Langsung ke konten utama

Mengapa Negeri Syariat tidak Bersyariat? Menjelaskan Anomali Sosial di Aceh

Aceh sebagai daerah yang berlaku syariat Islam namun marak muncul kasus yang mencoreng citra syariat. Tulisan berikut mencoba menganalisis persoalan kompleks ini, salah satunya adalah makin berjaraknya Islam dan syariat dari alam pikiran dan kesadaran generasi muda Aceh.  Tulisan ini merupakan tanggapan dari tulisan Putri Balqis Vilza berjudul Anomali Sosial dalam Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh yang ditulis di laman website kba13.com milik Prof. Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad. Putri coba mengangkat keresahannya mengenai maraknya angka bunuh diri pada mahasiswa, operasi tangkap tangan pasangan non muhrim, menjamurnya industri asusila, terjaringnya pasangan penyuka sesama jenis (Liwath/Musahaqah), sampai mewabahnya tindak kekerasan hingga pembunuhan yang terjadi di Aceh, padahal di Aceh berlaku Syariat Islam. Kamarruzzaman Bustamam Ahmad dalam salah satu artikelnya menyimpulkan bahwa kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya: Lingkungan pertem...

Irwan dan Illiza Memperebutkan Suara Anak Muda



Teuku Irwan Djohan adalah calon walikota yang punya basis pemilih setia di Kota Banda Aceh. Basis pemilih setianya berasal dari pemilih di beberapa kali pemilihan legislatif yang mengantarkan Irwan ke kursi DPRA. Irwan punya nama besar orang tua, Mayjen. Purn. Teuku Djohan, perwira militer yang kemudian berkarir politik di Golkar. Nama besar orang tua Irwan punya citra baik bagi masyarakat Aceh. Jejaring keluarga Irwan adalah keluarga besar yang juga punya reputasi baik.

Sementara itu, Illiza Saaduddin Djamal adalah calon walikota yang juga berasal dari keluarga yang cukup populer, adalah anak Sa'aduddin Djamal, tokoh agamis yang merupakan mantan politisi senior di PPP. Latar belakang keluarga Illiza bisa dikatakan berlatar belakang agamis. Irwan dan Illiza adalah dua tokoh yang merupakan bagian dari keluarga elite politik lama. Keduanya punya modal jejaring keluarga yang kuat dan reputasi yang baik.

Hingga saat ini menjelang Pilkada, di kalangan pemilih muda, kelas menengah dan terdidik, segmen ini menjadi wilayah tarung yang diperebutkan antara Irwan Djohan dan Illiza. Di luar kedua tokoh ini, tokoh lain semisal mantan walikota Aminullah dan Keuchik Zainal, keduanya tidak begitu populer dan diminati sebagaimana Irwan dan Illiza pada segmentasi pemilih muda-kelas menengah.

Kedua tokoh ini populer di mata anak muda kelas menengah Banda Aceh karena berbagai hal. Irwan pernah maju sebelumnya sebagai calon walikota yang merepresentasikan suara anak muda. Kala itu, jejaring Skull supporter Persiraja menjadi salah satu basis komunitas yang mendukungnya. Irwan saat itu juga didampingi oleh sejumlah anak muda yang menjadi mesin politiknya. Ia terjun ke kancah politik dengan ide dan gagasan yang coba mewakili aspirasi suara anak muda dengan basis dukungan komunitas anak muda. 

Sementara Illiza, akhir-akhir ini melalui sosial media, sepertinya ia cukup berhasil membangun support emosional dengan generasi muda melalui postingan-postingan sosial media yang ringan, renyah namun cukup efektif untuk menjalin hubungan emosional dengan anak muda. Dengan sapaan akrab "Bunda", gaya komunikasi publik Illiza melalui sosial media berhasil menciptakan citra bahwa Bunda adalah sosok yang peduli dan dekat dengan anak muda. Sapaan Bunda menjadikan Illiza seolah dekat dan akrab dengan followers sosial medianya. Pembangunan citra dan pola komunikasi publik di sosial media Illiza dapat dikatakan cukup signifikan membuat namanya diperhitungkan di Pilwalkot kali ini. 

Dibalik kepopuleran kedua tokoh ini, keduanya punya sisi pro-kontra dalam pandangan masyarakat Kota Banda Aceh. Irwan pernah dengan berani mendukung gagasan anak-anak muda untuk menghadirkan kembali bioskop di Banda Aceh. Baginya dan sebagian anak muda, bioskop adalah sarana kesenian dan budaya yang perlu dihadirkan di Banda Aceh. Sementara sebagian masyarakat menentang ide tentang bioskop karena dianggap berlawanan dengan semangat syariat Islam. 

Sementara Illiza, ia dianggap sebagai tokoh yang pro syariat Islam di satu sisi, sementara di sisi lain ia dianggap membawa wajah syariat yang membatasi kebebasan anak muda. Sebagian anak muda, ketika Illiza menjabat walikota, mengeluhkan penegakan syariat Islam yang tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Dengan artian bahwa, mereka menganggap Illiza menegakkan pelaksanaan syariat Islam secara tebang pilih. 

