Langsung ke konten utama

Nasib Korea dan Sirkulasi Elit dalam Politik Indonesia

Korea, istilah bagi para perintis yang memulai karir dari bawah, harus berhadapan dengan anak-anak pembesar untuk berebut tempat dalam sirkulasi elit di kancah politik Indonesia Ja gat media sosial sempat dihebohkan dengan istilah “Korea” yang dipopulerkan oleh politisi senior PDI-P, Bambang Pacul. Korea bisa diartikan sebagai sosok yang memulai dan merintis karir politik dari bawah hingga sukses menjadi tokoh politik yang diperhitungkan. Bambang Pacul melahirkan istilah Korea bercermin dari kisah hidupnya sendiri. Ia sebagai “ wong cilik ” memulai karir politik dari level paling bawah. Dulu hidupnya susah, sering tak punya uang. Saya dulu mendengar bahwa Bambang Pacul tiap pagi naik kereta ke kantor PDI-P. Disana ia baca semua koran dan majalah. Lalu dia membuat semacam laporan atau resume dan analisis tentang perkembangan politik aktual. Megawati, Ketua PDI-P, yang tak sempat membaca semua berita politik di media massa, merasa senang disuguhkan dengan rangkuman yang ditulis Bambang. ...

Kerentanan Keluarga, Sumber Masalah Multi Dimensi: Ekonomi dan Negara


Ketahanan Keluarga berpesan besar dalam menciptakan ketahanan sosial ekonomi suatu bangsa. Kerentanan keluarga, dapat menjadi akar bagi kerentanan sosial dan menciptakan masalah lain.

Di suatu pagi, saya menikmati segelas kopi sambil membaca berita di gawai saya. Saya tertarik dengan salah satu judul berita Kompas.id yang mengungkap fakta merosotnya angka perkawinan di Indonesia beberapa tahun terakhir hingga 30 persen, sementara angka perceraian meningkat hingga 9 persen.

Perkawinan kerap dilihat sebagai sesuatu yang sifatnya privat, urusan pribadi tiap individu, namun ternyata perkawinan memberi dampak yang besar bagi kelangsungan negara dalam hal ketahanan sosio-ekonomi, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan terkait dengan tumbuh dan berkembangnya ekonomi negara.

Selain perihal ketahanan sosial dan ekonomi suatu negara yang dibahas di artikel Kompas.id tersebut, saya berpikir panjang bahwa kerentanan keluarga hari ini dan berbagai masalah yang berakar dari institusi sosial terkecil ini bisa melahirkan efek multi dimensi yang begitu besar jika ditelusuri. Pada tulisan kali ini, saya hanya mengulas masalah ketahanan sosial dan ekonomi suatu negara yang dihadapi dari masalah yang bermula dari keluarga. Saya akan coba bahas perihal lain mengenai keluarga dalam tulisan selanjutnya.

Keluarga dan Ekonomi Negara

Salah satu kekhawatiran merosotnya angka perkawinan di Indonesia adalah soal keseimbangan populasi. Angka perkawinan yang rendah dapat menyebabkan rendahnya tingkat kelahiran. Akumulasi dari rendahnya angka kelahiran di suatu periode akan menyebabkan lonjakan populasi penduduk usia tua atau lansia yang tidak produktif.

Lonjakan penduduk lansia yang tidak produktif memberi beban bagi keuangan negara. Hal itu juga menurunkan jumlah populasi penduduk usia produktif yang notabene adalah angkatan kerja.

Penduduk dalam kategori usia produktif dan angkatan kerja aktif adalah aset bagi pertumbuhan ekonomi. Selain bekerja dan produktif menghasilkan pendapatan, mereka juga menyumbang bagi kelangsungan ekonomi negara melalui kemampuan daya beli.

Dengan merosotnya angka perkawinan — seperti yang telah dialami Jepang dan Perancis — jumlah penduduk usia produktif berkurang, berpotensi mengurangi produktifitas angkatan kerja dalam negeri yang jadi tulang punggung ekonomi negara. Beban anggaran pemerintah untuk populasi lanjut usia juga bertambah.

Masalah Perkawinan dan Perceraian 

Banyak alasan dibalik merosotnya angka perkawinan di Indonesia (maupun di negara lain). Saat satunya adalah pilihan generasi muda untuk lebih mengutamakan mengejar karir dan pendidikan lebih tinggi. Aspek ekonomi dan kesejahteraan turut berkontribusi dalam menurunkan angka pernikahan.

Dengan tingkat kemapanan ekonomi yang kurang dan pendapatan yang terbatas, membuat generasi muda mengurungkan niatnya untuk menikah.

Di saat kondisi ekonomi negara memburuk, angka perkawinan merosot, justru angka perceraian meningkat. Berdasarkan riset, tingginya angka perceraian banyak disebabkan oleh faktor ekonomi; kurangnya pendapatan, biaya hidup tinggi, utang dan abainya kepala keluarga terhadap nafkah yang jadi tanggungan.

Berdasarkan riset yang disebutkan Kompas, perceraian berpotensi melahirkan kemiskinan baru. Yang paling berpotensi mengalami imbas dari perceraian adalah perempuan dan anak.

Seringkali ayah abai untuk memenuhi nafkah anak setelah bercerai, meski masih jadi tanggungannya. Akibatnya perempuan dan anak, selain terjebak dalam kemiskinan, juga rentan secara sosial dan psikologis.

