Cerita ini terjadi jauh sebelum terbitnya surat edaran PJ Gubernur Aceh tentang pembatasan waktu operasi warung kopi hingga pukul 12 dini hari. Di satu momen menjelang pukul tiga pagi, saya mampir ke salah satu warung kopi terkenal di Banda Aceh yang buka 24 jam. Tampak jumlah pengunjung di warung kopi ini masih ditongkrongi sejumlah pengunjung. Tidak hanya di akhir pekan, saban hari kita dapat melihat warkop yang buka 24 jam punya segmentasi pasarnya sendiri, didominasi anak muda.
Begadang adalah sebuah kemewahan bagi generasi pasca-konflik Aceh. Aceh telah merasakan nikmatnya perdamaian yang masuk tahun ke-18 sekarang. Bagi yang merasakan konflik, tak terbayangkan rasanya berada di warung kopi hingga pukul 3 dini hari. Apalagi di wilayah-wilayah rawan di luar kota Banda Aceh.
Saya melihat kebiasaan begadang ini sebagai indikator bahwa Banda Aceh dan Provinsi Aceh secara keseluruhan sudah cukup aman bagi warganya. Namun di sisi lain, begadang berlawanan dengan semangat kedisiplinan dan etos kerja. Seorang yang hidup disiplin dalam bayangan kebanyakan orang adalah mereka yang bangun di waktu subuh (tentu wajib bagi muslim untuk shalat subuh), bekerja pada jam kerja mulai pukul delapan pagi hingga pukul lima petang, lalu tidur tepat pada waktunya, tentunya sebelum dini hari.
Kedisiplinan hidup juga sejalan dengan etos kerja. Seseorang yang hidup disiplin sangat berkaitan dengan tingkat etos kerjanya. Apalagi pada masyarakat modern yang berorientasi pada produktivitas ekonomi dan progresivitas, etos kerja adalah kunci.
Sebagian warga yang berprofesi sebagai wirausaha, apalagi yang bekerja di sektor informal bahkan serabutan, cenderung memiliki jam kerja fleksibel. Belum lagi para mahasiswa yang jam kuliahnya bisa disesuaikan, mereka cenderung punya privilege tersendiri untuk kadang-kadang begadang.
Para pekerja industri kreatif seperti desain grafis, pembuat konten media sosial dan yang bergerak di sektor usaha kreatif banyak juga yang tidak terpaku jam kerja ala kantoran. Banyak dari mereka yang menikmati waktu malam untuk bekerja.
Persoalan Lapangan Kerja
Di sisi lain kebiasaan begadang juga terkait dengan angkatan kerja yang terus tumbuh, sementara lapangan pekerjaan semakin sedikit tersedia. Jumlah angkatan kerja pada Agustus 2022 di Aceh sebanyak 2,553 juta orang. Penduduk yang bekerja sebanyak 2,395 juta orang. Sebanyak 922 ribu orang (38,55 persen) bekerja pada kegiatan formal. Sebanyak 1,631 juta orang bekerja pada kegiatan non-formal atau 61.45 persen. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Agustus 2022 sebesar 6,17 persen atau 158 ribu orang menganggur. Sementara yang setengah menganggur mencapai 10,45 persen.
Ada kekhawatiran tersendiri jika struktur angkatan kerja Aceh didominasi bekerja di sektor informal yang mencapai 61 persen atau lebih dari setengah angkatan kerja. Karena jumlah pekerja informal tinggi, dimana mereka tidak bekerja di kantor dengan jadwal harian rutin yang teratur, maka kecenderungan untuk nongkrong di warung kopi bagi angkatan kerja juga tinggi. Tak heran jika warung kopi diramaikan oleh anak muda hingga dini hari.
Masalah ketersediaan lapangan kerja bagi kaum muda ternyata bukan hanya masalah di Provinsi Aceh. Masalah pengangguran yang dialami oleh usia produktif ternyata adalah masalah nasional. Dari keseluruhan angka pengangguran di Indonesia, 43,98 persen atau hampir setengahnya berasal dari kelompok usia 20-29 tahun (data British Council). Sungguh disayangkan apabila pemuda usia produktif yang harusnya jadi aset bangsa sebagai angkatan kerja, justru menganggur karena kesulitan mendapatkan pekerjaan.
Ada yang mengatakan bahwa banyak anak muda yang pengangguran di Aceh karena Aceh tak tersentuh industrialisasi–pasca berakhirnya era kota petrodollar PT. Arun dan Mobil Oil di Lhokseumawe yang pernah jadi kota industri terbesar di Aceh. Di Aceh juga tidak banyak industri besar. Jadi banyak anak muda yang tidak dapat mengakses pekerjaan, sebagiannya memilih bermigrasi ke Pulau Jawa atau Malaysia.
