Langsung ke konten utama

Cerita Tentang Produk Lokal: Korea Selatan, China dan Aceh



Saya ingin bercerita sedikit mengenai pengalaman saya berinteraksi dengan seorang mahasiswa pascasarjana dari Korea Selatan sekitar tujuh tahun yang lalu. Ketika itu kami sama-sama sedang mengikuti program short course di Osaka University, Jepang. 

Saya melihat teman asal Korea Selatan ini lebih bangga memakai gadget buatan dalam negeri mereka, Samsung, ketimbang ikut menggunakan gawai bermerek iphone keluaran Apple, salah satu perusahaan elektronik dunia paling prestisius milik mendiang Steve Jobs,  yang saat ini merajai pasar telepon genggam di seluruh dunia dan jadi tren anak-anak muda Indonesia

Karena kebanggaan warganya terhadap budaya dalam negeri, juga sama halnya dengan produk-produk buatan dalam negeri, Korea Selatan dengan musik K-Pop nya serta industri perfilman melalui Drakor (drama korea), style fashion anak-anak Gangnam (Beverly Hills nya Seoul atau Menteng nya Seoul) akhirnya budaya pop Korea menjadi sebuah fenomena baru dalam budaya pop dunia. 

Hal itu bermula dari rasa nasionalisme yang tinggi, diwujudkan melalui kecintaan terhadap produk dalam negeri, budaya pop, industri musik dan film besutan dalam negeri. Sementara di Indonesia hari ini, produk-produk impor mulai dari kendaraan bermotor, produk elektronik, fashion dan lifestyle, kita lebih cenderung dengan sesuatu yang berbau impor. Mungkin agar mendapatkan kesan prestisius, mewah dan keren.

Saya juga mendengar dari pengakuan seorang teman yang kuliah di China. Di sana, hampir semua orang menggunakan platform aplikasi Wechat. Aplikasi media sosial buatan China yang juga menyediakan layanan pembayaran elektronik. Penggunaan WeChat di China begitu masif, mungkin hampir mirip dengan banyaknya pengguna aplikasi Whatsapp di Indonesia.  

Di China, WeChat digunakan sebagai dompet digital (digital wallet), dimana mereka berbelanja, membayar tiket bus, kereta listrik dan transportasi umum lainnya juga dengan menggunakan WeChat. WeChat juga digunakan sebagai alat pembayaran untuk ngopi di cafe dan makan di restaurant. 

Bukan hanya pada penggunaan aplikasi sosial media, China yang industri teknologinya berkembang secara fantastis, pengguna produk teknologi dalam negeri terbilang cukup tinggi. Mulai dari laptop, telepon genggam hingga kendaraan bermotor, China hari ini memproduksinya sendiri di dalam negeri. Bahkan handphone merk China turut membanjiri pasaran dunia, juga dengan mobil buatan China. Bahkan kini China telah memproduksi EV (electric vehicle) atau mobil listrik. Yang menariknya lagi, produksi baterai untuk mobil listrik buatan Eropa dan Amerika Serikat pun menggunakan baterai buatan China. 

Tentu produk teknologi China tidak akan mampu menjadi industri raksasa dan melebarkan pangsa pasarnya secara global jika tidak berkembang masif di dalam negeri. Bisa dikatakan, warga China lebih cenderung untuk menggunakan produk-produk dalam negeri.

Di Indonesia, saat ini juga sudah banyak yang menggunakan layanan dompet digital seperti Dana, Gopay, Ovo dan Shopee Pay atau dompet digital lainnya. Sebuah perkembangan yang cukup mengesankan di dunia teknologi digital. Beberapa perusahaan startup dalam negeri kita berhasil tumbuh dan berkembang.

Cerita Tentang Sejarah Produk Lokal Aceh

Membandingkan Aceh sebagai provinsi kecil di Indonesia dengan lima juta penduduk dengan Korea Selatan dan China, mungkin tidak sepadan untuk dibandingkan. Namun saya sedikit ingin bercerita tentang kisah Aceh yang pernah punya cerita tersendiri dengan produk lokalnya.

Aceh pernah terkenal dengan sirup Kurnia, sirup lokal yang kini unit usahanya berpindah ke Medan, Sumatera Utara. Aceh juga pernah dikenal dengan kecap buatan lokal Cap Angsa dan Cap Singa yang diproduksi di Langsa, meski kini namanya sudah mulai agak kurang populer.

Pasar kecap dan saus sambal dengan harga murah yang pernah terkenal di Aceh adalah saus Dena. Saus khas yang selalu tersedia disajikan ketika makan bakso ini berasal dari Sumatera Utara. 

Saya juga ingat dahulu, di masa-masa konflik, di masa-masa menjelang referendum, Aceh pernah punya produk rokok dengan merk NAD. Rokok ini adalah rokok kretek, hampir sama persis dengan rokok Dji Sam Soe. Saya ingat saat itu sales rokok NAD menawarkan produk ini di koperasi, warung kecil di dekat rumah saya di gampong Payatieng, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar. Setelah masa konflik, saya tak pernah lagi mendengar tentang rokok NAD ini. 

Produk Aceh lain yang punya kesan khusus dalam ingatan saya adalah limun, minuman lokal bersoda yang waktu itu diproduksi di Bireuen. Limun memiliki beberapa varian: ice cream soda, sarsaparilla, coffee beer dan lain-lain. Saya tidak tahu persis bagaimana ceritanya tentang limun ini, tapi sekarang agaknya masih diproduksi. Di beberapa tempat, limun masih bisa ditemukan. Hanya saja mungkin peminatnya tidak seramai dulu.

