Di tahun 2024 ini, yang katanya kita sudah sangat maju, kita sudah memasuki era kecerdasan buatan, atmosfer kita dipenuhi satelit yang jadi penanda masifnya perkembangan teknologi informasi. Namun di saat yang sama kita masih berkutat dengan persoalan kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang yang terjadi terhadap warga Palestina dan warga Rohingya. Persoalan klasik sejak ribuan tahun lalu.
Ide-ide keadilan, kebebasan dan kedaulatan manusia yang digaungkan melalui semangat liberalisme serta ide-ide keadilan sosial dan ekonomi ala sosialisme yang coba menghapus penghisapan manusia dari manusia yang lain, memang telah banyak mengubah sejarah dunia seratus-dua ratus tahun terakhir. Namun keadilan belum sepenuhnya tegak. Di beberapa kasus, keadilan dan kedaulatan manusia seolah menggunakan standar ganda. Jika dahulu, selain kulit putih tak berhak bebas dan berdaulat. Mungkin kini, jika berhadapan dengan ras dominan atau ideologi dominan, maka kebebasan dan kedaulatan anda tak melulu mendapat jaminan.
Banyak yang memperjuangkan kebebasan, katanya kebebasan itu bertujuan menciptakan kedamaian. Namun atas nama kebebasan, jutaan orang terpaksa mati di medan perang. Sebagiannya korban sipil tak bersenjata, yang mana hukum perang tak mampu benar-benar melindungi mereka.
Dunia telah sepakat untuk menjunjung tinggi nilai kebebasan, patung Liberty terpampang menjulang tinggi di angkasa Kota New York, Amerika Serikat. Namun apakah warganya benar-benar bebas dan berdaulat? Ketika mayoritas kekayaan dan aset dikuasai oleh segelintir orang yang menguasai perusahaan-perusahaan tempat dimana jutaan orang bekerja dalam rutinitas yang terpola, lalu uang hasil keringatnya direnggut kembali lewat pola penjajahan mirip konsumsi obat bius yang membuat candu melalui budaya konsumerisme. Mereka harus mengeluarkan banyak uang yang diusahakan dengan keringat, untuk dibelanjakan demi sebuah standarisasi gaya hidup, yang mana produk yang dibeli, harganya mungkin sepuluh kali lipat melampaui biaya produksi.
Akhirnya pemilik modal yang tetap berjaya. Mereka menitipkan uang di kelas pekerja untuk kembali mereka rampas melalui konsumsi brand fashion dan gadget elektronik dan produk dan jasa lain yang menawarkan sensasi obat penenang yang memuaskan hasrat narsistik penggunanya.
Di tahun 2024, remaja dan generasi muda tumbuh dengan jangkauan ingatan yang terputus dari rentang panjang sejarah; alih-alih memahami dan meresapi sejarah, mereka terjebak dalam kekinian dunia yang temporer melalui apa-apa yang tren dan viral di media sosial.
Jika dulu manusia direkayasa isi kepalanya melalui agenda setting media-media mainstream milik para konglomerat, kini peran sentralnya ada pada media sosial. Manusia diarahkan, dibenturkan dan dibuat terbelah oleh perdebatan di dunia maya.
Ide dan cara kerjanya hampir sama dengan era media mainstream di abad ke-20. Hanya saja media sosial lebih cair. Media sosial menghadirkan influencer-influencer yang bebas berkata apa saja. Sebagian memang mungkin bagus, namun sebagian lagi tak jarang mengarah ke disinformasi dan misinformasi. Yang lebih parah dari itu adalah pembahasan masalah yang over simplifikasi. Suatu masalah hanya perlu dijelaskan dalam 50-90 detik video. Padahal berabad-abad lalu, perlu berjilid-jilid buku untuk menjelaskan suatu hal.
Di tahun 2024, kemiskinan belum musnah. Seolah kemiskinan itu memang niscaya. Belum lagi di beberapa belahan dunia, mereka yang miskin terbatas aksesnya terhadap makanan dan minuman yang jadi sumber kehidupan.
