Langsung ke konten utama

Mengapa Negeri Syariat tidak Bersyariat? Menjelaskan Anomali Sosial di Aceh

Aceh sebagai daerah yang berlaku syariat Islam namun marak muncul kasus yang mencoreng citra syariat. Tulisan berikut mencoba menganalisis persoalan kompleks ini, salah satunya adalah makin berjaraknya Islam dan syariat dari alam pikiran dan kesadaran generasi muda Aceh.  Tulisan ini merupakan tanggapan dari tulisan Putri Balqis Vilza berjudul Anomali Sosial dalam Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh yang ditulis di laman website kba13.com milik Prof. Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad. Putri coba mengangkat keresahannya mengenai maraknya angka bunuh diri pada mahasiswa, operasi tangkap tangan pasangan non muhrim, menjamurnya industri asusila, terjaringnya pasangan penyuka sesama jenis (Liwath/Musahaqah), sampai mewabahnya tindak kekerasan hingga pembunuhan yang terjadi di Aceh, padahal di Aceh berlaku Syariat Islam. Kamarruzzaman Bustamam Ahmad dalam salah satu artikelnya menyimpulkan bahwa kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya: Lingkungan pertem...

Budaya Etos Kerja, Alasan Jepang Menjadi Negara Maju


Salah satu faktor yang menjadikan sebuah negara menjadi negara maju adalah etos kerja warganya. Max Weber pernah menulis buku berjudul Spirit of Capitalism and Protestant Ethic. Menurut Weber, Etika Protestan atau semangat ajaran Kristen aliran Calvinis, memiliki keterkaitan dengan perkembangan kapitalisme di Barat. 


Weber berpendapat bahwa subur dan berkembangnya kapitalisme di negara-negara Barat didorong oleh ajaran Protestan yang menganggap bahwa giat bekerja mencari nafkah adalah sebuah bentuk kesalehan. 


Semangat ini yang kemudian mendorong masyarakat Barat menjadi produktif secara ekonomi dan giat bekerja karena menganggap produktivitas dalam bekerja adalah bagian dari pelaksanaan ajaran agama atau salah satu bentuk kesalehan. Mungkin agak sedikit berbeda dengan tradisi Kristen Katolik yang di masa sebelumnya lebih dekat dengan tradisi asketisme.


Terlepas perdebatan ilmiah apakah etika Protestan benar-benar memberi dampak terhadap suburnya kapitalisme di Barat dan faktor di balik kemajuan ekonomi negara-negara Barat, di bagian dunia timur, kita mengenal Jepang sebagai negara dengan penduduk yang memiliki etos kerja tinggi. 


Sebelum menjadi negara maju di abad ke-20, Jepang sudah dikenal sebagai sebuah bangsa yang punya sejarah dan budaya yang mengesankan. Etos kerja warga Jepang yang kuat, berakar kuat pada budaya dan sejarah bangsanya. 


Jepang dikenal sebagai bangsa yang gigih, ulet, tekun dan berdedikasi terhadap profesi yang ditekuni. Kita bisa melihat bagaimana filosofi Samurai sebagai simbol bagi semangat, dedikasi, loyalitas dan sikap kesatria warga Jepang. 


Menariknya lagi, setelah Jepang coba membuka diri terhadap dunia luar dan menerapkan modernisasi di negaranya setelah Restorasi Meiji di abad ke-19, mereka masih menganut semangat samurai sebagai tatanan norma dan nilai kultural yang diimplementasikan dalam kehidupan modern melalui sikap dedikasi penuh terhadap pekerjaan, loyalitas terhadap hierarki, kerja keras serta semangat pantang menyerah. 


Semangat samurai inilah yang menjadi modal kultural bagi Jepang untuk bisa bersaing secara kompetitif dengan negara-negara lain dan menyongsong kemajuan dan kemakmuran.


