Langsung ke konten utama

Mengapa Negeri Syariat tidak Bersyariat? Menjelaskan Anomali Sosial di Aceh

Aceh sebagai daerah yang berlaku syariat Islam namun marak muncul kasus yang mencoreng citra syariat. Tulisan berikut mencoba menganalisis persoalan kompleks ini, salah satunya adalah makin berjaraknya Islam dan syariat dari alam pikiran dan kesadaran generasi muda Aceh.  Tulisan ini merupakan tanggapan dari tulisan Putri Balqis Vilza berjudul Anomali Sosial dalam Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh yang ditulis di laman website kba13.com milik Prof. Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad. Putri coba mengangkat keresahannya mengenai maraknya angka bunuh diri pada mahasiswa, operasi tangkap tangan pasangan non muhrim, menjamurnya industri asusila, terjaringnya pasangan penyuka sesama jenis (Liwath/Musahaqah), sampai mewabahnya tindak kekerasan hingga pembunuhan yang terjadi di Aceh, padahal di Aceh berlaku Syariat Islam. Kamarruzzaman Bustamam Ahmad dalam salah satu artikelnya menyimpulkan bahwa kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya: Lingkungan pertem...

Open Minded Yang Salah Dipahami: Kegamangan Muslim Menyikapi Modernitas

Di suatu malam di tahun 2008, ketika saya masih tinggal di Kuala Lumpur, saya dan beberapa orang teman waktu itu menyewa mobil dari salah satu penyewa mobil yang merupakan mahasiswa asal Iran. Sepertinya ia berasal dari keluarga berkecukupan. Ia kuliah sambil berbisnis rental mobil yang dikhususkan bagi para mahasiswa.

Saat itu mobil yang kami sewa mogok, kami terpaksa menelfon pemilik mobil sewa tersebut yang langsung menghampiri kami dan menjemput dengan mobil lain. Mobil yang mogok ditinggalkan di lokasi. Kami pulang dengan mobil jemputan milik si penyewa. Dalam perjalanan pulang kami bercerita dan membahas banyak hal.

Pemilik bisnis mobil rental yang merupakan mahasiswa asal Iran itu, sebut saja namanya Reza, bertanya kepada saya yang ia ketahui berasal dari Indonesia. "Di Jakarta, mobil mewah seperti Ferrari, Porsche atau Lamborghini tidak sebanyak di Kuala Lumpur ya?" Saya menjawab, "mungkin karena Jakarta terlalu luas dan jumlah kendaraan terlalu banyak, jadi mungkin agak jarang kelihatan."

Saya balik bertanya, "di Iran banyak para Ayatullah dan para Mullah, bagaimana tanggapanmu terhadap mereka?" Ia menampakkan mimik yang kurang menyenangkan mendengar saya menanyakan tentang para pemuka agama di negeri Persia itu.

"Kami orang-orang berpikiran open-minded, kami minum alkohol, kami tidak shalat," jawabnya. Ia juga menceritakan bahwa ia tidak suka dengan para Mullah yang mengatur moralitas dan membatasi kebebasan warga. 

Mungkin karena alasan itu, di Republik Islam Iran, sebagian warganya yang berpikiran liberal, kelas menengah atas, memilih untuk bermigrasi ke luar negeri dan tidak nyaman tinggal di negara yang menerapkan hukum Islam. 

Perlu diketahui bahwa, sebelum revolusi Islam,warga Teheran khususnya Teheran Utara yang merupakan kawasan elit menengah ke atas, di era monarki Syah Reza Fahlevi, mereka hidup mewah dan terpapar oleh gaya hidup modern dan berpikiran bebas. Tentu mereka tak senang dikekang oleh aturan syariat yang dijadikan hukum positif  pasca revolusi.

Yang menjadi tanda tanya bagi saya, mengapa seorang muslim menganggap bahwa berpikiran  terbuka (open-minded) dimaknai dengan mengonsumsi alkohol dan tidak menjalankan perintah shalat? Bagi saya, tradisi keilmuan dalam Islam adalah tradisi yang terbuka, berlandaskan pemikiran rasional, meski Islam mengatur pemeluknya dengan aturan syariat. Jika tanpa aturan dan larangan, apakah agama layak disebut agama? Bahkan semua agama memiliki perintah, aturan, anjuran dan larangan. 

Agama bagi saya adalah sumber etis dari Ilahi yang dengan aturan dan larangan, manusia bisa hidup harmoni, damai dan teratur sebagai individu dan sebagai sebuah tatanan masyarakat (meski memang ketaatan terhadap agama lebih baik lahir dari kesadaran pemeluknya ketimbang dipaksakan). Agama di sisi lain juga memberi tujuan dan makna hidup serta menjadi sumber jalan mencapai kebahagiaan.

Modernitas juga bukan berarti meninggalkan agama dan segala aturannya, modernitas bisa berjalan sesuai dengan ajaran agama, latar belakang kultural dan tradisi tiap-tiap tatanan masyarakat. 