Hingga saat ini, sejauh yang saya ketahui, baik Irwan dan Illiza belum menyuarakan ide dan gagasan kongkrit jelang Pilkada. Banda Aceh merupakan kota yang maju dan unggul, misalnya jika dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Namun kota ini bukan tidak punya masalah sama sekali. Masih ada persoalan layanan publik yang belum teratasi dengan baik. Masalah penyediaan layanan air bersih misalnya. Atau masalah dukungan pemerintah kota terhadap penyediaan lapangan kerja, dukungan untuk usaha, serta dukungan pembiayaan bagi UMKM. Tentu hal-hal tersebut membutuhkan solusi kongkrit yang mampu menyelesaikan masalah. 

Masalah pelaksanaan syariat Islam di Banda Aceh, menurut hemat saya, adalah suatu hal yang sangat baik. Namun bagaimana pelaksanaan syariat yang menyeluruh perlu diperhatikan, bukan sebatas hukuman jinayah saja. Penting untuk memperhatikan bagaimana pendidikan syariat direncanakan dan dikembangkan oleh pemerintah kota, khususnya bagi generasi muda dan anak usia sekolah. Juga bagaimana berbagai problematika masyarakat dikaji dan dicari solusinya melalui kacamata syariat, dan tentu bukan hanya sebatas masalah hukuman. 

Kita berharap kedua tokoh ini bisa merumuskan agenda pembangunan melalui visi-misi yang bukan hanya menyalurkan aspirasi masyarakat kota, tapi benar-benar kongkrit dalam menjawab permasalahan Kota Banda Aceh kita tercinta.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Posisi Perempuan dalam Kasus Komersialisasi Asmara dan Industri Asusila di Banda Aceh

  Ilmuwan sosial dan akademisi kenamaan Aceh, Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad (KBA), dalam tulisan di laman pribadinya mengangkat tentang kasus “industri asusila” (prostitusi terselubung yang sedang marak) di Banda Aceh. Ia coba menyibak fenomena tersebut sebagai sebuah masalah atau patologi sosial di masyarakat kita sebagai sebuah hal yang meresahkan. Namun ada yang luput dari amatan KBA, bahwa perempuan-perempuan itu bukan semata subjek yang memilih dengan kesadaran penuh untuk menjadi pelaku asusila. Perempuan-perempuan tersebut juga bisa kita lihat sebagai korban dari konstruksi sosial-budaya yang dibentuk oleh pergeseran budaya massa di kalangan generasi muda, yang berakar pada kapitalisme dan budaya konsumerisme. Lewat tulisan ini saya coba mengangkat sebuah fenomena relasi paling natural antara laki-laki dan perempuan yang biasanya terikat dalam hubungan asmara, namun kini muncul varian hubungan asmara baru yang bertransformasi menjadi hubungan yang cenderung artifisial, direkat...

Mengapa Negeri Syariat tidak Bersyariat? Menjelaskan Anomali Sosial di Aceh

Aceh sebagai daerah yang berlaku syariat Islam namun marak muncul kasus yang mencoreng citra syariat. Tulisan berikut mencoba menganalisis persoalan kompleks ini, salah satunya adalah makin berjaraknya Islam dan syariat dari alam pikiran dan kesadaran generasi muda Aceh.  Tulisan ini merupakan tanggapan dari tulisan Putri Balqis Vilza berjudul Anomali Sosial dalam Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh yang ditulis di laman website kba13.com milik Prof. Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad. Putri coba mengangkat keresahannya mengenai maraknya angka bunuh diri pada mahasiswa, operasi tangkap tangan pasangan non muhrim, menjamurnya industri asusila, terjaringnya pasangan penyuka sesama jenis (Liwath/Musahaqah), sampai mewabahnya tindak kekerasan hingga pembunuhan yang terjadi di Aceh, padahal di Aceh berlaku Syariat Islam. Kamarruzzaman Bustamam Ahmad dalam salah satu artikelnya menyimpulkan bahwa kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya: Lingkungan pertem...

Hubungan Ulama dan Umara di Tiga Kerajaan di Nagan Raya: Peran Bersama Dalam Budaya Pertanian

Sebagaimana kuatnya peranan Ulama dalam mempengaruhi kebijakan kepemimpinan dalam Kesultanan Aceh, begitu pula dengan kerajaan-kerajaan kecil lainnya di Aceh. Hampir di setiap kerajaan kecil ini mempunyai ulama sebagai penasehat dan bahkan bisa dikatakan sebagai mitra kerja para raja. Para ulama ini ada yang menyebutnya sebagai Mufti dan sebagian tempat menjuluki mereka dengan sebutan Teungku Qadhi. Tanpa terkecuali termasuk Kerajaan Seunagan, Kerajaan Seuneu‘am dan Kerajaan Beutong Benggalang berada di wilayah yang kini dikenal sebagai Kabupaten Nagan Raya. Dimana dalam perjalanan sejarahnya, di ketiga kerajaan ini, hubungan para ulama dengan para raja sangatlah kental dan terjaga. Keterlibatan ulama dalam kepemimpinan di Nagan Raya sudah mulai terjalin kuat sejak era kerajaan, kuatnya hubungan ini juga mempengaruhi kebijakan pemerintahan raja-raja di Nagan. Bahkan hubungan semacam ini sudah menjadi hubungan emosional antara guru dan murid, sebagaimana hubungan antara Raja Seunagan Te...