Langsung ke konten utama

Tentang Nelayan Membuang Ikan 3 Ton di Lampulo dan Potensi Industri Pengolahan Ikan



Nelayan membuang 3 ton hasil tangkapannya di Lampulo, Kamis, (2/5) karena hasil tangkapan nelayan kali ini membludak. Mengakibatkan harga ikan di pasar anjlok. Mereka terpaksa membuang karena jika dijual, mereka tetap rugi, sementara kondisi ikan mulai membusuk. 

Kejadian ini sangat disayangkan mengingat potensi laut kita yang cukup besar. Jumlah tangkapan ikan di musim tertentu bisa membludak. Jika stok membludak, harga ikan bisa menurun drastis. Sementara jumlah ikan yang mampu ditampung di cold storage terbatas. Katanya, sejumlah cold storage yang pernah dibangun untuk menampung hasil tangkapan ikan di Aceh, tinggal 46 persen yang masih berfungsi. Sisanya sudah tidak bisa digunakan lagi. 


Keadaan ini patut disesali. Pertama, pemerintah yang telah membangun infrastruktur cold storage untuk menampung ikan, sebagiannya rusak tak dapat digunakan lagi. Tentu ini masuk kategori pemborosan anggaran yang merugikan kita semua. 


Kedua, sistem supply chain atau rantai dagang perikanan kita dari hulu ke hilir yang masih bermasalah. Ikan berlebih tidak dapat dipasarkan, ditampung dan diolah, alasannya karena hasil tangkapan membludak.


Membangun Industri Pengolahan Ikan di Aceh


Seharusnya perlu dilakukan strategi yang memperbaiki supply chain hasil perikanan dari hulu ke hilir yang baik agar jika hasil tangkapan membludak, stok ikan dapat disimpan untuk waktu dimana tangkapan ikan langka. Yang terpenting juga bagaimana hasil tangkapan ikan yang didapat tidak serta-merta dijual mentah. Melainkan di hilir, perlu dibangun industri pengolahan yang bisa memanfaatkan ikan mentah menjadi produk olahan yang punya nilai jual. 


Secara tradisional, hasil tangkapan ikan berlebih diolah menjadi ikan kayu atau keumamah dan ikan asin. Artinya, kita punya tradisi lama untuk mengatasi persoalan suplai hasil tangkapan ikan ini. 


Tentunya di era sekarang ini, kita perlu memanfaatkan intervensi teknologi untuk mengolah tangkapan ikan menjadi produk olahan yang bernilai jual dan bisa dipasarkan tidak hanya di Aceh dan Indonesia, tapi juga luar negeri. 


Salah satu produk olahan Ikan yang bisa kita beli di supermarket adalah Ikan kaleng berupa jenis ikan Sarden dan Makarel yang dikemas didalam kaleng. Ikan tuna juga dapat kita lihat produk kalengan tersebut di supermarket berbentuk potongan-potongan yang dicampur dengan minyak. 


Jika memang bukan jenis ikan berkualitas baik, atau jenis-jenis ikan sembarang, jenis-jenis ikan lainnya ini masih bisa dimanfaatkan dan diolah menjadi pakan hewan ternak dan berbagai produk lainnya.


Kelemahan di Aceh, bukan hanya di sektor perikanan tapi juga di sektor lain, adalah minimnya industri pengolahan yang dapat memanfaatkan kelebihan supply komoditas untuk diolah menjadi produk yang menambah nilai jual dan berpotensi untuk merambah pasar nasional bahkan internasional. Untuk itu perlu ada kebijakan dari pemerintah serta inisiatif dari pihak swasta untuk sama-sama berkolaborasi mengembangkan industri pengolahan komoditas di Aceh, khususnya hasil tangkapan laut berupa ikan. 


Aceh memiliki begitu banyak potensi kekayaan sumber daya, termasuk yang ada di laut. Dengan hadirnya industri pengolahan ikan, masalah kelebihan supply ikan ini tidak terjadi lagi serta dapat membuka sektor lahan usaha baru dan juga lapangan kerja baru bagi warga Aceh.


Sejarah Industri Pengalengan Ikan di Eropa


Jika kita coba menilik informasi tentang industri pengalengan ikan, sebenarnya ikan telah diproses dan dikalengkan secara tradisional dengan teknik yang sederhana sejak abad ke-19 di Portugal


Tepatnya tahun 1809, industri pengalengan ikan menjadi kenyataan berkat upaya Nicolas Appert , seorang koki, pembuat manisan, dan penyuling asal Prancis yang menyempurnakan metode pengawetan makanan dengan memasukkannya ke dalam wadah kedap udara yang tertutup. Dia baru mampu melakukan ini setelah 14 tahun bereksperimen.


Segera setelah itu, pada tahun 1820, orang Inggris Joseph-Pierre Colin meningkatkan teknologinya dan menawarkan sarden kalengan ke pasar, meluncurkan produksi skala besar melalui pabrik pengalengan nya di Nantes, Prancis.


Apa yang dimulai sebagai metode mengawetkan ikan pada abad ke-19 telah berubah menjadi seni di Portugal. Di Portugal, semuanya dimulai di Vila Real de Santo António pada tahun 1865. Saat itu Ramirez, perusahaan pengalengan pertama di Portugal, mulai mengemas sarden, tuna, dan makarel ke dalam kaleng. 