Akankah Produk Lokal Aceh Bangkit Kembali?

Saya mengimpikan produk-produk lokal lahir kembali, tumbuh dan berkembang di Aceh. Produk lokal yang ada di Aceh tak harus jadi industri besar skala nasional. Cukup sekedar jadi produk lokal skala provinsi yang dikonsumsi sehari-hari oleh rata-rata masyarakat Aceh,  hingga menjadi simbol, karakter dan ciri khas  Aceh. Produk lokal yang identik dengan Aceh di mata orang-orang luar Aceh. Mungkin seperti Bika Ambon, lapis legit dan Bolu Meranti yang identik dengan kota Medan. 

Di Aceh hari ini mungkin sudah ada produk Adee Kak Nah yang identik dan jadi ciri khas daerah Meureudu, Pidie Jaya. Tinggal kita perbanyak Kak Nah-Kak Nah lain yang bisa membuat produk semisalnya. 

Selain menggalakkan kewirausahaan yang menginisiasi lahirnya produk lokal, kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi produk lokal juga tak kalah penting agar produk lokal yang tumbuh bisa bertahan dan bersaing di pasar di tengah gempuran produk-produk yang diproduksi oleh perusahaan besar seperti Indofood atau perusahaan multinasional raksasa seperti Nestle dan yang sejenisnya.

Mari dukung dan apresiasi karya ini dengan berdonasi, melalui link berikut: Trakteer

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Banda Aceh Kota Tua Bersejarah, Kini Kehilangan Banyak Bangunan Bersejarah

Kota Banda Aceh adalah salah satu kota tertua yang ada di Indonesia. Berdirinya kota ini ditandai dengan awal mula kerajaan Aceh di tahun 1205 yang didirikan oleh Sultan Johan Syah.  Kota Banda Aceh selama ratusan tahun menjadi kota pelabuhan penting di Kepulauan Nusantara. Kapal-kapal dagang yang masuk ke wilayah Nusantara untuk berdagang dan membeli hasil alam berupa rempah-rempah, terlebih dulu singgah di Aceh. Tak hanya pedagang Muslim dari Arab, Turki dan Gujarat, pedagang dan penjelajah asal Eropa juga turut menyinggahi Aceh. Banda Aceh digambarkan sebagai kota pelabuhan yang menjadi pusat perdagangan penting. Kota ini dibelah oleh sebuah sungai yang oleh penduduk lokal disebut dengan Kreung Aceh. Di tengah-tengah kota terdapat Istana Kerajaan yang di dalamnya mengalir sungai buatan yang dikenal dengan nama Krueng Daroy. Sungai ini dibuat mengalir melintasi istana dan bersambung alirannya dengan Kreung Aceh.  Ketika Aceh takluk oleh kolonial Belanda di tahun ...

Banda Aceh Yang Berubah: Potret Sosiologis Kota Banda Aceh

Garuda Theatre, salah satu bioskop di Band Aceh tempo dulu. Foto   FOTO/roeshanny.wordpress.com. Banda Aceh dahulu, sebelum tsunami, mungkin akan menjadi kenangan nostalgia yang manis bagi warganya. Khususnya bagi mereka yang lahir, besar dan beranjak dewasa di kota ini. Dari pengalaman saya mendengarkan penuturan warganya, khususnya yang berusia lebih tua dari saya, Banda Aceh dalam ingatan mereka begitu indah.  Indahnya ingatan itu, karena Banda Aceh adalah kota yang menjadi tempat segala kisah masa kecil, remaja dan menjadi dewasa, mengambil tempat di kota ini. Saya yang lahir dan besar di kota ini, juga mengenang betapa manisnya kisah masa lalu itu. Saya coba merekam potret sosiologis kota ini di era 90’an hingga 2000’an hingga menjelang tsunami. Corak sosiologis yang tak hitam putih, bahkan saya juga coba mengangkat sisi gelap yang pernah ada di kota ini. Sebagaimana menulis sejarah, gambaran utuh harus dihadirkan. Keutuhan itu juga berupa konfigurasi sosial, patolog...

Tentang Nelayan Membuang Ikan 3 Ton di Lampulo dan Potensi Industri Pengolahan Ikan

Nelayan membuang 3 ton hasil tangkapannya di Lampulo, Kamis, (2/5) karena hasil tangkapan nelayan kali ini membludak. Mengakibatkan harga ikan di pasar anjlok. Mereka terpaksa membuang karena jika dijual, mereka tetap rugi, sementara kondisi ikan mulai membusuk.  Kejadian ini sangat disayangkan mengingat potensi laut kita yang cukup besar. Jumlah tangkapan ikan di musim tertentu bisa membludak. Jika stok membludak, harga ikan bisa menurun drastis. Sementara jumlah ikan yang mampu ditampung di cold storage terbatas. Katanya, sejumlah cold storage yang pernah dibangun untuk menampung hasil tangkapan ikan di Aceh, tinggal 46 persen yang masih berfungsi. Sisanya sudah tidak bisa digunakan lagi.  Keadaan ini patut disesali. Pertama, pemerintah yang telah membangun infrastruktur cold storage untuk menampung ikan, sebagiannya rusak tak dapat digunakan lagi. Tentu ini masuk kategori pemborosan anggaran yang merugikan kita semua.  Kedua, sistem supply chain atau rantai dagang peri...