Sebelum saya memuji daerah lain yang ada di Indonesia, saya terlebih dahulu memuji kelebihan Aceh dibanding daerah lain. Hal positif yang ada di Aceh, terlebih Banda Aceh, setiap warung kopi semuanya punya fasilitas mushalla yang layak, hampir di seluruh warung kopi.
Di Banda Aceh khususnya, tiap fasilitas publik seperti warung kopi, cafe dan restoran, menyediakan mushalla sebagai tempat untuk menunaikan ibadah shalat. Fasilitas umum ini sesuai dengan semangat syariat Islam yang ada di Aceh. Ketersediaan mushalla ini juga memudahkan warga yang mayoritasnya umat Muslim untuk menunaikan kewajiban shalat.
Di Jakarta, tidak semua tempat seperti cafe atau restoran menyediakan mushalla atau tempat untuk menunaikan shalat. Namun di setiap mall atau pusat perbelanjaan besar, sudah pasti tersedia mushalla. Yang luar biasa dari mushalla tempat perbelanjaan besar di Jakarta, bukan soal desain ruangan yang mewah, bukan juga soal bangunannya, tetapi soal masyarakat pengunjung pusat perbelanjaan ini yang luar biasa.
Di satu kesempatan saya masuk ke mushalla di sebuah mall untuk menunaikan shalat ashar, namun saya shalat waktu itu bukan di awal waktu, melainkan agak pertengahan waktu. Saya menyaksikan pengunjung mushalla sedang shalat berjamaah. Saya langsung masuk ke barisan shaf yang hanya tersisa beberapa bagian lagi saat jamaah sedang menunaikan shalat di rakaat ketiga.
Setelah imam mengucapkan salam tanda shalat berakhir, beberapa jamaah yang masbuk (terlambat) melanjutkan shalat dan menyempurnakan bilangan rakaatnya. Lalu pengunjung mushalla yang baru masuk yang tak sempat berjamaah bersama imam, secara otomatis membentuk barisan shaf baru dan salah satu dari mereka berdiri sebagai imam. Jamaah baru shalat ashar didirikan setelah sebelumnya serombongan jamaah ashar selesai menunaikan shalat.
Di sini saya agak sedikit takjub. Kesadaran shalat berjamaah begitu tinggi di ibukota negara ini, pikir saya. Hal tersebut terjadi bukan di masjid yang memang rumah ibadah, melainkan di mushalla tempat perbelanjaan besar alias mall, yang mana merupakan tempat berbelanja atau tempat makan dan mencari hiburan. Jika mall yang identik dengan kesenangan dunia saja, kesadaran berjamaah pengunjungnya tinggi, apalagi masjidnya, pikir saya.
Di satu sisi kita boleh membanggakan masjid-masjid yang berdiri megah di se-antero Aceh. Tapi untuk kesadaran shalat berjamaah, sepertinya kita perlu melihat kebiasaan masyarakat di daerah lain.
Saya yang sering shalat di mushalla-mushalla warung kopi di Banda Aceh, masih agak jarang melihat suasana shalat dilaksanakan secara berjamaah di mushalla-mushalla warung kopi. Mungkin hanya beberapa kali dari sekian banyak pengalaman saya shalat di warung kopi, pengunjung warung kopi berinisiatif untuk shalat berjamaah.
Saya mencoba menelisik makna atau menginterpretasikan fenomena antara shalat sendiri dan berjamaah di mushalla tempat umum ini, selain karena kesadaran beragama–karena pengetahuan agama bahwa shalat berjamaah lebih utama dan diganjar pahala lebih besar–saya coba menyimpulkan bahwa kita masyarakat Aceh hari ini punya faktor sosio-psikologis tersendiri. Karena faktor sosio-psikologis tersebut, masyarakat kita cenderung enggan berjamaah dan lebih memilih shalat sendiri-sendiri.
***
Shalat berjamaah adalah simbol persatuan umat Islam, dari shalat berjamaah dengan barisan shaf yang tersusun rapat dan rapi, menggambarkan semangat kolektivitas, solidaritas dan persatuan umat Islam. Setiap umat Muslim yang terikat dengan ikatan persaudaraan yang disebut ukhuwah Islamiyah, berdiri sejajar satu sama lain, terlepas dari status sosialnya. Semangat kolektivitas atau kebersamaan terlihat kental dalam barisan shaf shalat.
Fenomena mengapa dewasa ini di mushalla warung-warung kopi kita, banyak (bukan semuanya) yang memilih shalat sendiri, secara sosio-psikologis, dalam amatan saya mengisyaratkan bahwa rasa kepercayaan (trust) antar satu sama lain, terkesan memudar. Bentuk rasa saling percaya dalam shalat berjamaah terlihat melalui dipercayakannya satu orang untuk menjadi imam memimpin jamaah shalat lain yang menjadi makmum.
Rasa keterikatan antar sesama yang notabene muslim, dalam masyarakat kita yang memang tidak saling mengenal, juga terkesan longgar ketika mereka tidak saling mengajak untuk menunaikan shalat berjamaah dan cenderung memutuskan untuk shalat sendiri-sendiri. Semangat kolektif seolah tergerus oleh budaya modern yang cenderung individualistis. Kita cenderung memikirkan tentang apa yang harus kita lakukan hanya bagi diri kita sendiri saja, bukan memikirkan tentang apa yang harus kita lakukan bersama, untuk kemaslahatan bersama.
Kita terkesan enggan atau bahkan cuek untuk memperhatikan masalah shalat berjamaah. Menurut hemat saya, dengan dimulai dari mengajak shalat berjamaah orang yang tidak kita kenal, di situ kita sudah mulai mencoba membangun rasa kepercayaan antar sesama masyarakat, walaupun tidak saling kenal. Dari semangat shalat berjamaah, kita telah membangun benih-benih semangat kolektivitas, semangat kooperatif atau kerjasama dan membangun solidaritas sosial antar sesama.
Masyarakat yang maju adalah masyarakat yang solid, dimana sesama anggota masyarakat saling percaya antar satu sama lain, punya kemampuan untuk bekerja sama antar satu sama lain serta memiliki kesadaran tentang fungsi, peran dan tanggung jawab dalam masyarakat sebagai makhluk sosial.
Melalui shalat berjamaah kita bisa belajar makna persatuan, merapatkan barisan untuk melaksanakan tugas kita sebagai hamba Tuhan (hablumminallah) dan menunaikan kewajiban sosial kita dengan sesama manusia (hablumminannas).
Oleh: Jabal Sab
Mari dukung dan apresiasi karya ini dengan berdonasi, melalui link berikut: Trakteer
Komentar
Posting Komentar