Dalam momentum menjelang pilkada 2024 ini, kemungkinan besar banyak pihak, termasuk masyarakat umum, akan tertarik dalam pusaran pertarungan untuk memenangkan jagoan kandidatnya masing-masing.
Terlepas dari ikatan preferensi politik, profesi , maupun tendensi afiliasi politik, saya kali ini ingin menulis sebuah ekspresi tentang kepemimpinan ideal dalam sisi yang paling privat dan personal, tanpa ada ikatan atau embel-embel apapun.
Dalam sisi personalitas yang paling privat, sebagai manusia yang merdeka untuk berpikir, sebagai seorang yang dikaruniai nalar dalam berkontemplasi melampaui realitas praktis, saya coba memetik hikmah dari sebuah renungan tentang pemimpin dan kepemimpinan ideal, serta upaya mewujudkannya.
Apakah kepemimpinan ideal itu dan seperti apakah sosok pemimpin ideal?
Dengan jujur saya akan mengambil posisi mempertimbangkan nilai-nilai keislaman sebagai pijakan rasional dan filosofis, dengan segala keterbatasan penguasaan saya terhadap Islam itu sendiri.
***
Ketika pertama kali menjadi mahasiswa ilmu politik dan mengambil kelas filsafat politik, saya mengenal pemikiran politik Plato dan langsung terkesima dengannya. Plato menawarkan konsep kepemimpinan yang disebut “philosopher king” atau raja filsuf. Pemimpin ideal dalam gambaran filsafat politik Plato adalah seorang filsuf, bukan hanya seorang pemimpin yang cakap, cerdas dan berpengetahuan, akan tetapi pengetahuannya sudah mencapai taraf hikmah (wisdom) atau kebijaksanaan.
Kebijaksanaan bukan hanya soal kecakapan dalam mengurusi pemerintahan, memahami tata kelola pemerintahan, menguasai ekonomi, mengetahui strategi perang, bukan hanya sebatas itu. Kebijaksanaan adalah memahami sesuatu secara menyeluruh mulai dari memahami hakikat sesuatu.
Seorang pemimpin yang bijak, berangkat dari pemikiran filosofisnya dalam memberi makna terhadap nilai yang ia yakini. Dengan kata lain, ia berpegang pada filsafat moral. Apa tujuan pemimpin dan adanya pemerintahan? Misalnya jawabannya adalah untuk mewujudkan keadilan, kebajikan dan kesejahteraan. Lalu, apa itu keadilan? Apa itu kebajikan? Apa itu kesejahteraan? Artinya pemimpin yang bijaksana sudah selesai dan memahami betul perihal segala konsep kunci terkait dengan manusia secara individu dan makhluk sosial, serta hubungannya di dalam alam semesta.
Pemimpin filsuf adalah seorang yang berpikir, mampu menggunakan akal dalam menalar untuk menghasilkan makna terhadap konsep-konsep inti yang jadi pegangannya, khususnya terkait pemerintahan dan tujuannya.
Jika kita coba menilik, manusia memiliki keunggulan dibanding makhluk lain karena ia berakal. Dengan akal sebagai keutamaan manusia yang tidak dimiliki makhluk lain, sudah pasti yang paling kuat akalnya, paling cerdas, pandai dan bijak, dialah yang layak memimpin. Banyak para pemikir politik kontemporer menyebut bahwa ide Plato adalah sebuah utopia. Artinya, suatu gambaran pemikiran ideal melangit yang sulit terwujud di dunia nyata.
Dibalik pemikiran Plato yang utopis, dunia bukan sama sekali tidak pernah dipimpin oleh orang bijak. Nabi Muhammad dan keempat Khulafaur Rasyidin dapat kita kategorikan sebagai pemimpin yang dimaksud. Namun setelah era itu, kepemimpinan ideal yang memposisikan orang bijaksana sebagai pemimpin semakin sulit dan jarang sekali terwujud.
