Langsung ke konten utama

Posisi Perempuan dalam Kasus Komersialisasi Asmara dan Industri Asusila di Banda Aceh

  Ilmuwan sosial dan akademisi kenamaan Aceh, Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad (KBA), dalam tulisan di laman pribadinya mengangkat tentang kasus “industri asusila” (prostitusi terselubung yang sedang marak) di Banda Aceh. Ia coba menyibak fenomena tersebut sebagai sebuah masalah atau patologi sosial di masyarakat kita sebagai sebuah hal yang meresahkan. Namun ada yang luput dari amatan KBA, bahwa perempuan-perempuan itu bukan semata subjek yang memilih dengan kesadaran penuh untuk menjadi pelaku asusila. Perempuan-perempuan tersebut juga bisa kita lihat sebagai korban dari konstruksi sosial-budaya yang dibentuk oleh pergeseran budaya massa di kalangan generasi muda, yang berakar pada kapitalisme dan budaya konsumerisme. Lewat tulisan ini saya coba mengangkat sebuah fenomena relasi paling natural antara laki-laki dan perempuan yang biasanya terikat dalam hubungan asmara, namun kini muncul varian hubungan asmara baru yang bertransformasi menjadi hubungan yang cenderung artifisial, direkat...

Open Minded Yang Salah Dipahami: Kegamangan Muslim Menyikapi Modernitas

Di suatu malam di tahun 2008, ketika saya masih tinggal di Kuala Lumpur, saya dan beberapa orang teman waktu itu menyewa mobil dari salah satu penyewa mobil yang merupakan mahasiswa asal Iran. Sepertinya ia berasal dari keluarga berkecukupan. Ia kuliah sambil berbisnis rental mobil yang dikhususkan bagi para mahasiswa.

Saat itu mobil yang kami sewa mogok, kami terpaksa menelfon pemilik mobil sewa tersebut yang langsung menghampiri kami dan menjemput dengan mobil lain. Mobil yang mogok ditinggalkan di lokasi. Kami pulang dengan mobil jemputan milik si penyewa. Dalam perjalanan pulang kami bercerita dan membahas banyak hal.

Pemilik bisnis mobil rental yang merupakan mahasiswa asal Iran itu, sebut saja namanya Reza, bertanya kepada saya yang ia ketahui berasal dari Indonesia. "Di Jakarta, mobil mewah seperti Ferrari, Porsche atau Lamborghini tidak sebanyak di Kuala Lumpur ya?" Saya menjawab, "mungkin karena Jakarta terlalu luas dan jumlah kendaraan terlalu banyak, jadi mungkin agak jarang kelihatan."

Saya balik bertanya, "di Iran banyak para Ayatullah dan para Mullah, bagaimana tanggapanmu terhadap mereka?" Ia menampakkan mimik yang kurang menyenangkan mendengar saya menanyakan tentang para pemuka agama di negeri Persia itu.

"Kami orang-orang berpikiran open-minded, kami minum alkohol, kami tidak shalat," jawabnya. Ia juga menceritakan bahwa ia tidak suka dengan para Mullah yang mengatur moralitas dan membatasi kebebasan warga. 

Mungkin karena alasan itu, di Republik Islam Iran, sebagian warganya yang berpikiran liberal, kelas menengah atas, memilih untuk bermigrasi ke luar negeri dan tidak nyaman tinggal di negara yang menerapkan hukum Islam. 

Perlu diketahui bahwa, sebelum revolusi Islam,warga Teheran khususnya Teheran Utara yang merupakan kawasan elit menengah ke atas, di era monarki Syah Reza Fahlevi, mereka hidup mewah dan terpapar oleh gaya hidup modern dan berpikiran bebas. Tentu mereka tak senang dikekang oleh aturan syariat yang dijadikan hukum positif  pasca revolusi.

Yang menjadi tanda tanya bagi saya, mengapa seorang muslim menganggap bahwa berpikiran  terbuka (open-minded) dimaknai dengan mengonsumsi alkohol dan tidak menjalankan perintah shalat? Bagi saya, tradisi keilmuan dalam Islam adalah tradisi yang terbuka, berlandaskan pemikiran rasional, meski Islam mengatur pemeluknya dengan aturan syariat. Jika tanpa aturan dan larangan, apakah agama layak disebut agama? Bahkan semua agama memiliki perintah, aturan, anjuran dan larangan. 

Agama bagi saya adalah sumber etis dari Ilahi yang dengan aturan dan larangan, manusia bisa hidup harmoni, damai dan teratur sebagai individu dan sebagai sebuah tatanan masyarakat (meski memang ketaatan terhadap agama lebih baik lahir dari kesadaran pemeluknya ketimbang dipaksakan). Agama di sisi lain juga memberi tujuan dan makna hidup serta menjadi sumber jalan mencapai kebahagiaan.

Modernitas juga bukan berarti meninggalkan agama dan segala aturannya, modernitas bisa berjalan sesuai dengan ajaran agama, latar belakang kultural dan tradisi tiap-tiap tatanan masyarakat. 