Beberapa ilmuwan sosial mengangkat tentang teori keragaman modernitas (multiple modernities) yang secara fakta menunjukkan bahwa sejumlah peradaban dan kebudayaan non-Barat berhasil berkembang dan maju sebagai masyarakat modern dengan nilai, pola dan bentuknya yang beragam, sesuai dengan nilai dan kepercayaan ataupun tradisi lama yang ada dalam peradaban dan kebudayaan tersebut.

Kegamangan umat muslim di berbagai penjuru dunia dalam menyikapi modernitas telah membuat sebagian dari mereka tercerabut akarnya dari agama dan identitasnya sebagai muslim. Banyak yang hanyut dalam modernitas yang dipahami sebagai hedonisme, kehidupan bersenang-senang, hidup mewah, yang sama sekali bukan merupakan simbol kemajuan. Bahkan hedonisme sendiri adalah tanda mundurnya kualitas peradaban dan tanda-tanda dari melemahnya sebuah peradaban.

Jika kita menelisik peradaban Barat, hedonisme sebenarnya adalah sampah dari modernitas ala Barat itu sendiri. Sedangkan aspek yang mendorong kemajuan mereka seperti etos kerja, disiplin, integritas, keuletan, inovasi serta bersungguh-sungguh dalam ilmu pengetahuan, tidak kita ikuti. 

Mari dukung dan apresiasi karya ini dengan berdonasi, melalui link berikut: Trakteer

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Posisi Perempuan dalam Kasus Komersialisasi Asmara dan Industri Asusila di Banda Aceh

  Ilmuwan sosial dan akademisi kenamaan Aceh, Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad (KBA), dalam tulisan di laman pribadinya mengangkat tentang kasus “industri asusila” (prostitusi terselubung yang sedang marak) di Banda Aceh. Ia coba menyibak fenomena tersebut sebagai sebuah masalah atau patologi sosial di masyarakat kita sebagai sebuah hal yang meresahkan. Namun ada yang luput dari amatan KBA, bahwa perempuan-perempuan itu bukan semata subjek yang memilih dengan kesadaran penuh untuk menjadi pelaku asusila. Perempuan-perempuan tersebut juga bisa kita lihat sebagai korban dari konstruksi sosial-budaya yang dibentuk oleh pergeseran budaya massa di kalangan generasi muda, yang berakar pada kapitalisme dan budaya konsumerisme. Lewat tulisan ini saya coba mengangkat sebuah fenomena relasi paling natural antara laki-laki dan perempuan yang biasanya terikat dalam hubungan asmara, namun kini muncul varian hubungan asmara baru yang bertransformasi menjadi hubungan yang cenderung artifisial, direkat...

Mengapa Negeri Syariat tidak Bersyariat? Menjelaskan Anomali Sosial di Aceh

Aceh sebagai daerah yang berlaku syariat Islam namun marak muncul kasus yang mencoreng citra syariat. Tulisan berikut mencoba menganalisis persoalan kompleks ini, salah satunya adalah makin berjaraknya Islam dan syariat dari alam pikiran dan kesadaran generasi muda Aceh.  Tulisan ini merupakan tanggapan dari tulisan Putri Balqis Vilza berjudul Anomali Sosial dalam Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh yang ditulis di laman website kba13.com milik Prof. Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad. Putri coba mengangkat keresahannya mengenai maraknya angka bunuh diri pada mahasiswa, operasi tangkap tangan pasangan non muhrim, menjamurnya industri asusila, terjaringnya pasangan penyuka sesama jenis (Liwath/Musahaqah), sampai mewabahnya tindak kekerasan hingga pembunuhan yang terjadi di Aceh, padahal di Aceh berlaku Syariat Islam. Kamarruzzaman Bustamam Ahmad dalam salah satu artikelnya menyimpulkan bahwa kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya: Lingkungan pertem...

Hubungan Ulama dan Umara di Tiga Kerajaan di Nagan Raya: Peran Bersama Dalam Budaya Pertanian

Sebagaimana kuatnya peranan Ulama dalam mempengaruhi kebijakan kepemimpinan dalam Kesultanan Aceh, begitu pula dengan kerajaan-kerajaan kecil lainnya di Aceh. Hampir di setiap kerajaan kecil ini mempunyai ulama sebagai penasehat dan bahkan bisa dikatakan sebagai mitra kerja para raja. Para ulama ini ada yang menyebutnya sebagai Mufti dan sebagian tempat menjuluki mereka dengan sebutan Teungku Qadhi. Tanpa terkecuali termasuk Kerajaan Seunagan, Kerajaan Seuneu‘am dan Kerajaan Beutong Benggalang berada di wilayah yang kini dikenal sebagai Kabupaten Nagan Raya. Dimana dalam perjalanan sejarahnya, di ketiga kerajaan ini, hubungan para ulama dengan para raja sangatlah kental dan terjaga. Keterlibatan ulama dalam kepemimpinan di Nagan Raya sudah mulai terjalin kuat sejak era kerajaan, kuatnya hubungan ini juga mempengaruhi kebijakan pemerintahan raja-raja di Nagan. Bahkan hubungan semacam ini sudah menjadi hubungan emosional antara guru dan murid, sebagaimana hubungan antara Raja Seunagan Te...