Langkah ini terjadi karena kurangnya pasokan di garis pantai Prancis dan tingginya jumlah serta kualitas ikan sarden di Portugal. Bertahun-tahun kemudian, karena dipicu oleh dua perang dunia, Portugal secara signifikan memperluas produksinya, memberikan negara-negara dan tentara Eropa makanan yang mudah diangkut, bergizi, dan tahan lama. Pada tahun 1950, negara ini memiliki lebih dari 400 pabrik pengalengan.


Ramirez, pabrik pengalengan tertua di Eropa, pertama kali mendirikan pabrik di Setubal, Algarve, dan Vila Real de Santo Antonio di utara untuk mengalengkan sarden dengan minyak zaitun. Setelah pasteurisasi diterapkan pada tahun 1862, beberapa pabrik pengalengan bermunculan, tidak hanya untuk ikan sarden tetapi juga untuk makanan laut lainnya. Pabrik pengalengan ini sebagian besar berada di Espinho, Setubal, dan Algarve, yang semuanya memiliki pabrik pengalengan sarden yang berkembang pesat.


Bagaimana Cara Pengolahan Sarden?


Kepala dan ekor ikan Sarden dipotong, dan isi perutnya dibuang. Sarden tersebut kemudian direndam selama sekitar 30 menit, dibilas untuk menghilangkan garam, dan dimasak sebelumnya dalam minyak atau uap. 


Saat memasak, para pekerja memasukkan bumbu ke dalam kaleng, tergantung rasanya. Rempah-rempah bisa mulai dari daun salam hingga wortel, peri-peri (cabai Afrika), dan banyak lagi. 


“Proses pengalengan” dimulai: sarden dikalengkan dalam wadah timah, diisi sampai penuh dengan minyak zaitun berkualitas tinggi atau saus lainnya. Sausnya bisa bermacam-macam mulai dari minyak zaitun hingga minyak zaitun pedas, saus tomat, saus tomat pedas, dan masih banyak lagi. Sarden juga bisa dibuat dengan bahan lain seperti lemon dan rempah-rempah seperti lada hitam.

Setelah itu, kaleng ditutup rapat agar udara tidak masuk dan tidak merusak ikan. 


Terakhir, kaleng disterilkan agar ikan dapat diawetkan tanpa menambahkan bahan pengawet. Setelah proses ini selesai, kaleng tersebut tidak langsung dikirim untuk dijual. Kaleng-kaleng berisi disimpan setidaknya selama tiga sampai enam bulan. Lalu kemudian dipasarkan.


Sudah saatnya Aceh mengejar ketertinggalan. Apa yang telah dilakukan di Eropa lebih dari 100 tahun lalu, harus mampu kita upayakan sekarang.


Jabal Sab



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Banda Aceh Kota Tua Bersejarah, Kini Kehilangan Banyak Bangunan Bersejarah

Kota Banda Aceh adalah salah satu kota tertua yang ada di Indonesia. Berdirinya kota ini ditandai dengan awal mula kerajaan Aceh di tahun 1205 yang didirikan oleh Sultan Johan Syah.  Kota Banda Aceh selama ratusan tahun menjadi kota pelabuhan penting di Kepulauan Nusantara. Kapal-kapal dagang yang masuk ke wilayah Nusantara untuk berdagang dan membeli hasil alam berupa rempah-rempah, terlebih dulu singgah di Aceh. Tak hanya pedagang Muslim dari Arab, Turki dan Gujarat, pedagang dan penjelajah asal Eropa juga turut menyinggahi Aceh. Banda Aceh digambarkan sebagai kota pelabuhan yang menjadi pusat perdagangan penting. Kota ini dibelah oleh sebuah sungai yang oleh penduduk lokal disebut dengan Kreung Aceh. Di tengah-tengah kota terdapat Istana Kerajaan yang di dalamnya mengalir sungai buatan yang dikenal dengan nama Krueng Daroy. Sungai ini dibuat mengalir melintasi istana dan bersambung alirannya dengan Kreung Aceh.  Ketika Aceh takluk oleh kolonial Belanda di tahun ...

Banda Aceh Yang Berubah: Potret Sosiologis Kota Banda Aceh

Garuda Theatre, salah satu bioskop di Band Aceh tempo dulu. Foto   FOTO/roeshanny.wordpress.com. Banda Aceh dahulu, sebelum tsunami, mungkin akan menjadi kenangan nostalgia yang manis bagi warganya. Khususnya bagi mereka yang lahir, besar dan beranjak dewasa di kota ini. Dari pengalaman saya mendengarkan penuturan warganya, khususnya yang berusia lebih tua dari saya, Banda Aceh dalam ingatan mereka begitu indah.  Indahnya ingatan itu, karena Banda Aceh adalah kota yang menjadi tempat segala kisah masa kecil, remaja dan menjadi dewasa, mengambil tempat di kota ini. Saya yang lahir dan besar di kota ini, juga mengenang betapa manisnya kisah masa lalu itu. Saya coba merekam potret sosiologis kota ini di era 90’an hingga 2000’an hingga menjelang tsunami. Corak sosiologis yang tak hitam putih, bahkan saya juga coba mengangkat sisi gelap yang pernah ada di kota ini. Sebagaimana menulis sejarah, gambaran utuh harus dihadirkan. Keutuhan itu juga berupa konfigurasi sosial, patolog...