Petani dan peternak, pekerjaan yang sudah ada sejak ribuan tahun sebelum Masehi, mereka masih menjadi penopang kehidupan manusia di dunia. Di negara-negara maju, pertanian dan peternakan telah menjadi sebuah industri berskala masif yang mengadopsi penggunaan teknologi. Sementara di negara seperti Indonesia, masih dikelola secara tradisional.
Kini menjadi petani bukan lagi menjadi pilihan anak-anak muda. Bertani katanya jauh dari kata sejahtera. Di satu sisi, produk pangan harganya harus murah dan terjangkau bagi seluruh masyarakat. Di sisi lain, kesejahteraan petani seolah dikorbankan. Wajar jika generasi muda di desa tak ingin meneruskan pekerjaan orang tuanya sebagai petani. Mereka cenderung memilih merantau ke kota dan mencari pekerjaan lain. Padahal tanpa petani, bagaimana kita bisa menyediakan makanan untuk penduduk negeri? Petani seolah jadi tumbal bagi kelangsungan hidup anak negeri di bumi Pertiwi.
Di tengah kehidupan masyarakat yang sebagiannya memprihatinkan, sebagian masyarakat lain hidup berkecukupan. Mereka hidup lebih dari cukup. Rumah mewah dan kendaraan mewah. Gaya hidup mereka berorientasi luar negeri, hal itu dapat dilihat dari busana yang dikenakan, menggunakan jenama fashion buatan luar negeri.
Kendaraan-kendaraan mewah berkeliaran melaju di jalanan kota. Sementara di lampu merah, acap kali kita lihat pedagang asongan dan pengemis coba mengintip ke kaca gelap mobil-mobil mewah yang berbaris rapi.
Di saat kelas bawah berjuang untuk mencari makan demi bertahan hidup, saat itu pula masyarakat kelas atas berkompetisi, bersaing dalam kemewahan gaya hidup. Mereka jarang duduk semeja dan berinteraksi. Akhirnya mereka tak saling mengenal, masyarakat kelas atas melihat golongan kelas bawah tanpa empati.
Namun di balik realitas dunia hari ini yang tak kunjung ideal, pasti selalu ada manusia-manusia yang punya hati. Manusia yang akalnya jernih dan coba mencari solusi bagi permasalahan yang terjadi. Di setiap kurun waktu selalu saja ada yang coba mewujudkan perubahan, berusaha melahirkan tatanan yang lebih baik
***
Sebelum berbicara dalam tataran makro, ada baiknya kita coba menginternalisasi semua masalah yang terjadi. Kita kembalikan semua persoalan kembali ke diri sendiri. Jangan-jangan, kita sendiri yang abai dengan apa yang terjadi. Kita tidak coba keluar dari kemelut pola kehidupan yang membelenggu. Mengapa kita tidak mencoba dari diri sendiri, untuk kembali memikirkan tentang apa itu hakikat manusia? Jika kita telah mendapatkan format yang tepat tentang konsep manusia, maka hanya kita yang bisa memanusiakan diri kita. Setelah memanusiakan diri, tentunya kita bisa memanusiakan manusia yang lain.
Bagi saya, yang darurat bagi kita di tahun 2024 ke depan adalah bagaimana kita kembali belajar menjadi manusia. Mungkin kita harus kembali belajar ke hal paling dasar. Belajar berpikir dan bertindak layaknya manusia. Mengaktifkan kembali logika untuk memunculkan pengetahuan, sembari memadukan pengetahuan dengan hati, agar muncul kembali di tengah-tengah kita, kebijaksanaan.
Salah satu keistimewaan manusia adalah rasa peduli. Hampir tidak ada spesies makhluk hidup yang senang membagi makanannya untuk disantap bersama di meja makan, kecuali manusia. Untuk itu mari kembali kita renungi tentang hakikat manusia. Mari kembali menjadi manusia.
Komentar
Posting Komentar