Langsung ke konten utama

Mengapa Negeri Syariat tidak Bersyariat? Menjelaskan Anomali Sosial di Aceh

Aceh sebagai daerah yang berlaku syariat Islam namun marak muncul kasus yang mencoreng citra syariat. Tulisan berikut mencoba menganalisis persoalan kompleks ini, salah satunya adalah makin berjaraknya Islam dan syariat dari alam pikiran dan kesadaran generasi muda Aceh.  Tulisan ini merupakan tanggapan dari tulisan Putri Balqis Vilza berjudul Anomali Sosial dalam Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh yang ditulis di laman website kba13.com milik Prof. Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad. Putri coba mengangkat keresahannya mengenai maraknya angka bunuh diri pada mahasiswa, operasi tangkap tangan pasangan non muhrim, menjamurnya industri asusila, terjaringnya pasangan penyuka sesama jenis (Liwath/Musahaqah), sampai mewabahnya tindak kekerasan hingga pembunuhan yang terjadi di Aceh, padahal di Aceh berlaku Syariat Islam. Kamarruzzaman Bustamam Ahmad dalam salah satu artikelnya menyimpulkan bahwa kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya: Lingkungan pertem...

Perang, Uang, Mentalitas dan Daya Tahan Suatu Bangsa

Reruntuhan bangunan kuno Persepolis, Iran yang jadi peninggalan sejarah kejayaan Iran masa lampau.

Seorang teman berkata bahwa: strategi terbaik adalah dengan menjadi sangat kuat. Kata-kata itu terdengar sangat rasional, namun seakan menjadi pembunuh semangat dan penyubur pesimisme bagi mereka yang tak punya apa-apa selain nyali dan semangat yang berapi-api. 

Bahwa perang bukan soal siapa paling besar nyali dan siapa paling berani. Perang yang kini tidak lagi mengandalkan kekuatan fisik, tapi soal sekuat dan secanggih apa alat dan mesin tempur yang digunakan. Sekali bom, ribuan orang bisa mati. Semangat saja tak akan mampu menjebol garis pertahanan lawan yang berlapis. 

Kini, sebelum terjun ke medan tempur, kemenangan setidaknya bisa diprediksi secara statistik dan matematis. Berapa jumlah angkatan tempur, jumlah alutsista dan sejauh mana kesiapan membiayai perang yang memakan banyak anggaran. Namun soal mentalitas; keberanian dan kemampuan untuk tetap bertempur habis-habisan juga masih relevan. Mentalitas adalah jenis kekuatan tersendiri. Mentalitas yang baik tercermin dalam keberanian yang terukur dengan kewaspadaan dan hitung-hitungan yang matang.

***

Jika kita menelisik perang dan sejarah, mungkin kita bisa menyimpulkan bahwa sejarah manusia adalah soal "survival of the fittest", kemampuan bertahan hidup. Yang kuat akan bertahan, yang lemah akan punah. 

Untuk tetap bertahan, manusia harus menjadi kuat. Untuk menjadi kuat, manusia harus memiliki sumber daya. Sumber daya yang punya banyak jenis dan variannya itu bisa dimiliki dan dikumpulkan melalui proses yang namanya perdagangan. Dengan satu benda yang disebut uang yang menjadi alat tukar, kita bisa membeli segala jenis barang dan sumber daya yang dibutuhkan.

Dari proses pengumpulan sumber daya itu, kita dapat simpulkan bahwa uang menjadi penting karena ia dapat membeli dan mengumpulkan sumber daya. Kepemilikan terhadap segala jenis sumber daya adalah cara untuk menjadi kuat. Ini berarti, punya uang menjadi salah satu cara--mungkin yang paling mudah--untuk menjadi kuat. 

Kembali ke sejarah, tiap bangsa berlomba untuk kaya agar menjadi kuat dan digdaya. Setelah memiliki berbagai sumber daya dan menjadi kaya, bangsa tertentu akan menjadi dominan, ditakuti dan punya potensi lebih berkuasa dari yang lain.

Namun sejarah juga bercerita, bahwa manusia lupa dengan tujuannya. Manusia menjadi kaya dengan uang dan sumber daya, tujuannya adalah agar tetap kuat dan bertahan. Untuk itu, manusia harus senantiasa awas, wawas, sigap dan waspada dengan segala ancaman dan kemungkinan yang datang dari pihak lain.

Sebuah bangsa, sama juga jika ditilik dari perspektif kehidupan manusia, bisa terlena dengan uang dan kekayaan. Uang yang tadinya adalah alat untuk menjadi kuat bahkan bisa berubah menjadi hal yang melemahkan. Hal itu terjadi ketika manusia terlena dengan kekayaan. Mengira bahwa menjadi kaya adalah tujuan akhir. Atau menjadi kaya hanya untuk memenuhi keinginan ragawi yang sepele. 

Jika kita sebagai sebuah bangsa ingin bertahan dalam panggung sejarah, tidak bisa tidak, kita harus punya sumber daya yang cukup untuk bertahan, jika tidak menjadi kaya, setidaknya kita harus punya cukup uang. Namun sebelum memiliki uang, kita harus terlebih dulu memperbaiki kualitas mental kita sebagai sebuah bangsa. Mentalitas yang melihat uang sebagai alat dan senjata, bukan sebagai alat pemuas keinginan ragawi yang remeh. Jika mentalitas rusak, uang dan sumber daya tidak akan mampu membuat kita kuat dan digdaya.

Menjadi bangsa yang makmur adalah cara untuk kuat dan bertahan. Menjadi bangsa yang makmur bukanlah tujuan akhir. Tujuan akhir adalah tetap menjadi bangsa yang bertahan di sepanjang zaman.

