Langsung ke konten utama

Posisi Perempuan dalam Kasus Komersialisasi Asmara dan Industri Asusila di Banda Aceh

  Ilmuwan sosial dan akademisi kenamaan Aceh, Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad (KBA), dalam tulisan di laman pribadinya mengangkat tentang kasus “industri asusila” (prostitusi terselubung yang sedang marak) di Banda Aceh. Ia coba menyibak fenomena tersebut sebagai sebuah masalah atau patologi sosial di masyarakat kita sebagai sebuah hal yang meresahkan. Namun ada yang luput dari amatan KBA, bahwa perempuan-perempuan itu bukan semata subjek yang memilih dengan kesadaran penuh untuk menjadi pelaku asusila. Perempuan-perempuan tersebut juga bisa kita lihat sebagai korban dari konstruksi sosial-budaya yang dibentuk oleh pergeseran budaya massa di kalangan generasi muda, yang berakar pada kapitalisme dan budaya konsumerisme. Lewat tulisan ini saya coba mengangkat sebuah fenomena relasi paling natural antara laki-laki dan perempuan yang biasanya terikat dalam hubungan asmara, namun kini muncul varian hubungan asmara baru yang bertransformasi menjadi hubungan yang cenderung artifisial, direkat...

Banda Aceh Kota Tua Bersejarah, Kini Kehilangan Banyak Bangunan Bersejarah


Kota Banda Aceh adalah salah satu kota tertua yang ada di Indonesia. Berdirinya kota ini ditandai dengan awal mula kerajaan Aceh di tahun 1205 yang didirikan oleh Sultan Johan Syah. 

Kota Banda Aceh selama ratusan tahun menjadi kota pelabuhan penting di Kepulauan Nusantara. Kapal-kapal dagang yang masuk ke wilayah Nusantara untuk berdagang dan membeli hasil alam berupa rempah-rempah, terlebih dulu singgah di Aceh.

Tak hanya pedagang Muslim dari Arab, Turki dan Gujarat, pedagang dan penjelajah asal Eropa juga turut menyinggahi Aceh. Banda Aceh digambarkan sebagai kota pelabuhan yang menjadi pusat perdagangan penting. Kota ini dibelah oleh sebuah sungai yang oleh penduduk lokal disebut dengan Kreung Aceh.

Di tengah-tengah kota terdapat Istana Kerajaan yang di dalamnya mengalir sungai buatan yang dikenal dengan nama Krueng Daroy. Sungai ini dibuat mengalir melintasi istana dan bersambung alirannya dengan Kreung Aceh. 

Ketika Aceh takluk oleh kolonial Belanda di tahun 1873, Kota Banda Aceh tidak banyak mengalami perubahan. Posisi sentral kota ini adalah Masjid Raya Baiturrahman yang setelah luluh lantak oleh perang, dibangun kembali oleh pemerintah kolonial Belanda dengan gaya Timur Tengah yang menggunakan kubah. Lokasi pembangunan bangunan masjid ini dibangun di lokasi yang sama.

Sementara itu, tapal bekas istana Kerajaan Aceh seperti tak berbekas. Namun Belanda membangun kompleks rumah Gubernur Jenderal di bekas istana tersebut. Hari in bangunan tersebut menjadi pendopo Gubernur Aceh.

Kota Banda Aceh sejak jaman kemerdekaan mengalami perkembangan pesat. Namun sayang, rencana pembangunan dan tata kota seolah kurang memperdulikan aspek sejarah dan budaya. Kota tua yang berada di sekitar Masjid Raya Baiturrahman hingga ke pendopo dan komplek makan raja-raja, kompleks pekuburan Belanda Kerkhof dan sekitar Pasar Aceh, banyak bangunan yang telah berubah.

Di sekitaran Masjid Raya Baiturrahman dulunya terdapat jalanan kota yang berhamburan dengan taman-taman yang tertata dengan rapi dan indah. Terdapat pohon Asam yang berdiri megah di pinggiran jalan di sepanjang jalan. Nuansa jalan dan taman ini hampir mirip dengan Bogor dan Bandung di Pulau Jawa 

Salah satu bangunan peninggalan sejarah yang punya arti besar dalam sejarah Aceh adalah Hotel Atjeh. Hotel Atjeh terletak tak jauh dari Masjid Raya Baiturrahman. Bangunan hotel ini telah ada sejak jaman kolonial. Hanya saja kini bangunannya telah dirobohkan dan rencananya ingin dibangun hotel baru, walaupun rencana itu tidak wujud sampai sekarang.

Hotel Atjeh adalah bangunan bersejarah bukan hanya pada masa kolonial. Bangunan kolonial ini punya arti penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Soekarno pernah berkunjung ke hotel ini dan bertemu Daud Beureueh, tokoh Aceh, meminta agar Aceh mau bergabung dengan negara Indonesia.

Kawasan Peunayong yang jadi kawasan Pecinan di sekitar jantung Kota Banda Aceh juga telah banyak mengalami perubahan. Bangunan-bangunan kolonial telah berganti bangunan modern. Kini pemerintah kota coba mengembangkan kawasan ini menjadi kawasan wisata. 

