Langsung ke konten utama

Mengapa Negeri Syariat tidak Bersyariat? Menjelaskan Anomali Sosial di Aceh

Aceh sebagai daerah yang berlaku syariat Islam namun marak muncul kasus yang mencoreng citra syariat. Tulisan berikut mencoba menganalisis persoalan kompleks ini, salah satunya adalah makin berjaraknya Islam dan syariat dari alam pikiran dan kesadaran generasi muda Aceh.  Tulisan ini merupakan tanggapan dari tulisan Putri Balqis Vilza berjudul Anomali Sosial dalam Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh yang ditulis di laman website kba13.com milik Prof. Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad. Putri coba mengangkat keresahannya mengenai maraknya angka bunuh diri pada mahasiswa, operasi tangkap tangan pasangan non muhrim, menjamurnya industri asusila, terjaringnya pasangan penyuka sesama jenis (Liwath/Musahaqah), sampai mewabahnya tindak kekerasan hingga pembunuhan yang terjadi di Aceh, padahal di Aceh berlaku Syariat Islam. Kamarruzzaman Bustamam Ahmad dalam salah satu artikelnya menyimpulkan bahwa kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya: Lingkungan pertem...

Tentang Nelayan Membuang Ikan 3 Ton di Lampulo dan Potensi Industri Pengolahan Ikan



Nelayan membuang 3 ton hasil tangkapannya di Lampulo, Kamis, (2/5) karena hasil tangkapan nelayan kali ini membludak. Mengakibatkan harga ikan di pasar anjlok. Mereka terpaksa membuang karena jika dijual, mereka tetap rugi, sementara kondisi ikan mulai membusuk. 

Kejadian ini sangat disayangkan mengingat potensi laut kita yang cukup besar. Jumlah tangkapan ikan di musim tertentu bisa membludak. Jika stok membludak, harga ikan bisa menurun drastis. Sementara jumlah ikan yang mampu ditampung di cold storage terbatas. Katanya, sejumlah cold storage yang pernah dibangun untuk menampung hasil tangkapan ikan di Aceh, tinggal 46 persen yang masih berfungsi. Sisanya sudah tidak bisa digunakan lagi. 


Keadaan ini patut disesali. Pertama, pemerintah yang telah membangun infrastruktur cold storage untuk menampung ikan, sebagiannya rusak tak dapat digunakan lagi. Tentu ini masuk kategori pemborosan anggaran yang merugikan kita semua. 


Kedua, sistem supply chain atau rantai dagang perikanan kita dari hulu ke hilir yang masih bermasalah. Ikan berlebih tidak dapat dipasarkan, ditampung dan diolah, alasannya karena hasil tangkapan membludak.


Membangun Industri Pengolahan Ikan di Aceh


Seharusnya perlu dilakukan strategi yang memperbaiki supply chain hasil perikanan dari hulu ke hilir yang baik agar jika hasil tangkapan membludak, stok ikan dapat disimpan untuk waktu dimana tangkapan ikan langka. Yang terpenting juga bagaimana hasil tangkapan ikan yang didapat tidak serta-merta dijual mentah. Melainkan di hilir, perlu dibangun industri pengolahan yang bisa memanfaatkan ikan mentah menjadi produk olahan yang punya nilai jual. 


Secara tradisional, hasil tangkapan ikan berlebih diolah menjadi ikan kayu atau keumamah dan ikan asin. Artinya, kita punya tradisi lama untuk mengatasi persoalan suplai hasil tangkapan ikan ini. 


Tentunya di era sekarang ini, kita perlu memanfaatkan intervensi teknologi untuk mengolah tangkapan ikan menjadi produk olahan yang bernilai jual dan bisa dipasarkan tidak hanya di Aceh dan Indonesia, tapi juga luar negeri. 


Salah satu produk olahan Ikan yang bisa kita beli di supermarket adalah Ikan kaleng berupa jenis ikan Sarden dan Makarel yang dikemas didalam kaleng. Ikan tuna juga dapat kita lihat produk kalengan tersebut di supermarket berbentuk potongan-potongan yang dicampur dengan minyak. 


Jika memang bukan jenis ikan berkualitas baik, atau jenis-jenis ikan sembarang, jenis-jenis ikan lainnya ini masih bisa dimanfaatkan dan diolah menjadi pakan hewan ternak dan berbagai produk lainnya.


