Garuda Theatre, salah satu bioskop di Band Aceh tempo dulu. Foto FOTO/roeshanny.wordpress.com. |
Banda Aceh dahulu, sebelum tsunami, mungkin akan menjadi kenangan nostalgia yang manis bagi warganya. Khususnya bagi mereka yang lahir, besar dan beranjak dewasa di kota ini. Dari pengalaman saya mendengarkan penuturan warganya, khususnya yang berusia lebih tua dari saya, Banda Aceh dalam ingatan mereka begitu indah.
Indahnya ingatan itu, karena Banda Aceh adalah kota yang menjadi tempat segala kisah masa kecil, remaja dan menjadi dewasa, mengambil tempat di kota ini. Saya yang lahir dan besar di kota ini, juga mengenang betapa manisnya kisah masa lalu itu. Saya coba merekam potret sosiologis kota ini di era 90’an hingga 2000’an hingga menjelang tsunami. Corak sosiologis yang tak hitam putih, bahkan saya juga coba mengangkat sisi gelap yang pernah ada di kota ini. Sebagaimana menulis sejarah, gambaran utuh harus dihadirkan. Keutuhan itu juga berupa konfigurasi sosial, patologi sosial dan semacamnya.
Di balik kenangan manis di kota ini, Banda Aceh seingat saya pernah mengalami era dimana saya sebagai anak kecil, merekam berbagai peristiwa yang mencerminkan patologi sosial dan sejumlah permasalahannya yang kemudian hanyut dibawa gelombang tsunami. Setelah tsunami, saya menilai ada beberapa perubahan besar yang terjadi. Banda Aceh terkesan lebih bersih dari sejumlah masalah sosial yang secara sosiologis bermasalah, serta jika ditilik dari perspektif kehidupan masyarakat muslim, Banda Aceh menjadi terkesan lebih beradab.
Lalu bagaimana keadaan Banda Aceh kini dan kedepan? Semua berada di tangan kita. Bisa kita ubah melalui kesadaran,bisa dengan pendekatan kultural berbasis adat dan budaya, juga bisa melalui intervensi politik dengan memilih pemimpin yang ideal. Semua cara ini punya dampak masing-masing dalam menentukan arah kota kita tercinta.
Sebelum bercerita tentang sisi gelapnya, bagi saya, Banda Aceh dulu punya banyak sisi baik, Saya masih akrab dengan ingatan tentang keakraban sosial yang terjalin, kehangatan hubungan dengan tetangga dan sesama warga yang saling peduli. Dulu, orang tua di Banda Aceh tidak takut untuk melepas anaknya bermain sepeda di sekitaran rumah. Selain jalanan yang aman, lingkungan rumah juga aman bagi anak-anak. Hubungan dengan tetangga juga dekat, kepedulian juga terjalin baik. Namun saya sengaja mengangkat sisi gelap untuk menjadi bahan renungan bahwa kita pernah berada di masa itu dan kita pernah mengalami perubahan yang cukup transformatif.
Sisi Gelap dalam Ingatan
Dulu ketika saya pertama kali duduk di bangku kelas satu sebuah SMP favorit di Banda Aceh, saya terkejut ketika melihat siswa SMP kelas satu bisa membawa tas penuh berisi ganja ke sekolah. Ini terjadi bukan di daerah pinggiran di Aceh Besar, tetapi di pusat kota Banda Aceh dan terjadi di SMP. Di sekolah ini, saya menyaksikan perkelahian amat sering terjadi. Bahkan saya pernah melihat kakak kelas yang berkelahi, salah satu diantara mereka menusuk lawannya dengan pisau hingga bersimbah darah.
Kenakalan remaja dan perkelahian mungkin adalah hal yang biasa terjadi. Namun jika membandingkan jumlah kasus dan keseharian pelajar dulu dan sekarang, saya bisa memastikan bahwa kenakalan remaja dulu jauh lebih brutal. Mungkin apa yang terjadi di kota-kota lain di Indonesia dalam bentuk tawuran, jauh lebih parah ketimbang yang terjadi di Banda Aceh. Tapi bisa dibilang, Banda Aceh juga termasuk parah.
Terekam dalam ingatan, bagaimana dulu interaksi pelajar dengan lawan jenis, bisa dibilang parah. Saya tidak tahu pasti saat itu apa yang terjadi dengan siswa SMA, namun siswa SMP saja waktu itu berani bermesraan di kelas dengan lawan jenis. Mungkin saat itu rusaknya pola interaksi dengan lawan jenis di kalangan siswa sekolah, berada pada puncaknya.
Bagi siswa yang bolos sekolah alias cabut, mereka punya beberapa alternatif. Pertama mereka bisa bermain di arena video game alias dingdong yang berada di Peunayong. Pilihan lainnya adalah nongkrong di warung kopi di seberang Masjid Raya Baiturrahman di dekat rel kereta api lama. Di warung kopi tersebut diputar video porno di siang bolong.
Dulu, ada beberapa gedung bioskop di Banda Aceh yang terkenal adalah bioskop Gajah, kemudian dibangun Pas 21 di Pasar Aceh. Kedua bioskop ini sebagaimana bioskop lainnya, memutar film hollywood dan juga film produksi dalam negeri. Kedua bioskop ini bagi saya normal-normal saja dan tidak bermasalah.