Ada beberapa hal penting yang menjadi landasan dan nilai bersama terkait etos kerja orang Jepang:


1. Kolektivisme: Masyarakat Jepang sangat menekankan kolektivisme dan keharmonisan kelompok. Hal ini juga berlaku di tempat kerja, di mana karyawan sering kali diharapkan untuk memprioritaskan tujuan perusahaan dibandingkan kebutuhan individu. Kerja tim dan kerjasama sangat dihargai di Jepang.


2. Jam Kerja Panjang: Secara historis, pekerja Jepang dikenal dengan jam kerja mereka yang panjang. Konsep budaya "salaryman", yang mengharuskan karyawan bekerja ekstra dan bahkan terlibat dalam aktivitas sosial dengan rekan kerja, sudah menjadi hal yang lazim. Meskipun upaya pembatasan jam kerja telah dilakukan untuk mengatasi hal ini, jam kerja yang panjang masih sering terjadi di beberapa industri. 


2. Komitmen dan Loyalitas: Pekerja di Jepang cenderung menunjukkan komitmen dan loyalitas yang tinggi kepada pemberi kerja. Bukan hal yang aneh bagi karyawan untuk menghabiskan seluruh kariernya di satu perusahaan. Sebagai imbalannya, perusahaan sering kali memberikan keamanan kerja dan berbagai tunjangan. 


3. Perhatian terhadap Detail: Perhatian terhadap detail dan presisi adalah ciri khas hasil karya orang Jepang. Hal ini utamanya terlihat pada industri seperti manufaktur dan konstruksi dan teknologi, dimana produk-produk Jepang dikenal dengan produk yang mengutamakan kualitas. 


4. Ketepatan waktu: Tepat waktu dianggap sangat penting dalam budaya Jepang. Datang terlambat ke tempat kerja atau rapat dianggap sebagai perbuatan tidak sopan dan tidak profesional. 


5. Perbaikan Berkelanjutan (Kaizen): Konsep Kaizen, atau perbaikan berkelanjutan, merupakan bagian integral dari budaya kerja Jepang. Hal ini mendorong karyawan untuk terus mencari cara dalam meningkatkan proses dan produk, sehingga menghasilkan efisiensi dan kualitas yang lebih baik.


6. Menghormati Hierarki. Tempat kerja di Jepang sering kali memiliki struktur hierarki yang kuat. Menghormati otoritas dan senioritas sangatlah penting bagi warga Jepang. Karyawan junior cenderung tunduk pada atasannya dan mereka belajar dari pengalaman atasannya.


Meskipun Jepang dikenal dengan budaya kerja keras, kesadaran akan pentingnya keseimbangan kehidupan kerja (work-life balance) telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan terkait hal ini, seperti waktu lembur yang berlebihan dan mendorong karyawan untuk mengambil cuti. 


Penting untuk diingat bahwa etos kerja di Jepang tidak seragam di semua industri atau generasi. Generasi muda terkadang lebih terbuka terhadap keseimbangan kehidupan kerja dan memiliki sikap yang berbeda terhadap pekerjaan dibandingkan pendahulunya. Selain itu, perubahan masyarakat dan inisiatif pemerintah secara bertahap membentuk corak budaya kerja yang terus berkembang di Jepang.


Jika kita berkaca pada situasi provinsi semisal Aceh yang merupakan daerah dengan angka pertumbuhan ekonomi terendah di Sumatera dengan angka kemiskinan tinggi, selain dorongan kebijakan pemerintah, kita sepertinya perlu melakukan semacam revolusi budaya di tengah-tengah masyarakat untuk mendorong produktivitas masyarakat. 


Kita mungkin tidak bisa menjadi semaju Jepang dalam waktu singkat, tapi dengan mengubah kebiasaan-kebiasaan kecil seperti menanamkan kedisiplinan, tepat waktu dan membiasakan kerja keras, mungkin kita bisa mendorong perubahan yang baik bagi daerah kita tercinta.