Salah satu bangunan penting jaman kolonial di Aceh adalah Lodge Freemason masa kolonial yang kini menjadi gedung SMA 1 Banda Aceh. Bangunan ini memiliki kekhasan arsitektur Eropa klasik dengan empat pilar besar di depan gedungnya. Mirip serambi gedung Capitol Hill di Amerika Serikat. 

Bangunan-bangunan lain yang jadi peninggalan kolonial adalah menara air dan beberapa bangunan rumah khas yang kini tak lagi berfungsi.

Beberapa gedung peninggalan kolonial Belanda yang ada di Banda Aceh telah difungsikan menjadi kantor-kantor instansi militer, sehingga tidak semua peninggalan kolonial Belanda di Banda Aceh bisa diakses publik.

Selain SMA 1 Banda Aceh, gedung kantor Bank Indonesia yang terletak di pinggiran Kreung Aceh adalah peninggalan kolonial yang masih terjaga dan terawat dengan baik. 

Sebagai warga kota yang sadar sejarah, saya berharap agar peninggalan kolonial Belanda di Banda Aceh tetap terjaga dan terawat agar lestari. Ke depan, bangunan bersejarah ini harus dilestarikan, jangan sampai hilang seperti bangunan-bangunan lain yang kini sudah tidak ada.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Posisi Perempuan dalam Kasus Komersialisasi Asmara dan Industri Asusila di Banda Aceh

  Ilmuwan sosial dan akademisi kenamaan Aceh, Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad (KBA), dalam tulisan di laman pribadinya mengangkat tentang kasus “industri asusila” (prostitusi terselubung yang sedang marak) di Banda Aceh. Ia coba menyibak fenomena tersebut sebagai sebuah masalah atau patologi sosial di masyarakat kita sebagai sebuah hal yang meresahkan. Namun ada yang luput dari amatan KBA, bahwa perempuan-perempuan itu bukan semata subjek yang memilih dengan kesadaran penuh untuk menjadi pelaku asusila. Perempuan-perempuan tersebut juga bisa kita lihat sebagai korban dari konstruksi sosial-budaya yang dibentuk oleh pergeseran budaya massa di kalangan generasi muda, yang berakar pada kapitalisme dan budaya konsumerisme. Lewat tulisan ini saya coba mengangkat sebuah fenomena relasi paling natural antara laki-laki dan perempuan yang biasanya terikat dalam hubungan asmara, namun kini muncul varian hubungan asmara baru yang bertransformasi menjadi hubungan yang cenderung artifisial, direkat...

Tentang Nelayan Membuang Ikan 3 Ton di Lampulo dan Potensi Industri Pengolahan Ikan

Nelayan membuang 3 ton hasil tangkapannya di Lampulo, Kamis, (2/5) karena hasil tangkapan nelayan kali ini membludak. Mengakibatkan harga ikan di pasar anjlok. Mereka terpaksa membuang karena jika dijual, mereka tetap rugi, sementara kondisi ikan mulai membusuk.  Kejadian ini sangat disayangkan mengingat potensi laut kita yang cukup besar. Jumlah tangkapan ikan di musim tertentu bisa membludak. Jika stok membludak, harga ikan bisa menurun drastis. Sementara jumlah ikan yang mampu ditampung di cold storage terbatas. Katanya, sejumlah cold storage yang pernah dibangun untuk menampung hasil tangkapan ikan di Aceh, tinggal 46 persen yang masih berfungsi. Sisanya sudah tidak bisa digunakan lagi.  Keadaan ini patut disesali. Pertama, pemerintah yang telah membangun infrastruktur cold storage untuk menampung ikan, sebagiannya rusak tak dapat digunakan lagi. Tentu ini masuk kategori pemborosan anggaran yang merugikan kita semua.  Kedua, sistem supply chain atau rantai dagang peri...

Habaib, Abu Hasan Krueng Kalee dan Abon Seulimeum: Cerita Hubungan Habib dan Ulama di Aceh

Generasi Banda Aceh tahun 70-80an banyak yang masih ingat dengan Habib Ulee Kareng yang dikenal sebagai wali majzub/jazab di Ulee Kareng. Berdasarkan cerita Abu Din Lam Ateuk, beliau selalu naik sepeda ontel dan mendawamkan zikir Hu Hu Hu di dalam batin beliau (bukan dengan suara lisan). Nama beliau Habib Abubakar bin Hasan Assegaf. Beliau adalah paman dari sebelah ibu Habib Abdul Haris Alaydrus. Habib Abubakar punya saudara bernama Habib Ja'far bin Hasan Assegaf, yang berguru kepada Abu Hasan Krueng Kalee, ulama kharismatik Aceh yang berthariqah Haddadiyah, nisbah kepada Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad di Hadramaut, Yaman. Abu Hasan Krueng Kalee selain mengajar di Dayah Siem (wilayah XXVI Mukim Sagi Aceh Darussalam), juga mengajar di Gampong Keudah. Lokasi yang berdekatan dengan perkampungan Habaib di Peulanggahan, Gampong Jawa dan Merduati. Di era 2000'an pengajian di Gampong Jawa dipimpin oleh Almarhum Abon Seulimum, anak Abu Abdul Wahab Seulimum (yg akan saya ceritakan be...