Beberapa ilmuwan sosial mengangkat tentang teori keragaman modernitas (multiple modernities) yang secara fakta menunjukkan bahwa sejumlah peradaban dan kebudayaan non-Barat berhasil berkembang dan maju sebagai masyarakat modern dengan nilai, pola dan bentuknya yang beragam, sesuai dengan nilai dan kepercayaan ataupun tradisi lama yang ada dalam peradaban dan kebudayaan tersebut.

Kegamangan umat muslim di berbagai penjuru dunia dalam menyikapi modernitas telah membuat sebagian dari mereka tercerabut akarnya dari agama dan identitasnya sebagai muslim. Banyak yang hanyut dalam modernitas yang dipahami sebagai hedonisme, kehidupan bersenang-senang, hidup mewah, yang sama sekali bukan merupakan simbol kemajuan. Bahkan hedonisme sendiri adalah tanda mundurnya kualitas peradaban dan tanda-tanda dari melemahnya sebuah peradaban.

Jika kita menelisik peradaban Barat, hedonisme sebenarnya adalah sampah dari modernitas ala Barat itu sendiri. Sedangkan aspek yang mendorong kemajuan mereka seperti etos kerja, disiplin, integritas, keuletan, inovasi serta bersungguh-sungguh dalam ilmu pengetahuan, tidak kita ikuti. 

Mari dukung dan apresiasi karya ini dengan berdonasi, melalui link berikut: Trakteer

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Posisi Perempuan dalam Kasus Komersialisasi Asmara dan Industri Asusila di Banda Aceh

  Ilmuwan sosial dan akademisi kenamaan Aceh, Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad (KBA), dalam tulisan di laman pribadinya mengangkat tentang kasus “industri asusila” (prostitusi terselubung yang sedang marak) di Banda Aceh. Ia coba menyibak fenomena tersebut sebagai sebuah masalah atau patologi sosial di masyarakat kita sebagai sebuah hal yang meresahkan. Namun ada yang luput dari amatan KBA, bahwa perempuan-perempuan itu bukan semata subjek yang memilih dengan kesadaran penuh untuk menjadi pelaku asusila. Perempuan-perempuan tersebut juga bisa kita lihat sebagai korban dari konstruksi sosial-budaya yang dibentuk oleh pergeseran budaya massa di kalangan generasi muda, yang berakar pada kapitalisme dan budaya konsumerisme. Lewat tulisan ini saya coba mengangkat sebuah fenomena relasi paling natural antara laki-laki dan perempuan yang biasanya terikat dalam hubungan asmara, namun kini muncul varian hubungan asmara baru yang bertransformasi menjadi hubungan yang cenderung artifisial, direkat...

Tentang Nelayan Membuang Ikan 3 Ton di Lampulo dan Potensi Industri Pengolahan Ikan

Nelayan membuang 3 ton hasil tangkapannya di Lampulo, Kamis, (2/5) karena hasil tangkapan nelayan kali ini membludak. Mengakibatkan harga ikan di pasar anjlok. Mereka terpaksa membuang karena jika dijual, mereka tetap rugi, sementara kondisi ikan mulai membusuk.  Kejadian ini sangat disayangkan mengingat potensi laut kita yang cukup besar. Jumlah tangkapan ikan di musim tertentu bisa membludak. Jika stok membludak, harga ikan bisa menurun drastis. Sementara jumlah ikan yang mampu ditampung di cold storage terbatas. Katanya, sejumlah cold storage yang pernah dibangun untuk menampung hasil tangkapan ikan di Aceh, tinggal 46 persen yang masih berfungsi. Sisanya sudah tidak bisa digunakan lagi.  Keadaan ini patut disesali. Pertama, pemerintah yang telah membangun infrastruktur cold storage untuk menampung ikan, sebagiannya rusak tak dapat digunakan lagi. Tentu ini masuk kategori pemborosan anggaran yang merugikan kita semua.  Kedua, sistem supply chain atau rantai dagang peri...

Habaib, Abu Hasan Krueng Kalee dan Abon Seulimeum: Cerita Hubungan Habib dan Ulama di Aceh

Generasi Banda Aceh tahun 70-80an banyak yang masih ingat dengan Habib Ulee Kareng yang dikenal sebagai wali majzub/jazab di Ulee Kareng. Berdasarkan cerita Abu Din Lam Ateuk, beliau selalu naik sepeda ontel dan mendawamkan zikir Hu Hu Hu di dalam batin beliau (bukan dengan suara lisan). Nama beliau Habib Abubakar bin Hasan Assegaf. Beliau adalah paman dari sebelah ibu Habib Abdul Haris Alaydrus. Habib Abubakar punya saudara bernama Habib Ja'far bin Hasan Assegaf, yang berguru kepada Abu Hasan Krueng Kalee, ulama kharismatik Aceh yang berthariqah Haddadiyah, nisbah kepada Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad di Hadramaut, Yaman. Abu Hasan Krueng Kalee selain mengajar di Dayah Siem (wilayah XXVI Mukim Sagi Aceh Darussalam), juga mengajar di Gampong Keudah. Lokasi yang berdekatan dengan perkampungan Habaib di Peulanggahan, Gampong Jawa dan Merduati. Di era 2000'an pengajian di Gampong Jawa dipimpin oleh Almarhum Abon Seulimum, anak Abu Abdul Wahab Seulimum (yg akan saya ceritakan be...