Langsung ke konten utama

Mengapa Negeri Syariat tidak Bersyariat? Menjelaskan Anomali Sosial di Aceh

Aceh sebagai daerah yang berlaku syariat Islam namun marak muncul kasus yang mencoreng citra syariat. Tulisan berikut mencoba menganalisis persoalan kompleks ini, salah satunya adalah makin berjaraknya Islam dan syariat dari alam pikiran dan kesadaran generasi muda Aceh.  Tulisan ini merupakan tanggapan dari tulisan Putri Balqis Vilza berjudul Anomali Sosial dalam Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh yang ditulis di laman website kba13.com milik Prof. Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad. Putri coba mengangkat keresahannya mengenai maraknya angka bunuh diri pada mahasiswa, operasi tangkap tangan pasangan non muhrim, menjamurnya industri asusila, terjaringnya pasangan penyuka sesama jenis (Liwath/Musahaqah), sampai mewabahnya tindak kekerasan hingga pembunuhan yang terjadi di Aceh, padahal di Aceh berlaku Syariat Islam. Kamarruzzaman Bustamam Ahmad dalam salah satu artikelnya menyimpulkan bahwa kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya: Lingkungan pertem...

Semangat Shalat Berjamaah: Gambaran Psikologis dan Sosiologis Masyarakat Kita


Sebelum saya memuji daerah lain yang ada di Indonesia, saya terlebih dahulu memuji kelebihan Aceh dibanding daerah lain. Hal positif yang ada di Aceh, terlebih Banda Aceh, setiap warung kopi semuanya punya fasilitas mushalla yang layak, hampir di seluruh warung kopi. 

Di Banda Aceh khususnya, tiap fasilitas publik seperti warung kopi, cafe dan restoran, menyediakan mushalla sebagai tempat untuk menunaikan ibadah shalat. Fasilitas umum ini sesuai dengan semangat syariat Islam yang ada di Aceh. Ketersediaan mushalla ini juga memudahkan warga yang mayoritasnya umat Muslim untuk menunaikan kewajiban shalat.

Di Jakarta, tidak semua tempat seperti cafe atau restoran menyediakan mushalla atau tempat untuk menunaikan shalat. Namun di setiap mall atau pusat perbelanjaan besar, sudah pasti tersedia mushalla. Yang luar biasa dari mushalla tempat perbelanjaan besar di Jakarta, bukan soal desain ruangan yang mewah, bukan juga soal bangunannya, tetapi soal masyarakat pengunjung pusat perbelanjaan ini yang luar biasa.

Di satu kesempatan saya masuk ke mushalla di sebuah mall untuk menunaikan shalat ashar, namun saya shalat waktu itu bukan di awal waktu, melainkan agak pertengahan waktu. Saya menyaksikan pengunjung mushalla sedang shalat berjamaah. Saya langsung masuk ke barisan shaf yang hanya tersisa beberapa bagian lagi saat jamaah sedang menunaikan shalat di rakaat ketiga. 

Setelah imam mengucapkan salam tanda shalat berakhir, beberapa jamaah yang masbuk (terlambat) melanjutkan shalat dan menyempurnakan bilangan rakaatnya. Lalu pengunjung mushalla yang baru masuk yang tak sempat berjamaah bersama imam, secara otomatis membentuk barisan shaf baru dan salah satu dari mereka berdiri sebagai imam. Jamaah baru shalat ashar didirikan setelah sebelumnya serombongan jamaah ashar selesai menunaikan shalat.

Di sini saya agak sedikit takjub. Kesadaran shalat berjamaah begitu tinggi di ibukota negara ini, pikir saya. Hal tersebut terjadi bukan di masjid yang memang rumah ibadah, melainkan di mushalla tempat perbelanjaan besar alias mall, yang mana merupakan tempat berbelanja atau tempat makan dan mencari hiburan. Jika mall yang identik dengan kesenangan dunia saja, kesadaran berjamaah pengunjungnya tinggi, apalagi masjidnya, pikir saya. 

