkan ilmu pendidikan ditambah dengan inovasi dengan teknologi digital menjadi industri baru yang membuka lapangan pekerjaan baru. 

Di sektor kesehatan, layanan kesehatan digital Halodoc dan AloDokter mampu mentransformasi ilmu kesehatan/kedokteraan menjadi bisnis/industri berbasis teknologi digital yang membuka lapangan kerja baru.  

Dengan membekali generasi muda dengan skill kewirausahaan, ditambah dengan melatih kemampuan kreatif dan kemampuan inovasi,  terlepas dari latar belakang disiplin ilmu apapun, mereka akan mampu mengembangkan kemampuannya menjadi sebuah ladang bisnis dan industri baru. Dalam hal ini, mereka menjadi job creator dan bukan sebatas job seeker.

Oleh: Jabal Ali Husin Sab

Mari dukung dan apresiasi karya ini dengan berdonasi, melalui link berikut: Trakteer

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Posisi Perempuan dalam Kasus Komersialisasi Asmara dan Industri Asusila di Banda Aceh

  Ilmuwan sosial dan akademisi kenamaan Aceh, Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad (KBA), dalam tulisan di laman pribadinya mengangkat tentang kasus “industri asusila” (prostitusi terselubung yang sedang marak) di Banda Aceh. Ia coba menyibak fenomena tersebut sebagai sebuah masalah atau patologi sosial di masyarakat kita sebagai sebuah hal yang meresahkan. Namun ada yang luput dari amatan KBA, bahwa perempuan-perempuan itu bukan semata subjek yang memilih dengan kesadaran penuh untuk menjadi pelaku asusila. Perempuan-perempuan tersebut juga bisa kita lihat sebagai korban dari konstruksi sosial-budaya yang dibentuk oleh pergeseran budaya massa di kalangan generasi muda, yang berakar pada kapitalisme dan budaya konsumerisme. Lewat tulisan ini saya coba mengangkat sebuah fenomena relasi paling natural antara laki-laki dan perempuan yang biasanya terikat dalam hubungan asmara, namun kini muncul varian hubungan asmara baru yang bertransformasi menjadi hubungan yang cenderung artifisial, direkat...

Mengapa Negeri Syariat tidak Bersyariat? Menjelaskan Anomali Sosial di Aceh

Aceh sebagai daerah yang berlaku syariat Islam namun marak muncul kasus yang mencoreng citra syariat. Tulisan berikut mencoba menganalisis persoalan kompleks ini, salah satunya adalah makin berjaraknya Islam dan syariat dari alam pikiran dan kesadaran generasi muda Aceh.  Tulisan ini merupakan tanggapan dari tulisan Putri Balqis Vilza berjudul Anomali Sosial dalam Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh yang ditulis di laman website kba13.com milik Prof. Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad. Putri coba mengangkat keresahannya mengenai maraknya angka bunuh diri pada mahasiswa, operasi tangkap tangan pasangan non muhrim, menjamurnya industri asusila, terjaringnya pasangan penyuka sesama jenis (Liwath/Musahaqah), sampai mewabahnya tindak kekerasan hingga pembunuhan yang terjadi di Aceh, padahal di Aceh berlaku Syariat Islam. Kamarruzzaman Bustamam Ahmad dalam salah satu artikelnya menyimpulkan bahwa kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya: Lingkungan pertem...

Hubungan Ulama dan Umara di Tiga Kerajaan di Nagan Raya: Peran Bersama Dalam Budaya Pertanian

Sebagaimana kuatnya peranan Ulama dalam mempengaruhi kebijakan kepemimpinan dalam Kesultanan Aceh, begitu pula dengan kerajaan-kerajaan kecil lainnya di Aceh. Hampir di setiap kerajaan kecil ini mempunyai ulama sebagai penasehat dan bahkan bisa dikatakan sebagai mitra kerja para raja. Para ulama ini ada yang menyebutnya sebagai Mufti dan sebagian tempat menjuluki mereka dengan sebutan Teungku Qadhi. Tanpa terkecuali termasuk Kerajaan Seunagan, Kerajaan Seuneu‘am dan Kerajaan Beutong Benggalang berada di wilayah yang kini dikenal sebagai Kabupaten Nagan Raya. Dimana dalam perjalanan sejarahnya, di ketiga kerajaan ini, hubungan para ulama dengan para raja sangatlah kental dan terjaga. Keterlibatan ulama dalam kepemimpinan di Nagan Raya sudah mulai terjalin kuat sejak era kerajaan, kuatnya hubungan ini juga mempengaruhi kebijakan pemerintahan raja-raja di Nagan. Bahkan hubungan semacam ini sudah menjadi hubungan emosional antara guru dan murid, sebagaimana hubungan antara Raja Seunagan Te...