Langsung ke konten utama

Cerita Orang Aceh Dahulu dan Cara untuk Maju

 

Stasiun kereta api di Banda Aceh era Kolonial.

Menurut pengakuan orang-orang tua dahulu, salah satunya Wali Nanggroe Malik Mahmud, yang saya simak ceritanya secara langsung berujar, orang Aceh dulu hingga kurun 40-50’an adalah peniaga yang ulung.

Malik Mahmud sembari bercerita tentang CTC (Central Trading Company), BUMN Indonesia pertama yang dinahkodai oleh T. Hamid Azwar yang berasal dari Samalanga, banyak bercerita tentang seorang pengusaha sukses zaman itu yang bernama Usman Adamy. Usman Adamy adalah salah satu pengusaha Aceh yang tinggal di Singapura. Ia saat itu mendirikan kantor dagang hingga ke Hongkong.

Di era itu Pulau Penang menjadi hub (penghubung) bisnis yang diramaikan oleh pengusaha asal Aceh. Di Lebuh Acheh, salah satu jalan di wilayah perkantoran kota tua di Penang, berjejer kantor dagang milik pengusaha Aceh.

Kini, kedigdayaan orang Aceh dalam perniagaan tampak melemah. Orang Aceh seperti “gadöh seumangat”, entah akibat konflik berkepanjangan atau faktor lain, yang jelas kita mengalami kemunduran.

Hingga saat ini, hampir semua orang Aceh menyesali keterpurukan Aceh yang berstatus sebagai provinsi termiskin di Sumatera. Anak muda mengeluhkan sulitnya mencari kerja. Banyak dari kita yang menyalahkan pemerintah daerah yang gagal mengelola pemerintahan dengan baik. Meski memang kegagalan di institusi pemerintahan berperan besar terhadap kemunduran Aceh dan hampir tidak dapat dipungkiri, namun kita harus melihat solusi lain yang dapat ditempuh, selain dari sisi politik dan pemerintahan (institusional).

Budaya untuk Maju

Solusi lain itu adalah budaya. Bagaimana melalui budaya, kita dapat menggalakkan kebiasaan kolektif yang mengunggulkan etos kerja, kecerdasan dan kreativitas serta kegigihan dan keuletan sebagai ciri masyarakat Aceh hari ini.

Sifat ceubeuh, beuhèe (berani), bakai dan tungang (bandel) orang Aceh yang dikenal lewat kegigihan berperang dan dikenal pantang menyerah, hari ini harus dialihkan ke dalam semangat dalam dunia kerja dan berniaga. Jika kita mampu berperang dalam jangka waktu yang panjang, tentu kita akan lebih mampu berjuang dengan berkarya di masa damai.

Semangat dan etos kerja itu, di masyarakat kita, tak benar-benar sirna. Dari pengamatan saya, saya melihat masih ada anak-anak muda kita yang terbilang gigih.

Ada seorang teman yang mencoba berjualan kue untuk disajikan di warkop-warkop dan berhasil. Ada teman yang mencoba berjualan nasi dengan menu masakan khas Aceh dan ternyata laku keras. Ada kenalan yang coba membuat parfum sendiri berbahan dasar nilam, bisnisnya jalan hingga hari ini. Ada juga anak muda yang mencoba mendirikan usaha tanaman hidroponik selada dalam skala besar, setahu saya bisnisnya jalan dan lumayan berhasil.

Ada yang produksi VCO dari minyak kelapa. Ada yang budidaya jamur dan berhasil. Ada yang buat brand baju hasil desain sendiri, laku dijual. Ada yg produksi jenis-jenis tas berbahan jeans daur ulang, bisnisnya mulai berkembang. Ada yang sukses berdagang dengan produk yang dibeli di luar Aceh. Ada yg sukses dengan memproduksi produk bikinan sendiri.

Kesuksesan mereka menjadi bukti bahwa semangat untuk bekerja dan berkarya, etos yang kuat dan gigih, kreativitas dalam memilih dan menjalankan bisnis, kejelian dalam melihat keinginan dan peluang pasar, serta mindset untuk terus berusaha dan pantang menyerah adalah kunci bagi generasi muda untuk bertahan dan bangkit.

Betul memang, daya beli masyarakat Aceh akhir-akhir ini melemah akibat keadaan ekonomi yang tidak begitu baik. Bahkan pelemahan daya beli ini terjadi dalam lingkup nasional. Sepertinya setelah pandemi, kita sedang mencari cara untuk pulih kembali. Apalagi setelah dana Otsus berkurang dari 2 persen menjadi 1 persen. Tapi itu bukan menjadi alasan untuk menyerah, lalu memilih cara instan cepat kaya melalui sabu-sabu atau tramadol.

Penyebab Ketertinggalan

Salah satu faktor yang membuat kita tertinggal adalah bukan (hanya) soal kita malas ataupun kurang gigih, agaknya. Faktor itu adalah karena masyarakat kita hari ini berada dalam kondisi terisolasi. Anak muda kita di Banda Aceh mungkin cukup berpendidikan dan punya akses informasi yang lebih luas. Namun tidak semuanya punya akses pendidikan dan informasi yang sama. Terlebih di luar Banda Aceh.