Kelemahan di Aceh, bukan hanya di sektor perikanan tapi juga di sektor lain, adalah minimnya industri pengolahan yang dapat memanfaatkan kelebihan supply komoditas untuk diolah menjadi produk yang menambah nilai jual dan berpotensi untuk merambah pasar nasional bahkan internasional. Untuk itu perlu ada kebijakan dari pemerintah serta inisiatif dari pihak swasta untuk sama-sama berkolaborasi mengembangkan industri pengolahan komoditas di Aceh, khususnya hasil tangkapan laut berupa ikan. 


Aceh memiliki begitu banyak potensi kekayaan sumber daya, termasuk yang ada di laut. Dengan hadirnya industri pengolahan ikan, masalah kelebihan supply ikan ini tidak terjadi lagi serta dapat membuka sektor lahan usaha baru dan juga lapangan kerja baru bagi warga Aceh.


Sejarah Industri Pengalengan Ikan di Eropa


Jika kita coba menilik informasi tentang industri pengalengan ikan, sebenarnya ikan telah diproses dan dikalengkan secara tradisional dengan teknik yang sederhana sejak abad ke-19 di Portugal


Tepatnya tahun 1809, industri pengalengan ikan menjadi kenyataan berkat upaya Nicolas Appert , seorang koki, pembuat manisan, dan penyuling asal Prancis yang menyempurnakan metode pengawetan makanan dengan memasukkannya ke dalam wadah kedap udara yang tertutup. Dia baru mampu melakukan ini setelah 14 tahun bereksperimen.


Segera setelah itu, pada tahun 1820, orang Inggris Joseph-Pierre Colin meningkatkan teknologinya dan menawarkan sarden kalengan ke pasar, meluncurkan produksi skala besar melalui pabrik pengalengan nya di Nantes, Prancis.


Apa yang dimulai sebagai metode mengawetkan ikan pada abad ke-19 telah berubah menjadi seni di Portugal. Di Portugal, semuanya dimulai di Vila Real de Santo António pada tahun 1865. Saat itu Ramirez, perusahaan pengalengan pertama di Portugal, mulai mengemas sarden, tuna, dan makarel ke dalam kaleng. 


Langkah ini terjadi karena kurangnya pasokan di garis pantai Prancis dan tingginya jumlah serta kualitas ikan sarden di Portugal. Bertahun-tahun kemudian, karena dipicu oleh dua perang dunia, Portugal secara signifikan memperluas produksinya, memberikan negara-negara dan tentara Eropa makanan yang mudah diangkut, bergizi, dan tahan lama. Pada tahun 1950, negara ini memiliki lebih dari 400 pabrik pengalengan.


Ramirez, pabrik pengalengan tertua di Eropa, pertama kali mendirikan pabrik di Setubal, Algarve, dan Vila Real de Santo Antonio di utara untuk mengalengkan sarden dengan minyak zaitun. Setelah pasteurisasi diterapkan pada tahun 1862, beberapa pabrik pengalengan bermunculan, tidak hanya untuk ikan sarden tetapi juga untuk makanan laut lainnya. Pabrik pengalengan ini sebagian besar berada di Espinho, Setubal, dan Algarve, yang semuanya memiliki pabrik pengalengan sarden yang berkembang pesat.


Bagaimana Cara Pengolahan Sarden?


Kepala dan ekor ikan Sarden dipotong, dan isi perutnya dibuang. Sarden tersebut kemudian direndam selama sekitar 30 menit, dibilas untuk menghilangkan garam, dan dimasak sebelumnya dalam minyak atau uap. 


Saat memasak, para pekerja memasukkan bumbu ke dalam kaleng, tergantung rasanya. Rempah-rempah bisa mulai dari daun salam hingga wortel, peri-peri (cabai Afrika), dan banyak lagi. 


“Proses pengalengan” dimulai: sarden dikalengkan dalam wadah timah, diisi sampai penuh dengan minyak zaitun berkualitas tinggi atau saus lainnya. Sausnya bisa bermacam-macam mulai dari minyak zaitun hingga minyak zaitun pedas, saus tomat, saus tomat pedas, dan masih banyak lagi. Sarden juga bisa dibuat dengan bahan lain seperti lemon dan rempah-rempah seperti lada hitam.

Setelah itu, kaleng ditutup rapat agar udara tidak masuk dan tidak merusak ikan. 