Selain dua bioskop ini, Banda Aceh pernah punya bioskop yang khusus memutar film-film panas. Mungkin saat itu di Indonesia, banyak film panas yang diproduksi di dalam negeri dan ditayangkan di bioskop dalam negeri. Namun di akhir era pemerintahan Soeharto, sensor film berbau erotisme ini kemudian menjadi lebih ketat.
Dulu di Peunayong ada sebuah gang yang dikenal dengan nama Gang Mabok. Disini tempat dijual minuman beralkohol. Bahkan kita dapat menyaksikan sekelompok orang minum-minum di siang hari sambil main batu. Tidak jauh dari Gang Mabok, masih di area Peunayong, terdapat arena bermain billiard yang juga dijadikan tempat main judi atau taruhan. Katanya di Peunayong, menurut penuturan orang-orang, juga terdapat tempat prostitusi, sebagiannya (katanya) berkedok Salon.
Salah satu tempat yang menjadi tujuan wisata Banda Aceh kala itu adalah pantai Lhoknga dan Lampuuk. Di masa itu, kita bisa menyaksikan sekelompok anak muda camping di pinggir pantai membawa sound system berukuran besar yang memutar musik “jedag-jedug” dan berjoget layaknya di diskotik. Hal ini bisa ditemui hampir di tiap akhir pekan.
Konsumsi alkohol di Banda Aceh sebelum tsunami, juga konsumsi ganja, menjadi “peukateun” atau kelakuan dari ramai muda-mudi. Dulu, selain Peunayong, tepi kali Krueng Aceh menjadi tempat untuk membeli minuman beralkohol.
Tsunami yang Mengubah
Seingat saya, masa-masa setelah tsunami adalah masa dimana banyak terjadi perubahan dengan perilaku sosial di Banda Aceh. Setelah tsunami, saya merasakan bahwa aura kota Banda Aceh dan warganya menjadi lebih religius, atau setidaknya berorientasi religius. Tsunami memang menjadi titik balik yang menghentakkan kesadaran warga Banda Aceh. Saat itu tiap korban sadar bahwa hanya Tuhan yang mampu menolong.
Setelah tsunami, kita dapat menyaksikan sendiri di kota Banda Aceh, kegiatan keagamaan berkembang dan menggeliat. Banyak acara-acara keagamaan, banyak majelis dzikir, banyak penceramah, da’i dan ulama lokal dan dari luar daerah, bahkan luar negeri, dihadirkan ke kota Banda Aceh. Tentu berbagai patologi sosial tidak hilang sama sekali. Hanya saja menjadi lebih sedikit dan terselubung.
Selain tsunami, saya dan kita semua harus jujur dengan diri sendiri bahwa di balik peran sekelompok masyarakat yang sadar dan berorientasi religius ada faktor lain yang ikut mengubah corak sosial kota Banda Aceh. Faktor itu adalah kepemimpinan Walikota Illiza yang menjabat sebentar, menggantikan almarhum Mawardi Nurdin. Intervensi kebijakan Illiza selama menjabat walikota memberi arti dan banyak mengubah warna kota Banda Aceh. Selain menjadi lebih tertib syari’at, Illiza juga bisa dikatakan pro dengan kegiatan keagamaan, terlepas dari berbagai pro-kontra di tengah masyarakat.
Harapan tentang Masa Depan Banda Aceh
Sebagai warga Banda Aceh yang lahir dan besar di kota ini, saya berharap banyak dengan kebaikan kota ini. Sebagai orang tua dari dua orang anak, saya berharap kota ini aman dan ramah anak. Kota ramah anak bisa dijelaskan sebagai kota yang aman untuk tumbuh kembang anak, rendah kriminalitas, minim kenakalan remaja, punya fasilitas publik yang mendukung tumbuh kembang anak. Fasilitas publik ramah anak seperti sekolah negeri dengan kualitas guru yang mumpuni; tidak hanya kualitas akademik guru yang baik, namun kemampuan pedagogik dan pemahaman psikologis yang baik untuk membantu anak tumbuh dan berkembang.
Ramah anak juga berarti fasilitas pendidikan informal seperti TPQ di masjid-masjid dan meunasah-meunasah juga berkualitas baik dengan kemampuan pedagogik dan psikologis pengajarnya yang tak kalah dari pengajar sekolah formal.
Saya berharap Banda Aceh punya pustaka khusus anak yang betul-betul dibangun untuk membantu proses belajar anak dengan memahami kondisi psikologis anak. Pustaka anak bukan hanya tempat belajar, tapi juga tempat bermain sambil belajar yang menyenangkan.
Saya tak perlu menyebut soal Banda Aceh perlu meningkatkan kualitas kebutuhan dasar seperti PDAM untuk air bersih dan lain-lain. Semua orang tahu itu. Tapi saya perlu menyebutkan tentang harapan saya tentang Banda Aceh yang mampu menyediakan lapangan kerja yang luas bagi warganya, khususnya anak muda. Banda Aceh meski bersyariat, tapi harus ramah bisnis, ramah dengan dunia usaha dan juga ramah dengan wisatawan.
Namun yang lebih besar dari kemajuan dan pertumbuhan ekonomi yang mana dua hal ini adalah keniscayaan, adalah bagaimana Banda Aceh bisa jadi kota yang nyaman untuk semua.
Jabal Sab
Warga Banda Aceh
Mari dukung dan apresiasi karya ini dengan berdonasi, melalui link berikut: Trakteer
Komentar
Posting Komentar