Langsung ke konten utama

Ojek Online dan Masalah Lapangan Kerja di Banda Aceh

 

Foto: Kumparan.com

Beberapa waktu yang lalu saat sepeda motor mengalami kendala, saya memesan gojek untuk mengunjungi salah satu warung kopi di kawasan Lampineung, Banda Aceh. Dalam perjalanan, saya menyapa tukang gojek tersebut, kami pun memulai percakapan.

"Abang berapa dapat tiap hari dari narik gojek? Apa ada dapat 100 ribu sehari?"

"Lebih bang. Rata-rata 200 ribu tiap hari. Tapi itulah, harus konsisten. Harus kerja sampe 12 jam sehari," jawabnya.

Saya bertanya lagi, "sudah menikah bang? "Belum," jawabnya. Lumayan juga bisa menghasilkan kisaran pendapatan hingga enam juta per bulan untuk seorang lajang yang belum berkeluarga, pikir saya.

Dari segi pendapatan, bekerja sebagai pengemudi ojek online terbilang cukup menjanjikan. Pendapatan dari gojek ini besarannya sekitar  dua kali lipat gaji pegawai honorer di instansi pemerintah. Tapi di sisi jam kerja, pekerjaan ini menyita waktu yang besar pula, juga menguras banyak energi. Apalagi di tengah cuaca terik kota Banda Aceh yang cuacanya lumayan panas. 

Normalnya kerja di kantor adalah sekitar 8 jam kerja. Sementara jam kerja pengemudi ojek online bisa melebihi jam kerja normal.  Ini mungkin yang disebut oleh Karl Marx bahwa kerjanya para buruh menyebabkan mereka teralienasi (terasing) dari dirinya dan fungsi sosialnya karena keseluruhan waktunya tersita untuk bekerja. 

Gig Ekonomi

Gojek sebagai perintis perusahaan ojek online di Indonesia bukanlah perusahaan yang mempekerjakan karyawan sepenuhnya. Gojek adalah perusahaan yang menawarkan partnership kepada pengemudi yang menjadi pemilik motor dan mobil untuk menyediakan jasa transportasi. Gig ekonomi istilahnya.

Gig ekonomi adalah sistem tenaga kerja bebas yang mana perusahaan hanya mengontrak pekerja independen dalam jangka waktu pendek. Gig ekonomi memiliki prinsip bahwa orang yang dipekerjakan, dibayar berdasarkan apa yang mereka kerjakan.

Uber, Grab, Gojek dan Maxim menawarkan pekerjaan yang masuk dalam kategori gig ekonomi. Pekerjanya bukan karyawan tetap perusahaan, mereka hanya bekerjasama dengan perusahaan. Mereka perlu menyediakan sepeda motor sendiri sebagai modal kerja mereka, motor sebagai alat kerja tidak disediakan oleh perusahaan. 

Waktu luang bagi mereka sebenarnya lebih fleksibel. Hanya saja karyawan tidak ditanggung penuh dan menjadi tanggung jawab perusahaan. Mereka hanya mendapat bagi hasil dari kerjanya. Kerentanan pekerja di sektor ini pun jadi sebuah wacana baru. Mereka kemungkinan besar tidak di cover perusahaan dalam bentuk jaminan sosial tenaga kerja, asuransi, bonus tahunan, pensiun atau pesangon.

Peminat menjadi driver Gojek, Gocar, Grab dan Maxim cukup tinggi di Aceh. Hasil pemantauan saya, katanya perusahaan-perusahaan ini tidak lagi membuka lowongan untuk karyawan baru.  Jatah kuota driver atau pengemudi Gojek dan Grab kabarnya sudah penuh. Hal tersebut menunjukkan antusiasme masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan ini. Mungkin juga hal tersebut disebabkan oleh keterbatasan lapangan kerja yang tersedia. Maka kehadiran Gojek, Grab dan Maxim di Banda Aceh jadi lapangan kerja alternatif yang sangat diminati.

"Kami harus kerja konsisten bang. Sistemnya gak kasih kemudahan kalo banyak jam kerja yang ditinggal atau banyak libur," terang bang gojek mengomentari sistem komputerisasi aplikasi Gojek dalam memilih penumpang bagi driver.

Di satu sisi Gojek menawarkan pendapatan yang lumayan mencukupi. Di sisi lain pekerja seakan masih dalam kondisi "dieksploitasi" untuk memenuhi jam kerja tertentu yang diharapkan oleh Gojek. 

Eksploitasi pekerja di era kemapanan kapitalisme seperti sekarang ini menjadi semakin halus. Ke depan, kapitalisme punya potensi bergerak ke dua arah: menjadi makin manusiawi dengan mempertimbangkan kesejahteraan dan hak-hak pekerja, atau bisa saja mengesampingkan aspek kemanusiaan bahkan meninggalkan manusia dengan mengganti banyak peran kerja manusia  dengan penggunaan robot dan Artificial Intelligence (AI).

Untuk konteks Aceh, kehadiran perusahaan semisal Gojek cukup membantu dalam menyerap tenaga kerja, di tengah keadaan sulitnya mencari lapangan kerja bagi generasi muda di Aceh. Juga ketersediaan taksi online dan ojek online ini memudahkan berkembangnya pariwisata, memudahkan wisatawan untuk berkunjung ke spot-spot wisata, di tengah minimnya transportasi publik.

