Suatu malam di tahun 2008, ketika saya masih tinggal di Kuala Lumpur, saya dan beberapa orang teman waktu itu menyewa mobil dari salah satu penyewa mobil yang merupakan mahasiswa asal Iran. Sepertinya ia berasal dari keluarga berkecukupan. Ia kuliah sambil berbisnis rental mobil yang dikhususkan bagi para mahasiswa.
Saat itu mobil yang kami sewa mogok, kami terpaksa menelepon pemilik mobil sewa tersebut yang langsung menghampiri kami dan menjemput dengan mobil lain. Mobil yang mogok ditinggalkan di lokasi. Kami pulang dengan mobil jemputan milik si penyewa. Dalam perjalanan pulang kami bercerita dan membahas banyak hal.
Pemilik bisnis mobil rental yang merupakan mahasiswa asal Iran itu, sebut saja namanya Reza, bertanya kepada saya yang ia ketahui berasal dari Indonesia. "Di Jakarta, mobil mewah seperti Ferrari, Porsche atau Lamborghini tidak sebanyak di Kuala Lumpur ya?" Saya menjawab, "Mungkin karena Jakarta terlalu luas dan jumlah kendaraan terlalu banyak, jadi mungkin agak jarang kelihatan."
Saya balik bertanya, "di Iran banyak para Ayatullah dan para Mullah, bagaimana tanggapanmu terhadap mereka?"
Ia menampakkan mimik yang kurang menyenangkan mendengar saya menanyakan tentang para pemuka agama di negeri Persia itu.
“Kami orang-orang yang open-minded, kami minum alkohol, kami tidak shalat," jawabnya. Ia juga menceritakan bahwa ia tidak suka dengan para Mullah yang mengatur moralitas dan membatasi kebebasan warga. Mungkin karena alasan itu, di Republik Islam Iran, sebagian warganya yang berpikiran liberal, kelas menengah atas, memilih untuk bermigrasi ke luar negeri dan tidak nyaman tinggal di negara yang menerapkan hukum Islam.
Perlu diketahui bahwa, sebelum revolusi Islam,warga Teheran khususnya Teheran Utara yang merupakan kawasan elit menengah ke atas, di era monarki Syah Reza Fahlevi, mereka hidup mewah dan terpapar oleh gaya hidup modern dan berpikiran bebas. Tentu mereka tak senang dikekang oleh aturan syariat yang dijadikan hukum positif pasca revolusi.
Yang menjadi tanda tanya bagi saya, mengapa seorang muslim menganggap bahwa berpikiran terbuka (open-minded) dimaknai dengan mengonsumsi alkohol dan tidak menjalankan perintah shalat? Bagi saya, tradisi keilmuan Islam adalah tradisi yang terbuka, berlandaskan pemikiran rasional, meski Islam mengatur pemeluknya dengan aturan syariat. Jika tanpa aturan dan larangan, apakah agama layak disebut agama? Bahkan semua agama memiliki perintah, aturan, anjuran dan larangan.
Agama bagi saya adalah sumber etis yang dengan aturan dan larangan, manusia bisa hidup harmoni, damai dan teratur sebagai individu dan sebagai sebuah tatanan masyarakat — meski memang ketaatan terhadap agama lebih baik lahir dari kesadaran pemeluknya ketimbang dipaksakan. Agama di sisi lain juga memberi tujuan dan makna hidup serta menjadi sumber jalan mencapai kebahagiaan.
Modernitas juga bukan berarti meninggalkan agama dan segala aturannya, modernitas bisa berjalan sesuai dengan ajaran agama, latar belakang kultural dan tradisi tiap-tiap tatanan masyarakat.
Sekarang banyak dibicarakan tentang teori keragaman modernitas (multiple modernities) yang secara fakta menunjukkan bahwa sejumlah peradaban dan kebudayaan non-Barat berhasil berkembang dan maju sebagai masyarakat modern dengan nilai, pola dan bentuknya yang beragam, sesuai dengan nilai dan kepercayaan ataupun tradisi lama yang ada dalam peradaban dan kebudayaan tersebut.
Komentar
Posting Komentar