Penguasa bisnis baterai lithium di dunia, adalah CATL. Menguasai 35 persen pangsa pasar baterai lithium untuk mobil listrik. Perusahaan ini milik Zeng Yuqun atau Robin Zeng. Orang terkaya ketiga di Cina dan terkaya ke 29 di dunia. Iya bahkan telah membuat pabrik baterai di Jerman dan menyuplai baterai untuk mobil listrik bagi BMW, Daimler Chrysler, Tesla, Ford, dll. CATL ini yang berencana investasi 500 triliun untuk proyek hilirisasi nikel di Indonesia. Opung Luhut menjadi aktor utama dalam proses diplomasi investasi ini.
Setelah beberapa proses pertemuan antara Luhut dan Robin Zeng, kabarnya telah mencapai kesepakatan kerjasama untuk proyek hilirisasi nikel di Indonesia
Sementara itu The Economist yang pernah memuat tentang prospek ekonomi Indonesia yang menjanjikan di masa depan, menyebut dua aktor utama dalam bisnis hilirisasi nikel di Indonesia: Pandu Sjahrir, keponakan Luhut (Menteri Investasi dan Maritim) dan Garibaldi Thohir, saudara kandung Erick Thohir (Menteri BUMN). Lingkaran kekuasaan sepertinya selalu memiliki koneksi dengan pebisnis dalam sebuah jaringan kepentingan ekonomi-politik di negara kapitalis manapun.
Sementara itu, Presiden Jokowi menjadikan kampanye hilirisasi nikel sebagai sebuah megaproyek andalan pemerintahannya. Pemerintah memutuskan larangan ekspor nikel mentah, khususnya ke negara-negara Eropa, memutuskan untuk membuat smelter pengolahan nikel di dalam negeri dan mengekspor nikel yang telah diproses menjadi produk baterai lithium, yang kabarnya proyek hilirisasi ini dikuasai oleh mayoritas perusahaan dari negeri Tirai Bambu.
Kebijakan ini harus menghadapi gugatan Uni Eropa di WTO. Pasalnya kebijakan ini menguntungkan China dan merugikan negara-negara Eropa yang selama ini diuntungkan dari impor bahan mentah negara-negara berkembang. Mereka membeli sumber daya alam mentah dengan harga murah lalu mendapatkan keuntungan dari industri pengolahan SDA tersebut.
Kerjasama Investasi Hilirisasi Menguntungkan atau Merugikan Indonesia?
Sepintas gagasan ini terkesan cukup ideal. Namun kebijakan ini oleh sebagian pihak dianggap bermasalah. Pemerintah memberikan tax break atau pengurangan pajak bagi investor Tiongkok.
Politisi Zulfikar Hamonangan, seperti dikutip media Tiongkok South China Morning Post menyebut bahwa rencana hilirisasi nikel di Indonesia cenderung dikuasai oleh Tiongkok. Perusahaan asal Tirai Bambu ini mendapatkan keuntungan dengan pemotongan pajak hingga 30 persen.
Pengamat Bima Yudhistira menyatakan bahwa kebijakan hilirisasi nikel hanya menguntungkan Tiongkok secara sepihak, kebijakan pemotongan pajak ini membuat negara tidak diuntungkan dari penerimaan pajak.
Ekonom Faisal Basri lebih lanjut mengungkapkan bahwa ratusan ribu pekerja didatangkan dari Tiongkok untuk bekerja di smelter nikel, padahal mereka bukan tenaga ahli. Faisal mengungkap kerugian Indonesia karena berpindahnya devisa ke luar negeri. Indonesia dianggap dirugikan oleh kebijakan ini.
kebijakan perdagangan Indonesia dalam proyek nikel terkesan dikuasai oleh Tiongkok. Indonesia seakan mengabaikan prinsip politik luar negeri yang berimbang. Seharusnya pemerintah dalam kebijakan perdagangan luar negeri harus lebih fair dan membuka kesempatan bagi semua negara dan bisnis dalam investasi. Lalu memilih pihak mana yang paling mampu menawarkan kerjasama bisnis yang adil dan menguntungkan semua pihak.
Sementara itu, dorongan Uni Eropa yang menuntut larangan ekspor nikel mentah Indonesia di WTO harusnya diimbangi dengan tawaran kerjasama pengolahan nikel bagi anggota WTO lainnya secara fair dan kompetitif. Dengan ini Indonesia akan berhasil menciptakan keseimbangan pasokan energi dunia bagi negara manapun, sehingga tidak terkesan memihak, tanpa membatalkan rencana hilirisasi nikel.
Di satu sisi Indonesia dan negara-negara berkembang dirugikan karena hanya mengekspor sumber daya alam mentah, tanpa diolah terlebih dahulu di dalam negeri. Tentu pihak yang selama ini diuntungkan ketar-ketir ketika Indonesia berupaya meluncurkan proyek hilirisasi. Indonesia membangun industri hilirisasi secara umum adalah rencana yang baik. Dengan hal tersebut, akan menumbuhkan sektor industri baru yakni industri pengolahan dalam negeri yang dapat membuka lapangan kerja.
Di sisi lain, China sebagai kekuatan ekonomi baru selain Amerika Serikat dan Uni Eropa yang menjadi kekuatan alternatif bagi negara-negara dunia untuk melawan hegemoni Barat, juga bukanlah “malaikat penolong” yang mau memberikan bantuan gratis begitu saja.
There’s no such free lunch. Tidak ada makan siang gratis. Pada dasarnya ekonomi adalah soal meraup keuntungan. China menawarkan program hilirisasi dengan skema kerjasama yang tidak berimbang. Sementara itu negara-negara Barat lebih parahnya, memaksa kita hanya menjadi pemasok bahan baku mentah dan mencegah Indonesia berkembang untuk membangun industri pengolahan SDA dalam negeri.
Kita harapkan ke depan, dalam proses penyusunan kerjasama ekonomi, kita harus lebih berani dalam memperjuangkan kepentingan nasional di hadapan negara-negara besar dunia. Sudah saatnya kita berdiri tegak di hadapan kekuatan modal manapun di dunia.
Oleh: Jabal Sab
Mari dukung dan apresiasi karya ini dengan berdonasi, melalui link berikut: Trakteer
Komentar
Posting Komentar