Langsung ke konten utama

Habaib, Abu Hasan Krueng Kalee dan Abon Seulimeum: Cerita Hubungan Habib dan Ulama di Aceh


Generasi Banda Aceh tahun 70-80an banyak yang masih ingat dengan Habib Ulee Kareng yang dikenal sebagai wali majzub/jazab di Ulee Kareng. Berdasarkan cerita Abu Din Lam Ateuk, beliau selalu naik sepeda ontel dan mendawamkan zikir Hu Hu Hu di dalam batin beliau (bukan dengan suara lisan). Nama beliau Habib Abubakar bin Hasan Assegaf. Beliau adalah paman dari sebelah ibu Habib Abdul Haris Alaydrus.

Habib Abubakar punya saudara bernama Habib Ja'far bin Hasan Assegaf, yang berguru kepada Abu Hasan Krueng Kalee, ulama kharismatik Aceh yang berthariqah Haddadiyah, nisbah kepada Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad di Hadramaut, Yaman. Abu Hasan Krueng Kalee selain mengajar di Dayah Siem (wilayah XXVI Mukim Sagi Aceh Darussalam), juga mengajar di Gampong Keudah. Lokasi yang berdekatan dengan perkampungan Habaib di Peulanggahan, Gampong Jawa dan Merduati. Di era 2000'an pengajian di Gampong Jawa dipimpin oleh Almarhum Abon Seulimum, anak Abu Abdul Wahab Seulimum (yg akan saya ceritakan berikutnya).

Berdasarkan cerita alm. Sayid Qamari Assegaf warga Gampong Jawa, beliau pernah dibawa pamannya Habib Ja'far menemui Abu Hasan Kreung Kalee di Keudah. Waktu itu ada rumah panggung di situ. "Tamong Habib," sapa Abu Hasan Krueng Kalee. Mempersilahkan Habib Ja'far yang juga murid beliau untuk masuk. "Habib Ja'far," sapa beliau dengan penuh kasih. Itu cerita yang tersimpan di memori alm. Sayid Qamari Assegaf tentang bagaimana Abu Hasan Krueng Kalee memuliakan Habib Ja'far yang juga muridnya. 

Habib Ja'far seorang Habaib berilmu dan kharismatik. Ketika beliau meninggal, toko-toko warga Cina/Thionghoa semuanya tutup sebagai bentuk berkabung dan dukacita atas meninggalnya beliau.

Alm. Sayed Qamari Assegaf juga bercerita tentang guru beliau di balee beut Gampong Jawa yang berlokasi di tanah keluarga Habaib yang sangat memuliakan beliau sebagai seorang Sayyid. Saking terkesan dan cintanya beliau kepada alm. Abon Seulimum, kami sampai bosan mendengar cerita beliau mengulang-ulang cerita tentang Abon Seulimum yang selalu beliau ulangi berkali-kali. 

Abon Seulimum atau Tgk H. Mukhtar Luthfi bin Abdul Wahab berasal dari sagi XXII Mukim Aceh Darusalam tepatnya wilayah Seulimeum. Jika di XXVI Mukim Qadhi Rabbul Jalil nya adalah kakek buyut dari Abu Hasan Krueng Kalee yakni Tgk. Chik Kreung Kalee sampai ke atas, maka di wilayah XX Mukim Qadhi nya adalah Tgk Chik Tanoh Abee Syekh Abdul Wahab sampai ke kakeknya Syekh Nahyan Al Fairusy Al Baghdady. Di Tanoh Abee terdapat perpustakaan tertua Asia Tenggara yang pernah dikunjungi oleh Habib Kadzim Assegaf.

Kembali lagi, Abon Seulimum pernah bertemu Habib Umar bin Hafidz ketika beliau berkunjung ke Aceh di tahun 2010. Abon dengan takzim mencium tangan Habib Umar bin Hafidz. Juga masih tersimpan di saya rekaman suara Abon yang mewasiatkan membaca qasidah Busyra Lana di malam 12 Rabiul Awwal. Qasidah tersebut, kata Abon, karangan Sayyid Abdullah bin Alawi Al Haddad. Apabila dibaca di malam 12 Rabiul Awwal insya Allah akan jauh dari bala wabah dan taun. Abon juga berdoa agar Gampong Jawa, Peulanggahan bahkan sampai Lampulo akan jauh dari wabah berkat dibacanya qasidah tersebut.

