Di beberapa waktu terakhir, saya sering mendengarkan Jordan B. Peterson, seorang profesor dan psikolog klinis asal Kanada yang dikenal dengan pandangannya yang untuk dalam psikologi, filsafat bahkan politik. Ia menulis buku yang berjudul 12 Rules of Life yang sempat hangat diperbincangkan. Saya sendiri lebih banyak mengenal Peterson melalui cuplikan videonya di media sosial dan video panjang kuliahnya di YouTube.
Peterson membahas soal kesehatan mental dan bagaimana cara manusia harus menghadapi krisis, ia menekankan pentingnya bagi setiap orang untuk punya tanggung jawab pribadi, berani menghadapi tantangan, dan menemukan makna hidup. Sama seperti banyak filsuf dan penulis, seperti Victor Frankl misalnya, makna hidup atau tujuan hidup adalah arah dan panduan utama manusia agar bisa hidup dengan benar dan terarah.
Peterson sering berbicara tentang manfaat menghadapi kesulitan secara langsung dan potensi pertumbuhan (growth) dan ketahanan (determination) yang dapat dihasilkan dari pengalaman hidup ketika berhadapan dengan masalah. Manusia tidak akan menjadi manusia sejati tanpa menghadapi masalah. Kemampuannya menyelesaikan masalah (problem solving) adalah keahlian dan kemampuan manusia untuk bertahan hidup.
Peterson punya sebuah ungkapan menarik, "you should be a monster, an absolute monster. But then you should have the ability to control it.” (Anda harus menjadi monster, benar-benar menjadi monster. Namun Anda harus punya kemampuan untuk mengontrolnya). Ungkapan ini sejalan dengan gagasan Peterson bahwa individu harus mampu membela dirinya sendiri dan menegaskan pandangannya, terutama saat menghadapi tantangan. Hal tersebut terkait dengan mengembangkan kekuatan psikis dan ketegasan untuk menghadapi kesulitan hidup daripada bersikap pasif atau tunduk.
Hal lainnya yang ia bahas terkait daya tahan dan ketangguhan psikologis manusia, Peterson menganggap bahwa kebajikan (virtue) bukanlah kelemahan. Kita bukan menjadi baik karena kita tidak berdaya. Harus ada semacam "evil" atau kapasitas untuk agresif dalam diri kita, namun kebajikan "virtue" membuat kita mampu mengontrolnya.
Sikap Peterson ini mencoba memotivasi pasien atau pembacanya untuk menjadi kuat secara psikologis dalam menghadapi kenyataan hidup, menurut hemat saya mungkin ada benarnya juga. Manusia menghadapi kehidupan yang tak mudah. Hidup memang sejatinya tak mudah. Banyak hal yang harus dihadapi dengan berani. Menjadi tidak berdaya bukanlah suatu kebaikan. Kebaikan adalah mampu memilih untuk memilih atau melakukan sesuatu, dan bukan karena intimidasi atau ketidakberdayaan.
Apabila kita melihat pada sejarah panjang manusia sejak masa evolusi, manusia telah melalui berbagai rintangan dan cobaan. Kita harus cukup kuat untuk bertahan, paling tidak, manusia harus memiliki kemampuan adaptasi dengan lingkungan yang keras. Manusia telah melalui masa berburu, melewati banyak peperangan dan pandemi atau wabah dan berbagai peristiwa menantang lainnya,untuk bisa sampai di tahap sekarang.
Dulu, manusia harus berburu dan bertarung dengan binatang buas untuk bisa mencari makan dan bertahan hidup. Kini segalanya di kehidupan kita menjadi begitu mudah. Terlebih setelah manusia menciptakan teknologi.
Secara psikologis, manusia harus dididik untuk menerima kerasnya hidup, mendapatkan perilaku tidak menyenangkan, harus berani bersuara menyatakan pendapatnya, harus berani berargumen membela apa yang ia anggap benar.
Jika kita selalu permisif terhadap kelemahan dalam diri kita, kita akan selalu kalah dan tersisih. Untuk itu, pola Jordan Peterson dalam memperkenalkan realitas kehidupan dan menggali kemampuan manusia untuk berhadapan dengan kondisi nyata yang tak selalu nyaman itu, musti dipertimbangkan oleh semua orang.
Kesehatan mental menjadi isu utama yang sering diperbincangkan. Namun isu kesehatan mental bukan berarti menjadi alasan untuk lemah pada diri sendiri. Keadaan akan menjadi lebih buruk apabila kita permisif terhadap kelemahan diri, permisif terhadap kekurangan yang tidak diperbaiki atau lemah untuk menegakkan kedisiplinan dalam hidup, demi mencapai tujuan-tujuan hidup yang utama.
Tipikal motivasi Peterson cocok untuk membuat mereka yang kurang motivasi, merasa tertekan atau lemah, menjadi kuat dan merasa mampu untuk bangkit.
***
Jika kita mencoba mengkritik pemikiran Peterson, sebenarnya ada beberapa hal yang tidak mungkin dinafikan bahwa ketika ada yang kuat maka ada yang lemah. Tidak mungkin semua orang menjadi sama kuat dan sama-sama mampu bangkit untuk mencapai tujuan hidupnya. Pasti ada yang golongan manusia lemah yang cenderung termarjinalkan.
Disini saya melihat bahwa manusia diberi potensi yang sama, namun tiap manusia akan mendapatkan hasil yang berbeda dalam kesuksesan. Katakanlah soal kaya dan miskin. Sebagai makhluk sosial, memang secara alamiah akan selalu ada kelompok masyarakat yang memang tidak mampu bangkit dari kondisinya karena berbagai faktor, salah satunya faktor kemiskinan struktural.
Alamiah pula bagi manusia sebagai makhluk sosial, bahwa ada kelompok tertentu yang lebih mapan dan kuat, dimana mereka bertanggungjawab untuk membantu kehidupan kelompok yang lemah.
Jordan Peterson sempat mengkritik tentang mereka yang dengan bantuan dana talangan sosial menjadi lemah dan ketergantungan (dependent). Saya tak sepenuhnya sepakat tentang itu. Ada kondisi tertentu yang memang mengharuskan penyaluran dana talangan sosial melalui kebijakan jaminan sosial diberikan kepada kelompok masyarakat tertentu, karena keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki.
Apabila kita menilik dari perspektif ajaran Islam, menyantuni orang miskin adalah salah satu bentuk ibadah dan amal saleh. Oleh karena itu, mereka yang mampu dan memenuhi prasyarat tertentu dari segi status ekonomi, wajib untuk menyalurkan sebagian kecil kekayaannya untuk membiayai yang miskin tadi melalui zakat. Selain yang wajib, juga dianjurkan untuk infaq dan sedekah bagi orang miskin.
Dengan pendistribusian Hatta dari yang kaya kepada yang miskin, hal ini dapat mendukung terciptanya keharmonisan sosial disebabkan oleh hubungan saling memberi-menerima.Bahkan memberi kepada yang miskin dan lemah adalah nilai kebaikan universal yang dipercayai oleh semua agama.
Saya menyimpulkan bahwa pendekatan psikologis Jordan Peterson punya sisi unik yang coba menggali potensi individu hingga mampu mencapai potensi terbaiknya. Namun di sisi tertentu, pemikiran Peterson berada dari sudut pandang liberal-individualis yang mengacu pada konsep persaingan bebas, dan agaknya sedikit mengabaikan aspek sosial yang mengedepankan kolektivitas dalam masyarakat.
Komentar
Posting Komentar