Ketika mereka hijrah ke luar provinsi bahkan luar negeri, keterbatasan tingkat pendidikan menjadi masalah tersendiri. Sehingga karena mereka bukan pekerja terampil atau tidak memiliki ijazah universitas dan kompetensi serta skill tertentu, mereka hanya mampu mengakses pekerjaan yang terbatas. Karena keterbatasan peluang kerja tadi, kemungkinan mereka terjerumus ke dalam sindikat kriminal seperti bisnis narkoba atau bisnis terlarang lainnya cukup tinggi.
Sungguh disayangkan apabila citra perantau Aceh identik dengan bisnis narkoba atau bisnis obat-obatan keras psikotropika yang tidak dijual bebas. Begitu disayangkan apabila ada generasi muda Aceh yang memilih menjadi imigran gelap ke Malaysia karena tidak berkompeten atau tidak punya kesempatan untuk mengakses jalur kerja legal yang tersedia.
Untuk itu, perlu menjadi perhatian pemerintah dan institusi terkait untuk mengembangkan kapasitas sumber daya manusia dan meningkatkan kesempatan generasi muda untuk bisa mengakses ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Di luar tugas dan peran pemerintah, masyarakat perlu menggalakkan generasi muda agar bisa mengakses jenjang pendidikan lebih tinggi.
Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah melalui kepedulian keluarga besar atau ikatan persaudaraan. Jika ada paman atau pihak saudara yang mampu, mereka harus membantu biaya pendidikan anak muda di keluarga besarnya agar melanjutkan pendidikan. Namun seiring melemahnya ikatan institusi keluarga dalam tatanan masyarakat Aceh dewasa ini–mungkin sebagian keluarga besar masih kuat ikatan persaudaraannya–akibat perubahan zaman yang mengikis budaya komunal dan bergeser ke gaya hidup yang lebih individualis, maka kepedulian untuk menggalakkan atau membantu sanak saudara mengakses jenjang pendidikan lebih tinggi tidak berjalan seperti di era-era sebelumnya.
Apakah Industrialisasi jadi Solusi?
Bicara tentang disiplin dan etos kerja, kita tentu tidak ingin ke depan, industrialisasi di Aceh membuat orang-orang Aceh tak punya kehidupan privasi atau kehilangan budaya komunal untuk berkumpul dan bercengkrama di warung kopi. Teralienasi–dalam istilah Karl Marx–oleh kapitalisme, dengan waktu kerja yang habis tersita di pabrik-pabrik. Menjadi masyarakat yang diperas keringatnya demi keuntungan pemilik modal dan terjebak dalam rutinitas keseharian yang melelahkan. Terasing dari diri dan kehidupan sosialnya.
Namun demikian, orang Aceh juga tidak bisa diam dan terlalu santai di tengah perkembangan dunia yang begitu cepat. Kita tidak boleh hanya menjadi objek, hanya menjadi masyarakat yang mengonsumsi apa yang orang lain produksi. Kita menjadi manja dengan bansos dan subsidi lalu tidak bergerak maju untuk mencari penghidupan yang layak, setidaknya mandiri. Atau mungkin ikut berkontribusi dalam sektor dunia usaha yang bisa melihat peluang pasar di daerah sendiri, atau bahkan nasional dan internasional.
Ketimbang hanya bergantung pada lowongan kerja yang ditawarkan oleh pabrik-pabrik atau bergantung dari industri besar, sudah saatnya orang Aceh memikirkan peluang untuk membangun industri berskala kecil, bahkan industri rumah tangga. Dulu di Aceh dikenal sejumlah produk lokal seperti Sirup Kurnia, minuman limun, kecap Cap Angsa, kecap Cap Singa dan yang lainnya. Beberapa industri skala kecil di tingkat lokal tetap bertahan, ada yang berkembang, ada yang bisa bertahan dan ada yang telah mati.
Perlu upaya untuk terus menggalakkan masyarakat agar menghidupkan industri kecil. Salah satu usaha yang bagi saya cukup menarik adalah industri skala kecil yaitu rokok kretek Haba yang belum lama ini diproduksi di Aceh Besar. Meski berskala kecil, namun industri kecil ini sudah mampu established dan berjalan.
Di tengah keadaan ekonomi yang cukup sulit pasca pandemi, harusnya menjadi sebab untuk memantik kemampuan kreatif masyarakat, khususnya anak muda, untuk dapat bangkit menyongsong tantangan masa depan.
Provinsi seperti Aceh tak perlu bergantung pada industri besar, karena investasi asing untuk industrialisasi khususnya di sektor ekstraktif (pertambangan) belum tentu memberikan multiplier effect bagi masyarakat luas secara langsung dalam jangka pendek.
Solusinya adalah membangun UMKM dan industri skala kecil yang kreatif, inovatif serta punya nilai jual di pasar. Kemampuan mengakses pasar nasional maupun global terbuka lebar di era digitalisasi. Untuk itu anak muda harus mampu menghadapi tantangan zaman dan bergerak bangkit. Kreasi dan inovasi adalah hal yang mesti dimiliki oleh setiap generasi muda hari ini di era disrupsi.
Oleh: Jabal Sab
Mari dukung dan apresiasi karya ini dengan berdonasi, melalui link berikut: Trakteer
Komentar
Posting Komentar