Sementara di sagi XXV Mukim tepatnya di Keudee Bieng, ada seorang shalehah yang mastur yang banyak dikunjungi para Sayyid untuk mengambil berkah. Beliau almarhumah H.Hasnah binti Hasyim yang biasa dipanggil Nekmi. Beliau menceritakan dahulu beliau pernah berjumpa dengan seorang ulama dan awliya besar Jakarta, Habib Umar bin Hud Al Attas. Nekmi berdasarkan pengakuan beberapa orang, tak terhitung jumlah pertemuan beliau dengan Rasulullah, berkat kecintaan dan bagaimana beliau memuliakan ahlul bait.

Beginilah cerita-cerita orang-orang dahulu dalam memuliakan ahlul bait. Mereka tahu bahwa ada keberkahan khusus pada ahlul bait. Ini semua adalah bentuk pemahaman mereka yang sempurna terhadap ilmu dan bentuk hakikat kecintaan kepada Nabi Muhammad saw.


Ya Allah berkahi mereka dan berilah sebaik-baik balasan di surga-Mu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Komersialisasi Asmara di Banda Aceh

Sebut saja namanya Nisa, bukan nama sebenarnya, gadis perantau dari salah satu kabupaten di Aceh yang hijrah ke Banda Aceh untuk mencari pekerjaan. Ia hanya lulusan SMA, oleh karena itu, ia hanya bisa mengakses pekerjaan yang terbatas di kota. Ia bekerja sebagai pramuniaga di sebuah toko kosmetik.  Gaji rata-rata pramuniaga di toko-toko pakaian, kosmetik, ponsel dan lain-lain di Banda Aceh rata-rata berkisar di bawah upah minimum. Bahkan bisa berkisar hanya separuh dari upah minimum provinsi. Meski digaji rendah, permintaan untuk lowongan ini tak pernah sepi. Rata-rata yang bekerja sebagai pramuniaga adalah perempuan berusia di bawah 30 tahun. Mayoritasnya adalah perempuan perantauan dari berbagai kabupaten di Aceh.  Nisa terbilang gadis belia yang berparas elok. Wajahnya sebagaimana perempuan khas Aceh, terlihat menawan dengan hidung mancung, wajah tirus, dan bermata bulat. Tampilannya pun terbilang modis. Pakaian yang ia kenakan dan gadget yang ia pakai terlihat mewah, seaka...

Banda Aceh Kota Tua Bersejarah, Kini Kehilangan Banyak Bangunan Bersejarah

Kota Banda Aceh adalah salah satu kota tertua yang ada di Indonesia. Berdirinya kota ini ditandai dengan awal mula kerajaan Aceh di tahun 1205 yang didirikan oleh Sultan Johan Syah.  Kota Banda Aceh selama ratusan tahun menjadi kota pelabuhan penting di Kepulauan Nusantara. Kapal-kapal dagang yang masuk ke wilayah Nusantara untuk berdagang dan membeli hasil alam berupa rempah-rempah, terlebih dulu singgah di Aceh. Tak hanya pedagang Muslim dari Arab, Turki dan Gujarat, pedagang dan penjelajah asal Eropa juga turut menyinggahi Aceh. Banda Aceh digambarkan sebagai kota pelabuhan yang menjadi pusat perdagangan penting. Kota ini dibelah oleh sebuah sungai yang oleh penduduk lokal disebut dengan Kreung Aceh. Di tengah-tengah kota terdapat Istana Kerajaan yang di dalamnya mengalir sungai buatan yang dikenal dengan nama Krueng Daroy. Sungai ini dibuat mengalir melintasi istana dan bersambung alirannya dengan Kreung Aceh.  Ketika Aceh takluk oleh kolonial Belanda di tahun ...

Banda Aceh Yang Berubah: Potret Sosiologis Kota Banda Aceh

Garuda Theatre, salah satu bioskop di Band Aceh tempo dulu. Foto   FOTO/roeshanny.wordpress.com. Banda Aceh dahulu, sebelum tsunami, mungkin akan menjadi kenangan nostalgia yang manis bagi warganya. Khususnya bagi mereka yang lahir, besar dan beranjak dewasa di kota ini. Dari pengalaman saya mendengarkan penuturan warganya, khususnya yang berusia lebih tua dari saya, Banda Aceh dalam ingatan mereka begitu indah.  Indahnya ingatan itu, karena Banda Aceh adalah kota yang menjadi tempat segala kisah masa kecil, remaja dan menjadi dewasa, mengambil tempat di kota ini. Saya yang lahir dan besar di kota ini, juga mengenang betapa manisnya kisah masa lalu itu. Saya coba merekam potret sosiologis kota ini di era 90’an hingga 2000’an hingga menjelang tsunami. Corak sosiologis yang tak hitam putih, bahkan saya juga coba mengangkat sisi gelap yang pernah ada di kota ini. Sebagaimana menulis sejarah, gambaran utuh harus dihadirkan. Keutuhan itu juga berupa konfigurasi sosial, patolog...