Di satu sisi kita boleh membanggakan masjid-masjid yang berdiri megah di se-antero Aceh. Tapi untuk kesadaran shalat berjamaah, sepertinya kita perlu melihat kebiasaan masyarakat di daerah lain. 

Saya yang sering shalat di mushalla-mushalla warung kopi di Banda Aceh, masih agak jarang melihat suasana shalat dilaksanakan secara berjamaah di mushalla-mushalla warung kopi. Mungkin hanya beberapa kali dari sekian banyak pengalaman saya shalat di warung kopi, pengunjung warung kopi berinisiatif untuk shalat berjamaah.

Saya mencoba menelisik makna atau menginterpretasikan fenomena antara shalat sendiri dan berjamaah di mushalla tempat umum ini, selain karena kesadaran beragama–karena pengetahuan agama bahwa shalat berjamaah lebih utama dan diganjar pahala lebih besar–saya coba menyimpulkan bahwa kita masyarakat Aceh hari ini punya faktor sosio-psikologis tersendiri. Karena faktor sosio-psikologis tersebut, masyarakat kita cenderung enggan berjamaah dan lebih memilih shalat sendiri-sendiri.

***

Shalat berjamaah adalah simbol persatuan umat Islam, dari shalat berjamaah dengan barisan shaf yang tersusun rapat dan rapi, menggambarkan semangat kolektivitas, solidaritas dan persatuan umat Islam. Setiap umat Muslim yang terikat dengan ikatan persaudaraan yang disebut ukhuwah Islamiyah, berdiri sejajar satu sama lain, terlepas dari status sosialnya. Semangat kolektivitas atau kebersamaan terlihat kental dalam barisan shaf shalat. 

Fenomena mengapa dewasa ini di mushalla warung-warung kopi kita, banyak (bukan semuanya) yang memilih shalat sendiri, secara sosio-psikologis, dalam amatan saya mengisyaratkan bahwa rasa kepercayaan (trust) antar satu sama lain, terkesan memudar. Bentuk rasa saling percaya dalam shalat berjamaah terlihat melalui dipercayakannya satu orang untuk menjadi imam memimpin jamaah shalat lain yang menjadi makmum.

Rasa keterikatan antar sesama yang notabene muslim, dalam masyarakat kita yang memang tidak saling mengenal, juga terkesan longgar ketika mereka tidak saling mengajak untuk menunaikan shalat berjamaah dan cenderung memutuskan untuk shalat sendiri-sendiri. Semangat kolektif seolah tergerus oleh budaya modern yang cenderung individualistis. Kita cenderung memikirkan tentang apa yang harus kita lakukan hanya bagi diri kita sendiri saja, bukan memikirkan tentang apa yang harus kita lakukan bersama, untuk kemaslahatan bersama. 

Kita terkesan enggan atau bahkan cuek untuk memperhatikan masalah shalat berjamaah. Menurut hemat saya, dengan dimulai dari mengajak shalat berjamaah orang yang tidak kita kenal, di situ kita sudah mulai mencoba membangun rasa kepercayaan antar sesama masyarakat, walaupun tidak saling kenal. Dari semangat shalat berjamaah, kita telah membangun benih-benih semangat kolektivitas, semangat kooperatif atau kerjasama dan membangun solidaritas sosial antar sesama. 

Masyarakat yang maju adalah masyarakat yang solid, dimana sesama anggota masyarakat saling percaya antar satu sama lain, punya kemampuan untuk bekerja sama antar satu sama lain serta memiliki kesadaran tentang fungsi, peran dan tanggung jawab dalam masyarakat sebagai makhluk sosial. 

Melalui shalat berjamaah kita bisa belajar makna persatuan, merapatkan barisan untuk melaksanakan tugas kita sebagai hamba Tuhan (hablumminallah) dan menunaikan kewajiban sosial kita dengan sesama manusia (hablumminannas).