Berapa banyak bangsa dalam sejarah yang terlena dan terbuai dengan kemakmuran dan kemajuan secara fisik dan ekonomi, namun lemah dalam ketahanan karena rusaknya mentalitas dan karakter bangsa dari kebobrokan mental dan karakter individunya. Kemakmuran yang melenakan membuat suatu bangsa bisa terlalu nyaman dan manja serta kehilangan keberanian. 

Andalusia dan Baghdad adalah dua contoh dimana kemakmuran dan kemajuan bersamaan dengan kemewahan menjadikannya rapuh terhadap ancaman yang datang dari luar. Ibnu Khaldun dalam teorinya mengenai bangkit dan runtuhnya peradaban menjelaskan bahwa ketika suatu bangsa berada di tahap hidup super mewah (extravagance), maka pertanda bahwa peradaban tersebut berada pada tahap terakhir jelang keruntuhannya. 

Untuk itu, bagi setiap bangsa, sebagaimana mereka memiliki etos dan semangat kuat untuk bangkit dan berkembang mencapai puncak kemajuan dan kemakmuran, mereka juga harus merawat semangat dan karakter tersebut ketika berada di puncak kejayaan. 

Agar hal tersebut dapat terwujud, setiap bangsa bicara tentang nilai, karakter dan jati diri. Tiap bangsa harus punya pegangan berupa nilai-nilai dan cara pandang. Tiap bangsa harus punya dan berpegang pada falsafah kebangsaan. Hal ini yang kemudian menjadikan filsafat, sejarah dan agama punya posisi penting dalam merawat karakter dan jati diri bangsa. Untuk menjadi rambu-rambu dan penjaga agar suatu bangsa tetap bertahan di sepanjang zaman. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Posisi Perempuan dalam Kasus Komersialisasi Asmara dan Industri Asusila di Banda Aceh

  Ilmuwan sosial dan akademisi kenamaan Aceh, Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad (KBA), dalam tulisan di laman pribadinya mengangkat tentang kasus “industri asusila” (prostitusi terselubung yang sedang marak) di Banda Aceh. Ia coba menyibak fenomena tersebut sebagai sebuah masalah atau patologi sosial di masyarakat kita sebagai sebuah hal yang meresahkan. Namun ada yang luput dari amatan KBA, bahwa perempuan-perempuan itu bukan semata subjek yang memilih dengan kesadaran penuh untuk menjadi pelaku asusila. Perempuan-perempuan tersebut juga bisa kita lihat sebagai korban dari konstruksi sosial-budaya yang dibentuk oleh pergeseran budaya massa di kalangan generasi muda, yang berakar pada kapitalisme dan budaya konsumerisme. Lewat tulisan ini saya coba mengangkat sebuah fenomena relasi paling natural antara laki-laki dan perempuan yang biasanya terikat dalam hubungan asmara, namun kini muncul varian hubungan asmara baru yang bertransformasi menjadi hubungan yang cenderung artifisial, direkat...

Mengapa Negeri Syariat tidak Bersyariat? Menjelaskan Anomali Sosial di Aceh

Aceh sebagai daerah yang berlaku syariat Islam namun marak muncul kasus yang mencoreng citra syariat. Tulisan berikut mencoba menganalisis persoalan kompleks ini, salah satunya adalah makin berjaraknya Islam dan syariat dari alam pikiran dan kesadaran generasi muda Aceh.  Tulisan ini merupakan tanggapan dari tulisan Putri Balqis Vilza berjudul Anomali Sosial dalam Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh yang ditulis di laman website kba13.com milik Prof. Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad. Putri coba mengangkat keresahannya mengenai maraknya angka bunuh diri pada mahasiswa, operasi tangkap tangan pasangan non muhrim, menjamurnya industri asusila, terjaringnya pasangan penyuka sesama jenis (Liwath/Musahaqah), sampai mewabahnya tindak kekerasan hingga pembunuhan yang terjadi di Aceh, padahal di Aceh berlaku Syariat Islam. Kamarruzzaman Bustamam Ahmad dalam salah satu artikelnya menyimpulkan bahwa kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya: Lingkungan pertem...

Hubungan Ulama dan Umara di Tiga Kerajaan di Nagan Raya: Peran Bersama Dalam Budaya Pertanian

Sebagaimana kuatnya peranan Ulama dalam mempengaruhi kebijakan kepemimpinan dalam Kesultanan Aceh, begitu pula dengan kerajaan-kerajaan kecil lainnya di Aceh. Hampir di setiap kerajaan kecil ini mempunyai ulama sebagai penasehat dan bahkan bisa dikatakan sebagai mitra kerja para raja. Para ulama ini ada yang menyebutnya sebagai Mufti dan sebagian tempat menjuluki mereka dengan sebutan Teungku Qadhi. Tanpa terkecuali termasuk Kerajaan Seunagan, Kerajaan Seuneu‘am dan Kerajaan Beutong Benggalang berada di wilayah yang kini dikenal sebagai Kabupaten Nagan Raya. Dimana dalam perjalanan sejarahnya, di ketiga kerajaan ini, hubungan para ulama dengan para raja sangatlah kental dan terjaga. Keterlibatan ulama dalam kepemimpinan di Nagan Raya sudah mulai terjalin kuat sejak era kerajaan, kuatnya hubungan ini juga mempengaruhi kebijakan pemerintahan raja-raja di Nagan. Bahkan hubungan semacam ini sudah menjadi hubungan emosional antara guru dan murid, sebagaimana hubungan antara Raja Seunagan Te...