Langsung ke konten utama

Nasib Korea dan Sirkulasi Elit dalam Politik Indonesia

Korea, istilah bagi para perintis yang memulai karir dari bawah, harus berhadapan dengan anak-anak pembesar untuk berebut tempat dalam sirkulasi elit di kancah politik Indonesia Ja gat media sosial sempat dihebohkan dengan istilah “Korea” yang dipopulerkan oleh politisi senior PDI-P, Bambang Pacul. Korea bisa diartikan sebagai sosok yang memulai dan merintis karir politik dari bawah hingga sukses menjadi tokoh politik yang diperhitungkan. Bambang Pacul melahirkan istilah Korea bercermin dari kisah hidupnya sendiri. Ia sebagai “ wong cilik ” memulai karir politik dari level paling bawah. Dulu hidupnya susah, sering tak punya uang. Saya dulu mendengar bahwa Bambang Pacul tiap pagi naik kereta ke kantor PDI-P. Disana ia baca semua koran dan majalah. Lalu dia membuat semacam laporan atau resume dan analisis tentang perkembangan politik aktual. Megawati, Ketua PDI-P, yang tak sempat membaca semua berita politik di media massa, merasa senang disuguhkan dengan rangkuman yang ditulis Bambang. ...

Kebaikan di Sekitar Kita


Foto: unsplash

Di tengah dunia yang makin modern dan maju, banyak yang merasa bahwa kebaikan semakin langka. Manusia menjadi begitu rakus dan serakah. Kehidupan kita makin mengarah pada orientasi materi semata. Mungkin nilai-nilai moral dan budi pekerti menjadi semakin langka.

Dunia hari ini yang dilatarbelakangi pemikiran bercorak kapitalisme memang melihat keuntungan materi atau profit sebagai suatu tujuan yang niscaya. Hal ini seringkali mengikis rasa kemanusiaan kita yang paling asasi.

Manusia sejatinya identik dengan nilai, moral, keluhuran budi pekerti, semangat kebersamaan serta gotong-royong. Sementara dalam upaya meraih keuntungan, manusia seringkali menghalalkan segala cara. Kerakusan dan ketamakan menjadi sifat yang bukan saja dituruti, malah dianggap wajar.

Kerakusan dan ketamakan yang mewabah itu mungkin bisa kita lihat dari perilaku sekelompok kecil orang-orang yang menguasai struktur politik dan ekonomi masyarakat, mereka disebut elit.

Perilaku elit di dalam politik dan birokrasi dapat kita lihat dari mewabahnya korupsi. Sementara elit yang menguasai sumberdaya ekonomi dan punya akumulasi kapital (modal) yang besar, bersekongkol dengan elit politik dan birokrat untuk menguasai sumberdaya alam seperti tambang, konsesi hutan dan yang lainnya melalui kebijakan yang menguntungkan kepentingan mereka, agar mereka makin tambah kaya dan berkuasa.

Banyak sekali contoh perbuatan dan perilaku buruk yang hari ini semakin marak, namun bukan berarti kebaikan telah mati. Kita masih bisa menemukannya di sekitar kita.

***

Saya ingin sedikit bercerita tentang kebaikan yang kerap kita temui saban hari. Beberapa kali motor saya pernah mati kehabisan bensin di jalan. Saya mendorong motor dengan tujuan mencari kios yang menjual bensin eceran. Hanya berselang beberapa menit, saya didatangi pengemudi motor lain yang menawarkan mendorong motor saya dengan kaki menuju kios penjual bensin eceran terdekat. Saya selalu mengucapkan terima kasih dan pengemudi motor yang membantu saya kerap membalas dengan senyuman ramah.

Saya juga sesekali kehabisan uang receh untuk membayar parkir motor. Saya meminta maaf kepada tukang parkir dan meminta izin untuk pergi tanpa membayar. Kebanyakan tukang parkir yang saya temui memaklumi untuk tidak dibayar. Mereka tetap tersenyum manis meski pengendara tak punya uang receh, tanpa terlihat kesan marah atau jengkel.

Di beberapa warung kopi tradisional yang pernah saya singgahi, saya seringkali melihat pelayan memaklumi bayaran pelanggan yang kurang seribu atau dua ribu rupiah dari jumlah bill pesanan.

Di pasar tradisional, tawar-menawar harga menjadi hal yang biasa. Sang penjual dengan tanpa keberatan, mengiyakan barang dagangannya dibayar lebih murah. Bagi mereka, tak ada salahnya mengurangi harga asal barang dagangannya tetap laku.

Dari pengalaman sehari-hari, saya melihat kebaikan masih ada di sekitar kita, khususnya di tengah-tengah masyarakat kebanyakan.