Di era Kesultanan Aceh dahulu, Sultan Alaidin Riwayat Syah al-Qahhar atau yang digelari dengan sebutan Sayyidil Mukammmil, berdasarkan catatan Hamzah Fanshuri, adalah seorang pemimpin yang masuk kategori ideal itu. Ia bahkan oleh Hamzah disandingkan dengan kedudukan spiritual setingkat Qutub, pangkat kewalian, yang tertulis dalam sebuah syair Hamzah Fanshuri:
Syah ‘Alam Raja yang ‘adil
Raja Qutub sempurna kamil
Wali Allah sempurna wasilR
Raja ‘arif lagi mukammmil
Artinya, bisa saja di suatu zaman dalam rentang sejarah, kepemimpinan ideal tersebut ada dan dapat terwujud, mesti jarang sekali dan sulit terwujud.
***
Salah satu hal dalam timbangan Islam yang dijadikan standar kepemimpinan–saya tidak pasti apakah ini hadist atau perkataan sahabat– disebutkan bahwa “tafaqqahu qabla an tusawwadu”, pahamilah ilmu agama sebelum menjadi pemimpin.
Dalam hal ini, seorang pemimpin disyaratkan untuk tafaqquh fiiddiin atau memahami persoalan agama. Artinya bahwa, kita tidak bisa memilih pemimpin dari orang bodoh)tidak punya pengetahuan, atau sama sekali tidak paham ilmu agama. Karena sebagai muslim kita percaya bahwa, kemaslahatan dunia hanya bisa dicapai dengan mewujudkan hal-hal yang dituntut oleh agama.
Tanpa melaksanakan tuntunan agama, manusia tidak akan dapat mewujudkan kebaikan dalam urusan dunianya, termasuk urusan pemerintahan, dimana hal tersebut terkait dengan kemaslahatan dan hajat hidup orang banyak.
Memilih pemimpin yang jahil terhadap agama berarti menjauhkan diri dari kebaikan dan kemaslahatan hidup. Karena jalan untuk mencapai kebaikan, kemaslahatan dan keseimbangan hidup memerlukan sebuah aturan moral dan hukum, sebuah standar nilai, sebuah tuntunan, tolak ukur dan rujukan yang semuanya ada di dalam ajaran agama Islam.
Sebagai muslim yang menganggap bahwa Islam sebagai sumber kebaikan dan model ideal, tentu tak terbantahkan bahwa memerintah perlu tuntunan agama. Untuk dapat menjalankan tuntunan agama, musti dijalankan oleh orang yang paham agama. Tanpa ilmu yang cukup, capaian dan tujuan yang dituntut tidak akan terwujud. Hanya saja, untuk mewujudkan kepemimpinan seperti ini di zaman sekarang, bisa dikatakan sesuatu yang utopis, meski tidak mustahil.
***
Dari dua tipe kepemimpinan ideal di atas, sama-sama mengedepankan ilmu sebagai sebuah syarat yang harus dimiliki seorang pemimpin. Bedanya, kepemimpinan versi Plato hanya mengedepankan akal, sementara dalam Islam, membutuhkan rujukan ajaran agama untuk dijadikan standar moral karena akal yang dapat digunakan untuk menemukan kebenaran, tidak bisa mengenal standar baik-buruk (yang disepakati) secara universal, untuk itu perlu suatu acuan. Standar nilai untuk menentukan apa yang baik dan buruk adalah ajaran agama, yang bersumber dari Wahyu.
Perihal siapa yang bisa jadi pemimpin bukan seperti perlombaan cerdas cermat atau olimpiade matematika, siapa yang paling cerdas dan nilai pelajarannya paling baik, dia yang jadi pemimpin.
Di era sebelum kita mengenal demokrasi dan proses elektoral melalui pemilihan–bahkan setelah kita menerapkan demokrasi–yang jadi pemimpin atau berkuasa terhadap sekelompok orang atau suatu wilayah, adalah siapa yang paling kuat. Siapa yang punya power, dialah yang berkuasa. Terlepas dari jenis kekuatannya; bisa berupa kekuatan fisik dan militer (coercive power), bisa berupa pengaruh yang membuat mayoritas masyarakat terpukau, tunduk dan patuh, juga bisa berupa kekuatan non-fisik lainnya yang membuat mayoritas masyarakat memberikan legitimasi kepada seseorang tersebut untuk berkuasa.
Tanpa kekuatan yang bisa diartikulasikan atau digerakkan, seseorang tidak bisa meraih kekuasaan dan menjadi pemimpin. Ribuan tahun dunia dikuasai dan dipimpin oleh mereka yang menang dalam peperangan dan menaklukkan banyak negeri. Sementara bagi mereka yang punya pengaruh, dapat meraih kekuasaan dengan memainkan pengaruhnya sebagai kekuatan non-fisik untuk berkuasa; semisal menggerakkan revolusi atau membuat mayoritas rakyat memilihnya dalam pemilihan.