Dengan adanya sistem trasnportasi berbasis teknologi melalui penggunaan aplikasi, ongkos atau biaya transportasi pun menjadi lebih terukur. Jadi tidak ada lagi kejadian dimana tukang becak menipu wisatawan dengan memasang ongkos mahal untuk jarak tempuh yang pendek. Kehadiran taxi dan ojek online ini, dilihat dari kontribusinya bagi sektor pariwisata, memberikan dampak yang cukup positif.

Pertanyaannya kemudian, di tengah bonus demografi, dimana jumlah penduduk mayoritas adalah angkatan kerja produktif: generasi milenial dan generasi-Z, solusi apa yang bisa kita tawarkan untuk menambah lapangan kerja bagi anak-anak muda di usia produktif? Sektor usaha apa yang mampu menyerap tenaga kerja? Bisakah kita mengalihkan ketertarikan generasi muda menjadi PNS, di saat menjadi PNS semakin sulit dan saat pegawai kontrak isunya akan dibatasi bahkan dihapus?

Wirausaha menjadi tantangan tersendiri bagi kita. Sejauh mana kemandirian dan daya tahan anak muda kita untuk berwirausaha di Aceh? Sejauh mana lembaga keuangan mau memfasilitasi pembiayaan anak muda untuk berwirausaha, ketika mereka tak memiliki aset untuk dijadikan agunan? Sektor usaha apa yang kira-kira bisa kita andalkan untuk memberikan lapangan kerja yang menjanjikan?

Saya rasa ini pekerjaan rumah pemerintah daerah dan juga tugas kita semua untuk berpikir tentang masa depan Aceh. Bagaimana keadaan Aceh di 10, 20 atau 30 tahun mendatang. Terlebih ketika dana otonomi khusus Aceh di tahun 2027 berakhir.

Mari dukung dan apresiasi karya ini dengan berdonasi, melalui link berikut: Trakteer

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Banda Aceh Kota Tua Bersejarah, Kini Kehilangan Banyak Bangunan Bersejarah

Kota Banda Aceh adalah salah satu kota tertua yang ada di Indonesia. Berdirinya kota ini ditandai dengan awal mula kerajaan Aceh di tahun 1205 yang didirikan oleh Sultan Johan Syah.  Kota Banda Aceh selama ratusan tahun menjadi kota pelabuhan penting di Kepulauan Nusantara. Kapal-kapal dagang yang masuk ke wilayah Nusantara untuk berdagang dan membeli hasil alam berupa rempah-rempah, terlebih dulu singgah di Aceh. Tak hanya pedagang Muslim dari Arab, Turki dan Gujarat, pedagang dan penjelajah asal Eropa juga turut menyinggahi Aceh. Banda Aceh digambarkan sebagai kota pelabuhan yang menjadi pusat perdagangan penting. Kota ini dibelah oleh sebuah sungai yang oleh penduduk lokal disebut dengan Kreung Aceh. Di tengah-tengah kota terdapat Istana Kerajaan yang di dalamnya mengalir sungai buatan yang dikenal dengan nama Krueng Daroy. Sungai ini dibuat mengalir melintasi istana dan bersambung alirannya dengan Kreung Aceh.  Ketika Aceh takluk oleh kolonial Belanda di tahun ...

Banda Aceh Yang Berubah: Potret Sosiologis Kota Banda Aceh

Garuda Theatre, salah satu bioskop di Band Aceh tempo dulu. Foto   FOTO/roeshanny.wordpress.com. Banda Aceh dahulu, sebelum tsunami, mungkin akan menjadi kenangan nostalgia yang manis bagi warganya. Khususnya bagi mereka yang lahir, besar dan beranjak dewasa di kota ini. Dari pengalaman saya mendengarkan penuturan warganya, khususnya yang berusia lebih tua dari saya, Banda Aceh dalam ingatan mereka begitu indah.  Indahnya ingatan itu, karena Banda Aceh adalah kota yang menjadi tempat segala kisah masa kecil, remaja dan menjadi dewasa, mengambil tempat di kota ini. Saya yang lahir dan besar di kota ini, juga mengenang betapa manisnya kisah masa lalu itu. Saya coba merekam potret sosiologis kota ini di era 90’an hingga 2000’an hingga menjelang tsunami. Corak sosiologis yang tak hitam putih, bahkan saya juga coba mengangkat sisi gelap yang pernah ada di kota ini. Sebagaimana menulis sejarah, gambaran utuh harus dihadirkan. Keutuhan itu juga berupa konfigurasi sosial, patolog...

Tentang Nelayan Membuang Ikan 3 Ton di Lampulo dan Potensi Industri Pengolahan Ikan

Nelayan membuang 3 ton hasil tangkapannya di Lampulo, Kamis, (2/5) karena hasil tangkapan nelayan kali ini membludak. Mengakibatkan harga ikan di pasar anjlok. Mereka terpaksa membuang karena jika dijual, mereka tetap rugi, sementara kondisi ikan mulai membusuk.  Kejadian ini sangat disayangkan mengingat potensi laut kita yang cukup besar. Jumlah tangkapan ikan di musim tertentu bisa membludak. Jika stok membludak, harga ikan bisa menurun drastis. Sementara jumlah ikan yang mampu ditampung di cold storage terbatas. Katanya, sejumlah cold storage yang pernah dibangun untuk menampung hasil tangkapan ikan di Aceh, tinggal 46 persen yang masih berfungsi. Sisanya sudah tidak bisa digunakan lagi.  Keadaan ini patut disesali. Pertama, pemerintah yang telah membangun infrastruktur cold storage untuk menampung ikan, sebagiannya rusak tak dapat digunakan lagi. Tentu ini masuk kategori pemborosan anggaran yang merugikan kita semua.  Kedua, sistem supply chain atau rantai dagang peri...