Sumber daya manusia yang mumpuni; baik dalam kecerdasan intelektual, ketahanan sosial dan psikologis, sangat membutuhkan keberadaan keluarga sebagai institusi terkecil yang menjadi sandaran ekonomi dan tempat merawat perkembangan dan ketahanan psikologis.

Tanpa keluarga, masyarakat kita menjadi masyarakat yang rentan terhadap berbagai tantangan dan rapuh. Upaya dalam menciptakan sumber daya manusia berkualitas juga akan sulit dicapai tanpa support institusi keluarga yang kuat.

Peran Negara

Negara sepertinya perlu mengambil peran untuk menguatkan institusi keluarga di masyarakat. Negara juga perlu menyelesaikan berbagai persoalan ekonomi yang menjadi sebab generasi muda memilih tidak menikah, atau yang menikah memilih bercerai.

Beberapa program layanan sosial seperti pendidikan dan kesehatan gratis adalah bagian dari upaya meringankan beban pengeluaran tiap keluarga. Salah satu program pemerintah membangun tiga juta rumah bagi warga miskin juga bisa berimbas bagi berkurangnya beban pengeluaran masyarakat, khususnya keluarga muda yang notabene belum mapan.

Selain melalui pendekatan anggaran, pemerintah bisa bekerjasama dengan institusi keagamaan, insitusi pendidikan, pemuka agama, psikolog, dan tokoh masyarakat untuk mengkampanyekan “keluarga sederhana dan bahagia” melalui pendekatan pola hidup, manajemen keuangan, serta penyadaran kepada masyarakat bahwa keluarga adalah sumber kebahagiaan, tempat bersandar, tempat berlindung dan support system terbaik dalam kehidupan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Posisi Perempuan dalam Kasus Komersialisasi Asmara dan Industri Asusila di Banda Aceh

  Ilmuwan sosial dan akademisi kenamaan Aceh, Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad (KBA), dalam tulisan di laman pribadinya mengangkat tentang kasus “industri asusila” (prostitusi terselubung yang sedang marak) di Banda Aceh. Ia coba menyibak fenomena tersebut sebagai sebuah masalah atau patologi sosial di masyarakat kita sebagai sebuah hal yang meresahkan. Namun ada yang luput dari amatan KBA, bahwa perempuan-perempuan itu bukan semata subjek yang memilih dengan kesadaran penuh untuk menjadi pelaku asusila. Perempuan-perempuan tersebut juga bisa kita lihat sebagai korban dari konstruksi sosial-budaya yang dibentuk oleh pergeseran budaya massa di kalangan generasi muda, yang berakar pada kapitalisme dan budaya konsumerisme. Lewat tulisan ini saya coba mengangkat sebuah fenomena relasi paling natural antara laki-laki dan perempuan yang biasanya terikat dalam hubungan asmara, namun kini muncul varian hubungan asmara baru yang bertransformasi menjadi hubungan yang cenderung artifisial, direkat...

Mengapa Negeri Syariat tidak Bersyariat? Menjelaskan Anomali Sosial di Aceh

Aceh sebagai daerah yang berlaku syariat Islam namun marak muncul kasus yang mencoreng citra syariat. Tulisan berikut mencoba menganalisis persoalan kompleks ini, salah satunya adalah makin berjaraknya Islam dan syariat dari alam pikiran dan kesadaran generasi muda Aceh.  Tulisan ini merupakan tanggapan dari tulisan Putri Balqis Vilza berjudul Anomali Sosial dalam Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh yang ditulis di laman website kba13.com milik Prof. Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad. Putri coba mengangkat keresahannya mengenai maraknya angka bunuh diri pada mahasiswa, operasi tangkap tangan pasangan non muhrim, menjamurnya industri asusila, terjaringnya pasangan penyuka sesama jenis (Liwath/Musahaqah), sampai mewabahnya tindak kekerasan hingga pembunuhan yang terjadi di Aceh, padahal di Aceh berlaku Syariat Islam. Kamarruzzaman Bustamam Ahmad dalam salah satu artikelnya menyimpulkan bahwa kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya: Lingkungan pertem...

Orang Aceh di Malaysia, Ibarat Imigran Asal Sicilia di New York

Kehidupan modern punya kecenderungan merenggangkan tatanan keluarga. Nilai, norma, dan sistem tatanan moral pertama kali dibentuk dalam tatanan sistem keluarga. Rusaknya tatanan keluarga adalah awal dari hancurnya sebuah bangsa.  Warga keturunan asal Sisilia, wilayah di Selatan Italia yang banyak berhijrah ke Amerika Serikat, di antaranya kota New York, mereka turut membawa sistem tatanan keluarga, sosial, dan kebudayaan di kampung asal mereka ke tempat mereka hijrah.  Dalam menghadapi kehidupan modern, mereka bertahan dengan tradisi. Tradisi bagi warga Sisilia adalah ruh yang harus dipertahankan. Mereka menjaga sistem kekerabatan, sistem keyakinan dari agama kristen katolik yang juga sangat mempengaruhi tradisi mereka. Tiap warga Sisilia yang lahir dan dibaptis, mereka punya bapak baptis. Biasanya adalah tokoh dari keluarga feodal berpengaruh yang menjadi bapak baptis bagi anak-anak mereka.  Tradisi yang merekatkan sistem kekerabatan dan sosial juga menjadi k...