Dalam realitas, kekuatan bisa saja dimiliki oleh orang bijaksana, namun seringkali orang kuat bukan seorang yang bijaksana. Dengan realitas yang demikian, kita tentu tidak bisa hanya berpegang pada konsep utopis. Tapi yang bisa kita lakukan adalah bagaimana mewujudkan keadaan terbaik dalam kondisi yang jauh dari kata ideal. Karena pada faktanya, kenyataan dunia seringkali berbeda jauh dengan bayangan ideal di benak manusia.
Contoh bagaimana mewujudkan kebaikan dalam kondisi yang tidak ideal–dalam hal ini ketika kita tidak bisa dipimpin oleh tipe pemimpin filsufnya Plato atau pemimpin berilmu yang paham agama–pernah terjadi dalam suatu fase di dunia Islam.
Ketika peradaban Islam dulunya dipimpin oleh Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah yang merupakan orang Arab, berperadaban, maju, cerdas, akhirnya di suatu masa kekuasaan di dunia Islam dipegang oleh bangsa Turki. Bangsa Turki adalah sebuah bangsa yang dulunya hidup nomaden. Mereka hidup berpindah-pindah dan berpetualang. Mereka punya ciri khas sebagai bangsa petarung yang kuat. Mereka masuk Islam belakangan dibanding orang Persia yang lebih dulu memeluk Islam dan akrab dengan peradaban dan ilmu pengetahuan.
Karena mereka kuat dan memenangkan peperangan, bangsa Turki yang baru memeluk Islam ini berhasil mendirikan pemerintahan yang kita kenal dengan dinasti Seljuk, yang wilayahnya menguasai sebagian besar dunia Islam. Mereka berkuasa atas orang-orang Arab dan Persia yang lebih beradab dan lebih berpengetahuan. Namun di bawah pemerintahan dinasti Seljuk, kemaslahatan rakyat dapat terwujud berkat adanya peran cendikia dan ulama (orang bijak dan berilmu) bersama dengan penguasa.
Dimasa pemerintahan Alp Arslan dan kemudian dilanjutkan oleh Malik Syah di Kesultanan Seljuk, seorang Persia bernama Nizamul Muluk menjadi perdana menteri. Pemerintahan Seljuk berjalan dengan baik berkat kecakapannya dalam menjalankan fungsi dan tugas pemerintahan; mengatur roda perekonomian dan perdagangan, membangun infrastruktur publik dan membangun pusat-pusat pendidikan.
Nizamul Muluk adalah seorang cendikia yang sangat mencintai ilmu dan ulama. Ia mendukung penuh ulama terbaik pada masa itu, Imam Al Ghazali dalam ranah pendidikan, mengembangkan madrasah-madrasah sebagai pusat pendidikan, yang paling terkenal adalah Madrasah Nizamiyah di Nishapur, di tempat Imam Al Ghazali mengajar.
Diera tersebut, terjadi perpaduan yang apik antara pemimpin yang mempercayakan kepiawaian cendikia dalam membantu jalannya roda pemerintahan dan dukungan terhadap ulama dalam menjalankan peran di ranah pendidikan dan perbaikan masyarakat. Adanya pemimpin, cendikia dan ulama yang mampu bersinergi dalam menjalankan peran di masa itu, adalah bentuk paling ideal yang bisa dicontoh dalam sebuah tatanan kenegaraan/masyarakat.
***
Berkaca dengan kondisi kita hari ini di era demokrasi liberal, dimana kontestasi elektoral dalam upaya menggapai tampuk kekuasaan membutuhkan cost atau biaya yang besar serta kekuatan politik yang masif, yang mungkin tidak dimiliki oleh seorang yang bijak atau oleh orang berilmu, yang bisa dilakukan adalah menciptakan kolaborasi dan kerjasama antara pemimpin, cendikia dan ulama untuk dapat mencapai tujuan-tujuan yang mendekati nilai ideal.
Kenyataan dunia mungkin tak seindah idealitas imajiner kita yang utopis. Namun selalu ada cara untuk memperbaiki kondisi tersebut.
Komentar
Posting Komentar