Mari dukung dan apresiasi karya ini dengan berdonasi, melalui link berikut: Trakteer



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Posisi Perempuan dalam Kasus Komersialisasi Asmara dan Industri Asusila di Banda Aceh

  Ilmuwan sosial dan akademisi kenamaan Aceh, Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad (KBA), dalam tulisan di laman pribadinya mengangkat tentang kasus “industri asusila” (prostitusi terselubung yang sedang marak) di Banda Aceh. Ia coba menyibak fenomena tersebut sebagai sebuah masalah atau patologi sosial di masyarakat kita sebagai sebuah hal yang meresahkan. Namun ada yang luput dari amatan KBA, bahwa perempuan-perempuan itu bukan semata subjek yang memilih dengan kesadaran penuh untuk menjadi pelaku asusila. Perempuan-perempuan tersebut juga bisa kita lihat sebagai korban dari konstruksi sosial-budaya yang dibentuk oleh pergeseran budaya massa di kalangan generasi muda, yang berakar pada kapitalisme dan budaya konsumerisme. Lewat tulisan ini saya coba mengangkat sebuah fenomena relasi paling natural antara laki-laki dan perempuan yang biasanya terikat dalam hubungan asmara, namun kini muncul varian hubungan asmara baru yang bertransformasi menjadi hubungan yang cenderung artifisial, direkat...

Mengapa Negeri Syariat tidak Bersyariat? Menjelaskan Anomali Sosial di Aceh

Aceh sebagai daerah yang berlaku syariat Islam namun marak muncul kasus yang mencoreng citra syariat. Tulisan berikut mencoba menganalisis persoalan kompleks ini, salah satunya adalah makin berjaraknya Islam dan syariat dari alam pikiran dan kesadaran generasi muda Aceh.  Tulisan ini merupakan tanggapan dari tulisan Putri Balqis Vilza berjudul Anomali Sosial dalam Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh yang ditulis di laman website kba13.com milik Prof. Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad. Putri coba mengangkat keresahannya mengenai maraknya angka bunuh diri pada mahasiswa, operasi tangkap tangan pasangan non muhrim, menjamurnya industri asusila, terjaringnya pasangan penyuka sesama jenis (Liwath/Musahaqah), sampai mewabahnya tindak kekerasan hingga pembunuhan yang terjadi di Aceh, padahal di Aceh berlaku Syariat Islam. Kamarruzzaman Bustamam Ahmad dalam salah satu artikelnya menyimpulkan bahwa kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya: Lingkungan pertem...

Hubungan Ulama dan Umara di Tiga Kerajaan di Nagan Raya: Peran Bersama Dalam Budaya Pertanian

Sebagaimana kuatnya peranan Ulama dalam mempengaruhi kebijakan kepemimpinan dalam Kesultanan Aceh, begitu pula dengan kerajaan-kerajaan kecil lainnya di Aceh. Hampir di setiap kerajaan kecil ini mempunyai ulama sebagai penasehat dan bahkan bisa dikatakan sebagai mitra kerja para raja. Para ulama ini ada yang menyebutnya sebagai Mufti dan sebagian tempat menjuluki mereka dengan sebutan Teungku Qadhi. Tanpa terkecuali termasuk Kerajaan Seunagan, Kerajaan Seuneu‘am dan Kerajaan Beutong Benggalang berada di wilayah yang kini dikenal sebagai Kabupaten Nagan Raya. Dimana dalam perjalanan sejarahnya, di ketiga kerajaan ini, hubungan para ulama dengan para raja sangatlah kental dan terjaga. Keterlibatan ulama dalam kepemimpinan di Nagan Raya sudah mulai terjalin kuat sejak era kerajaan, kuatnya hubungan ini juga mempengaruhi kebijakan pemerintahan raja-raja di Nagan. Bahkan hubungan semacam ini sudah menjadi hubungan emosional antara guru dan murid, sebagaimana hubungan antara Raja Seunagan Te...