Foto: unsplash |
Di tengah dunia yang makin modern dan maju, banyak yang merasa bahwa kebaikan semakin langka. Manusia menjadi begitu rakus dan serakah. Kehidupan kita makin mengarah pada orientasi materi semata. Mungkin nilai-nilai moral dan budi pekerti menjadi semakin langka.
Dunia hari ini yang dilatarbelakangi pemikiran bercorak kapitalisme memang melihat keuntungan materi atau profit sebagai suatu tujuan yang niscaya. Hal ini seringkali mengikis rasa kemanusiaan kita yang paling asasi.
Manusia sejatinya identik dengan nilai, moral, keluhuran budi pekerti, semangat kebersamaan serta gotong-royong. Sementara dalam upaya meraih keuntungan, manusia seringkali menghalalkan segala cara. Kerakusan dan ketamakan menjadi sifat yang bukan saja dituruti, malah dianggap wajar.
Kerakusan dan ketamakan yang mewabah itu mungkin bisa kita lihat dari perilaku sekelompok kecil orang-orang yang menguasai struktur politik dan ekonomi masyarakat, mereka disebut elit.
Perilaku elit di dalam politik dan birokrasi dapat kita lihat dari mewabahnya korupsi. Sementara elit yang menguasai sumberdaya ekonomi dan punya akumulasi kapital (modal) yang besar, bersekongkol dengan elit politik dan birokrat untuk menguasai sumberdaya alam seperti tambang, konsesi hutan dan yang lainnya melalui kebijakan yang menguntungkan kepentingan mereka, agar mereka makin tambah kaya dan berkuasa.
Banyak sekali contoh perbuatan dan perilaku buruk yang hari ini semakin marak, namun bukan berarti kebaikan telah mati. Kita masih bisa menemukannya di sekitar kita.
***
Saya ingin sedikit bercerita tentang kebaikan yang kerap kita temui saban hari. Beberapa kali motor saya pernah mati kehabisan bensin di jalan. Saya mendorong motor dengan tujuan mencari kios yang menjual bensin eceran. Hanya berselang beberapa menit, saya didatangi pengemudi motor lain yang menawarkan mendorong motor saya dengan kaki menuju kios penjual bensin eceran terdekat. Saya selalu mengucapkan terima kasih dan pengemudi motor yang membantu saya kerap membalas dengan senyuman ramah.
Saya juga sesekali kehabisan uang receh untuk membayar parkir motor. Saya meminta maaf kepada tukang parkir dan meminta izin untuk pergi tanpa membayar. Kebanyakan tukang parkir yang saya temui memaklumi untuk tidak dibayar. Mereka tetap tersenyum manis meski pengendara tak punya uang receh, tanpa terlihat kesan marah atau jengkel.
Di beberapa warung kopi tradisional yang pernah saya singgahi, saya seringkali melihat pelayan memaklumi bayaran pelanggan yang kurang seribu atau dua ribu rupiah dari jumlah bill pesanan.
Di pasar tradisional, tawar-menawar harga menjadi hal yang biasa. Sang penjual dengan tanpa keberatan, mengiyakan barang dagangannya dibayar lebih murah. Bagi mereka, tak ada salahnya mengurangi harga asal barang dagangannya tetap laku.
Dari pengalaman sehari-hari, saya melihat kebaikan masih ada di sekitar kita, khususnya di tengah-tengah masyarakat kebanyakan.
Perilaku masyarakat kebanyakan sama sekali tak mencerminkan keburukan itu. Masyarakat kita masih senang untuk saling membantu. Ikatan dan solidaritas sosial masih terkesan kuat. Kebaikan masih ada dimana-mana.
Masyarakat kecil seringkali hidup dengan motif dan tujuan-tujuan yang sesederhana. Mereka punya empati dan paham kesusahan orang lain, karena sesekali mereka mengalami kesusahan juga. Jadi wajar jika yang paling memaklumi kekurangan orang lain dan paling mudah untuk berbuat baik kepada sesama adalah masyarakat kecil.
Di saat zaman menghendaki kehidupan yang individualis dan mementingkan diri sendiri, upaya kita untuk melawannya adalah dengan berbuat baik dengan siapapun di sekitar kita. Kebaikan itu akan memancing kebaikan lain. Kita akan menuai kebaikan yang kita petik. Pada akhirnya, kebaikan itu akan selalu saja ada di sekitar kita.
Komentar
Posting Komentar