Perilaku masyarakat kebanyakan sama sekali tak mencerminkan keburukan itu. Masyarakat kita masih senang untuk saling membantu. Ikatan dan solidaritas sosial masih terkesan kuat. Kebaikan masih ada dimana-mana.

Masyarakat kecil seringkali hidup dengan motif dan tujuan-tujuan yang sesederhana. Mereka punya empati dan paham kesusahan orang lain, karena sesekali mereka mengalami kesusahan juga. Jadi wajar jika yang paling memaklumi kekurangan orang lain dan paling mudah untuk berbuat baik kepada sesama adalah masyarakat kecil. 

Di saat zaman menghendaki kehidupan yang individualis dan mementingkan diri sendiri, upaya kita untuk melawannya adalah dengan berbuat baik dengan siapapun di sekitar kita. Kebaikan itu akan memancing kebaikan lain. Kita akan menuai kebaikan yang kita petik. Pada akhirnya, kebaikan itu akan selalu saja ada di sekitar kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Posisi Perempuan dalam Kasus Komersialisasi Asmara dan Industri Asusila di Banda Aceh

  Ilmuwan sosial dan akademisi kenamaan Aceh, Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad (KBA), dalam tulisan di laman pribadinya mengangkat tentang kasus “industri asusila” (prostitusi terselubung yang sedang marak) di Banda Aceh. Ia coba menyibak fenomena tersebut sebagai sebuah masalah atau patologi sosial di masyarakat kita sebagai sebuah hal yang meresahkan. Namun ada yang luput dari amatan KBA, bahwa perempuan-perempuan itu bukan semata subjek yang memilih dengan kesadaran penuh untuk menjadi pelaku asusila. Perempuan-perempuan tersebut juga bisa kita lihat sebagai korban dari konstruksi sosial-budaya yang dibentuk oleh pergeseran budaya massa di kalangan generasi muda, yang berakar pada kapitalisme dan budaya konsumerisme. Lewat tulisan ini saya coba mengangkat sebuah fenomena relasi paling natural antara laki-laki dan perempuan yang biasanya terikat dalam hubungan asmara, namun kini muncul varian hubungan asmara baru yang bertransformasi menjadi hubungan yang cenderung artifisial, direkat...

Mengapa Negeri Syariat tidak Bersyariat? Menjelaskan Anomali Sosial di Aceh

Aceh sebagai daerah yang berlaku syariat Islam namun marak muncul kasus yang mencoreng citra syariat. Tulisan berikut mencoba menganalisis persoalan kompleks ini, salah satunya adalah makin berjaraknya Islam dan syariat dari alam pikiran dan kesadaran generasi muda Aceh.  Tulisan ini merupakan tanggapan dari tulisan Putri Balqis Vilza berjudul Anomali Sosial dalam Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh yang ditulis di laman website kba13.com milik Prof. Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad. Putri coba mengangkat keresahannya mengenai maraknya angka bunuh diri pada mahasiswa, operasi tangkap tangan pasangan non muhrim, menjamurnya industri asusila, terjaringnya pasangan penyuka sesama jenis (Liwath/Musahaqah), sampai mewabahnya tindak kekerasan hingga pembunuhan yang terjadi di Aceh, padahal di Aceh berlaku Syariat Islam. Kamarruzzaman Bustamam Ahmad dalam salah satu artikelnya menyimpulkan bahwa kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya: Lingkungan pertem...

Orang Aceh di Malaysia, Ibarat Imigran Asal Sicilia di New York

Kehidupan modern punya kecenderungan merenggangkan tatanan keluarga. Nilai, norma, dan sistem tatanan moral pertama kali dibentuk dalam tatanan sistem keluarga. Rusaknya tatanan keluarga adalah awal dari hancurnya sebuah bangsa.  Warga keturunan asal Sisilia, wilayah di Selatan Italia yang banyak berhijrah ke Amerika Serikat, di antaranya kota New York, mereka turut membawa sistem tatanan keluarga, sosial, dan kebudayaan di kampung asal mereka ke tempat mereka hijrah.  Dalam menghadapi kehidupan modern, mereka bertahan dengan tradisi. Tradisi bagi warga Sisilia adalah ruh yang harus dipertahankan. Mereka menjaga sistem kekerabatan, sistem keyakinan dari agama kristen katolik yang juga sangat mempengaruhi tradisi mereka. Tiap warga Sisilia yang lahir dan dibaptis, mereka punya bapak baptis. Biasanya adalah tokoh dari keluarga feodal berpengaruh yang menjadi bapak baptis bagi anak-anak mereka.  Tradisi yang merekatkan sistem kekerabatan dan sosial juga menjadi k...