Ketahanan Keluarga berpesan besar dalam menciptakan ketahanan sosial ekonomi suatu bangsa. Kerentanan keluarga, dapat menjadi akar bagi kerentanan sosial dan menciptakan masalah lain.
Di suatu pagi, saya menikmati segelas kopi sambil membaca berita di gawai saya. Saya tertarik dengan salah satu judul berita Kompas.id yang mengungkap fakta merosotnya angka perkawinan di Indonesia beberapa tahun terakhir hingga 30 persen, sementara angka perceraian meningkat hingga 9 persen.
Perkawinan kerap dilihat sebagai sesuatu yang sifatnya privat, urusan pribadi tiap individu, namun ternyata perkawinan memberi dampak yang besar bagi kelangsungan negara dalam hal ketahanan sosio-ekonomi, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan terkait dengan tumbuh dan berkembangnya ekonomi negara.
Selain perihal ketahanan sosial dan ekonomi suatu negara yang dibahas di artikel Kompas.id tersebut, saya berpikir panjang bahwa kerentanan keluarga hari ini dan berbagai masalah yang berakar dari institusi sosial terkecil ini bisa melahirkan efek multi dimensi yang begitu besar jika ditelusuri. Pada tulisan kali ini, saya hanya mengulas masalah ketahanan sosial dan ekonomi suatu negara yang dihadapi dari masalah yang bermula dari keluarga. Saya akan coba bahas perihal lain mengenai keluarga dalam tulisan selanjutnya.
Keluarga dan Ekonomi Negara
Salah satu kekhawatiran merosotnya angka perkawinan di Indonesia adalah soal keseimbangan populasi. Angka perkawinan yang rendah dapat menyebabkan rendahnya tingkat kelahiran. Akumulasi dari rendahnya angka kelahiran di suatu periode akan menyebabkan lonjakan populasi penduduk usia tua atau lansia yang tidak produktif.
Lonjakan penduduk lansia yang tidak produktif memberi beban bagi keuangan negara. Hal itu juga menurunkan jumlah populasi penduduk usia produktif yang notabene adalah angkatan kerja.
Penduduk dalam kategori usia produktif dan angkatan kerja aktif adalah aset bagi pertumbuhan ekonomi. Selain bekerja dan produktif menghasilkan pendapatan, mereka juga menyumbang bagi kelangsungan ekonomi negara melalui kemampuan daya beli.
Dengan merosotnya angka perkawinan — seperti yang telah dialami Jepang dan Perancis — jumlah penduduk usia produktif berkurang, berpotensi mengurangi produktifitas angkatan kerja dalam negeri yang jadi tulang punggung ekonomi negara. Beban anggaran pemerintah untuk populasi lanjut usia juga bertambah.
Masalah Perkawinan dan Perceraian
Banyak alasan dibalik merosotnya angka perkawinan di Indonesia (maupun di negara lain). Saat satunya adalah pilihan generasi muda untuk lebih mengutamakan mengejar karir dan pendidikan lebih tinggi. Aspek ekonomi dan kesejahteraan turut berkontribusi dalam menurunkan angka pernikahan.
Dengan tingkat kemapanan ekonomi yang kurang dan pendapatan yang terbatas, membuat generasi muda mengurungkan niatnya untuk menikah.
Di saat kondisi ekonomi negara memburuk, angka perkawinan merosot, justru angka perceraian meningkat. Berdasarkan riset, tingginya angka perceraian banyak disebabkan oleh faktor ekonomi; kurangnya pendapatan, biaya hidup tinggi, utang dan abainya kepala keluarga terhadap nafkah yang jadi tanggungan.
Berdasarkan riset yang disebutkan Kompas, perceraian berpotensi melahirkan kemiskinan baru. Yang paling berpotensi mengalami imbas dari perceraian adalah perempuan dan anak.
Seringkali ayah abai untuk memenuhi nafkah anak setelah bercerai, meski masih jadi tanggungannya. Akibatnya perempuan dan anak, selain terjebak dalam kemiskinan, juga rentan secara sosial dan psikologis.
Sumber daya manusia yang mumpuni; baik dalam kecerdasan intelektual, ketahanan sosial dan psikologis, sangat membutuhkan keberadaan keluarga sebagai institusi terkecil yang menjadi sandaran ekonomi dan tempat merawat perkembangan dan ketahanan psikologis.
Tanpa keluarga, masyarakat kita menjadi masyarakat yang rentan terhadap berbagai tantangan dan rapuh. Upaya dalam menciptakan sumber daya manusia berkualitas juga akan sulit dicapai tanpa support institusi keluarga yang kuat.
Peran Negara
Negara sepertinya perlu mengambil peran untuk menguatkan institusi keluarga di masyarakat. Negara juga perlu menyelesaikan berbagai persoalan ekonomi yang menjadi sebab generasi muda memilih tidak menikah, atau yang menikah memilih bercerai.
Beberapa program layanan sosial seperti pendidikan dan kesehatan gratis adalah bagian dari upaya meringankan beban pengeluaran tiap keluarga. Salah satu program pemerintah membangun tiga juta rumah bagi warga miskin juga bisa berimbas bagi berkurangnya beban pengeluaran masyarakat, khususnya keluarga muda yang notabene belum mapan.
Selain melalui pendekatan anggaran, pemerintah bisa bekerjasama dengan institusi keagamaan, insitusi pendidikan, pemuka agama, psikolog, dan tokoh masyarakat untuk mengkampanyekan “keluarga sederhana dan bahagia” melalui pendekatan pola hidup, manajemen keuangan, serta penyadaran kepada masyarakat bahwa keluarga adalah sumber kebahagiaan, tempat bersandar, tempat berlindung dan support system terbaik dalam kehidupan.
Komentar
Posting Komentar