Dari segi geografis di Indonesia, kita berada di ujung barat. Aceh dilihat dari posisi geografis di Indonesia berada di sudut barat dan bukan menjadi wilayah singgah, hal ini membuat kita terkesan terpinggir dan bukan wilayah prioritas. Berbeda dengan keadaan sebelum kemerdekaan, Aceh strategis dilihat dari posisinya di regional Asia yang merupakan pintu masuk ke Nusantara.

Aceh terisolasi dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi dari dunia luar. Untuk itu, dengan adanya internet, harusnya anak-anak muda kita memaksimalkan konektivitas digital untuk membuka isolasi tersebut dan menggunakannya untuk mengejar ketertinggalan dari segi apapun.

Saya rasa anak-anak muda kita harus memiliki kesadaran untuk terus meningkatkan pendidikan, skill dan kecakapan sesuai dengan bidang yang ingin digeluti. Semangat tanpa skill dan pengetahuan tidak akan cukup. Untuk itu budaya belajar, meski tidak harus melalui pendidikan formal, harus dibudayakan. Kebiasaan untuk berbagi informasi yang produktif melalui diskusi, khususnya di warung kopi, harus digalakkan.

Satu lagi budaya yang harus dikembangkan adalah semangat kerjasama dan kolaborasi. Kita harus sadar bahwa untuk maju dan berkembang, kita tidak bisa sendiri. Kita harus punya kebiasaan untuk bekerja dalam kelompok. Sebagai masyarakat komunal, harusnya kita bisa melakukan itu. Namun trauma kolektif akibat konflik cenderung memupuk rasa curiga sehingga kita sulit untuk saling bekerja sama antar sesama kita.


Jabal Sab


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Banda Aceh Kota Tua Bersejarah, Kini Kehilangan Banyak Bangunan Bersejarah

Kota Banda Aceh adalah salah satu kota tertua yang ada di Indonesia. Berdirinya kota ini ditandai dengan awal mula kerajaan Aceh di tahun 1205 yang didirikan oleh Sultan Johan Syah.  Kota Banda Aceh selama ratusan tahun menjadi kota pelabuhan penting di Kepulauan Nusantara. Kapal-kapal dagang yang masuk ke wilayah Nusantara untuk berdagang dan membeli hasil alam berupa rempah-rempah, terlebih dulu singgah di Aceh. Tak hanya pedagang Muslim dari Arab, Turki dan Gujarat, pedagang dan penjelajah asal Eropa juga turut menyinggahi Aceh. Banda Aceh digambarkan sebagai kota pelabuhan yang menjadi pusat perdagangan penting. Kota ini dibelah oleh sebuah sungai yang oleh penduduk lokal disebut dengan Kreung Aceh. Di tengah-tengah kota terdapat Istana Kerajaan yang di dalamnya mengalir sungai buatan yang dikenal dengan nama Krueng Daroy. Sungai ini dibuat mengalir melintasi istana dan bersambung alirannya dengan Kreung Aceh.  Ketika Aceh takluk oleh kolonial Belanda di tahun ...

Banda Aceh Yang Berubah: Potret Sosiologis Kota Banda Aceh

Garuda Theatre, salah satu bioskop di Band Aceh tempo dulu. Foto   FOTO/roeshanny.wordpress.com. Banda Aceh dahulu, sebelum tsunami, mungkin akan menjadi kenangan nostalgia yang manis bagi warganya. Khususnya bagi mereka yang lahir, besar dan beranjak dewasa di kota ini. Dari pengalaman saya mendengarkan penuturan warganya, khususnya yang berusia lebih tua dari saya, Banda Aceh dalam ingatan mereka begitu indah.  Indahnya ingatan itu, karena Banda Aceh adalah kota yang menjadi tempat segala kisah masa kecil, remaja dan menjadi dewasa, mengambil tempat di kota ini. Saya yang lahir dan besar di kota ini, juga mengenang betapa manisnya kisah masa lalu itu. Saya coba merekam potret sosiologis kota ini di era 90’an hingga 2000’an hingga menjelang tsunami. Corak sosiologis yang tak hitam putih, bahkan saya juga coba mengangkat sisi gelap yang pernah ada di kota ini. Sebagaimana menulis sejarah, gambaran utuh harus dihadirkan. Keutuhan itu juga berupa konfigurasi sosial, patolog...

Tentang Nelayan Membuang Ikan 3 Ton di Lampulo dan Potensi Industri Pengolahan Ikan

Nelayan membuang 3 ton hasil tangkapannya di Lampulo, Kamis, (2/5) karena hasil tangkapan nelayan kali ini membludak. Mengakibatkan harga ikan di pasar anjlok. Mereka terpaksa membuang karena jika dijual, mereka tetap rugi, sementara kondisi ikan mulai membusuk.  Kejadian ini sangat disayangkan mengingat potensi laut kita yang cukup besar. Jumlah tangkapan ikan di musim tertentu bisa membludak. Jika stok membludak, harga ikan bisa menurun drastis. Sementara jumlah ikan yang mampu ditampung di cold storage terbatas. Katanya, sejumlah cold storage yang pernah dibangun untuk menampung hasil tangkapan ikan di Aceh, tinggal 46 persen yang masih berfungsi. Sisanya sudah tidak bisa digunakan lagi.  Keadaan ini patut disesali. Pertama, pemerintah yang telah membangun infrastruktur cold storage untuk menampung ikan, sebagiannya rusak tak dapat digunakan lagi. Tentu ini masuk kategori pemborosan anggaran yang merugikan kita semua.  Kedua, sistem supply chain atau rantai dagang peri...