Oleh: Jabal Sab

Mari dukung dan apresiasi karya ini dengan berdonasi, melalui link berikut: Trakteer

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Posisi Perempuan dalam Kasus Komersialisasi Asmara dan Industri Asusila di Banda Aceh

  Ilmuwan sosial dan akademisi kenamaan Aceh, Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad (KBA), dalam tulisan di laman pribadinya mengangkat tentang kasus “industri asusila” (prostitusi terselubung yang sedang marak) di Banda Aceh. Ia coba menyibak fenomena tersebut sebagai sebuah masalah atau patologi sosial di masyarakat kita sebagai sebuah hal yang meresahkan. Namun ada yang luput dari amatan KBA, bahwa perempuan-perempuan itu bukan semata subjek yang memilih dengan kesadaran penuh untuk menjadi pelaku asusila. Perempuan-perempuan tersebut juga bisa kita lihat sebagai korban dari konstruksi sosial-budaya yang dibentuk oleh pergeseran budaya massa di kalangan generasi muda, yang berakar pada kapitalisme dan budaya konsumerisme. Lewat tulisan ini saya coba mengangkat sebuah fenomena relasi paling natural antara laki-laki dan perempuan yang biasanya terikat dalam hubungan asmara, namun kini muncul varian hubungan asmara baru yang bertransformasi menjadi hubungan yang cenderung artifisial, direkat...

Mengapa Negeri Syariat tidak Bersyariat? Menjelaskan Anomali Sosial di Aceh

Aceh sebagai daerah yang berlaku syariat Islam namun marak muncul kasus yang mencoreng citra syariat. Tulisan berikut mencoba menganalisis persoalan kompleks ini, salah satunya adalah makin berjaraknya Islam dan syariat dari alam pikiran dan kesadaran generasi muda Aceh.  Tulisan ini merupakan tanggapan dari tulisan Putri Balqis Vilza berjudul Anomali Sosial dalam Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh yang ditulis di laman website kba13.com milik Prof. Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad. Putri coba mengangkat keresahannya mengenai maraknya angka bunuh diri pada mahasiswa, operasi tangkap tangan pasangan non muhrim, menjamurnya industri asusila, terjaringnya pasangan penyuka sesama jenis (Liwath/Musahaqah), sampai mewabahnya tindak kekerasan hingga pembunuhan yang terjadi di Aceh, padahal di Aceh berlaku Syariat Islam. Kamarruzzaman Bustamam Ahmad dalam salah satu artikelnya menyimpulkan bahwa kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya: Lingkungan pertem...

Hubungan Ulama dan Umara di Tiga Kerajaan di Nagan Raya: Peran Bersama Dalam Budaya Pertanian

Sebagaimana kuatnya peranan Ulama dalam mempengaruhi kebijakan kepemimpinan dalam Kesultanan Aceh, begitu pula dengan kerajaan-kerajaan kecil lainnya di Aceh. Hampir di setiap kerajaan kecil ini mempunyai ulama sebagai penasehat dan bahkan bisa dikatakan sebagai mitra kerja para raja. Para ulama ini ada yang menyebutnya sebagai Mufti dan sebagian tempat menjuluki mereka dengan sebutan Teungku Qadhi. Tanpa terkecuali termasuk Kerajaan Seunagan, Kerajaan Seuneu‘am dan Kerajaan Beutong Benggalang berada di wilayah yang kini dikenal sebagai Kabupaten Nagan Raya. Dimana dalam perjalanan sejarahnya, di ketiga kerajaan ini, hubungan para ulama dengan para raja sangatlah kental dan terjaga. Keterlibatan ulama dalam kepemimpinan di Nagan Raya sudah mulai terjalin kuat sejak era kerajaan, kuatnya hubungan ini juga mempengaruhi kebijakan pemerintahan raja-raja di Nagan. Bahkan hubungan semacam ini sudah menjadi hubungan emosional antara guru dan murid, sebagaimana hubungan antara Raja Seunagan Te...