Terakhir, kaleng disterilkan agar ikan dapat diawetkan tanpa menambahkan bahan pengawet. Setelah proses ini selesai, kaleng tersebut tidak langsung dikirim untuk dijual. Kaleng-kaleng berisi disimpan setidaknya selama tiga sampai enam bulan. Lalu kemudian dipasarkan.


Sudah saatnya Aceh mengejar ketertinggalan. Apa yang telah dilakukan di Eropa lebih dari 100 tahun lalu, harus mampu kita upayakan sekarang.


Jabal Sab



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Posisi Perempuan dalam Kasus Komersialisasi Asmara dan Industri Asusila di Banda Aceh

  Ilmuwan sosial dan akademisi kenamaan Aceh, Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad (KBA), dalam tulisan di laman pribadinya mengangkat tentang kasus “industri asusila” (prostitusi terselubung yang sedang marak) di Banda Aceh. Ia coba menyibak fenomena tersebut sebagai sebuah masalah atau patologi sosial di masyarakat kita sebagai sebuah hal yang meresahkan. Namun ada yang luput dari amatan KBA, bahwa perempuan-perempuan itu bukan semata subjek yang memilih dengan kesadaran penuh untuk menjadi pelaku asusila. Perempuan-perempuan tersebut juga bisa kita lihat sebagai korban dari konstruksi sosial-budaya yang dibentuk oleh pergeseran budaya massa di kalangan generasi muda, yang berakar pada kapitalisme dan budaya konsumerisme. Lewat tulisan ini saya coba mengangkat sebuah fenomena relasi paling natural antara laki-laki dan perempuan yang biasanya terikat dalam hubungan asmara, namun kini muncul varian hubungan asmara baru yang bertransformasi menjadi hubungan yang cenderung artifisial, direkat...

Mengapa Negeri Syariat tidak Bersyariat? Menjelaskan Anomali Sosial di Aceh

Aceh sebagai daerah yang berlaku syariat Islam namun marak muncul kasus yang mencoreng citra syariat. Tulisan berikut mencoba menganalisis persoalan kompleks ini, salah satunya adalah makin berjaraknya Islam dan syariat dari alam pikiran dan kesadaran generasi muda Aceh.  Tulisan ini merupakan tanggapan dari tulisan Putri Balqis Vilza berjudul Anomali Sosial dalam Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh yang ditulis di laman website kba13.com milik Prof. Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad. Putri coba mengangkat keresahannya mengenai maraknya angka bunuh diri pada mahasiswa, operasi tangkap tangan pasangan non muhrim, menjamurnya industri asusila, terjaringnya pasangan penyuka sesama jenis (Liwath/Musahaqah), sampai mewabahnya tindak kekerasan hingga pembunuhan yang terjadi di Aceh, padahal di Aceh berlaku Syariat Islam. Kamarruzzaman Bustamam Ahmad dalam salah satu artikelnya menyimpulkan bahwa kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya: Lingkungan pertem...

Hubungan Ulama dan Umara di Tiga Kerajaan di Nagan Raya: Peran Bersama Dalam Budaya Pertanian

Sebagaimana kuatnya peranan Ulama dalam mempengaruhi kebijakan kepemimpinan dalam Kesultanan Aceh, begitu pula dengan kerajaan-kerajaan kecil lainnya di Aceh. Hampir di setiap kerajaan kecil ini mempunyai ulama sebagai penasehat dan bahkan bisa dikatakan sebagai mitra kerja para raja. Para ulama ini ada yang menyebutnya sebagai Mufti dan sebagian tempat menjuluki mereka dengan sebutan Teungku Qadhi. Tanpa terkecuali termasuk Kerajaan Seunagan, Kerajaan Seuneu‘am dan Kerajaan Beutong Benggalang berada di wilayah yang kini dikenal sebagai Kabupaten Nagan Raya. Dimana dalam perjalanan sejarahnya, di ketiga kerajaan ini, hubungan para ulama dengan para raja sangatlah kental dan terjaga. Keterlibatan ulama dalam kepemimpinan di Nagan Raya sudah mulai terjalin kuat sejak era kerajaan, kuatnya hubungan ini juga mempengaruhi kebijakan pemerintahan raja-raja di Nagan. Bahkan hubungan semacam ini sudah menjadi hubungan emosional antara guru dan murid, sebagaimana hubungan antara Raja Seunagan Te...