Dengan pendapatan rata-rata masyarakat yang terbilang rendah, mahar telah menjadi momok bagi tiap anak muda di Aceh. Banyak yang menunda waktu pernikahan. Dengan kondisi kesejahteraan Aceh yang belum teratasi dengan baik, turut memberikan efek domino dalam kehidupan sosial-budaya di Aceh hari ini. Sebagian terpaksa masuk dalam jejaring bisnis kriminal. Budaya yang makin materialistis telah menyebabkan krisis sosial di Aceh.
Muhammad tampak sedang menyaring kopi dengan sigap. Ia berdiri berjam-jam menyaring kopi, memainkan saringan kopi di tangan kanan dan wadah terbuat dari alumunium di tangan kiri. Muhammad tampak cukup lihai menjalankan kerjanya. Meski bekerja sebagai penyaring kopi di salah satu warung kopi tradisional di kota Banda Aceh, ia selalu tampak berpakaian necis dengan rambutnya yang basah mengkilap dan tersisir rapi.
Usia Muhammad masih terbilang muda. Tahun ini ia akan segera memasuki usianya yang ke 25 tahun. Ia masih seorang lajang. Baginya, perlu menabung selama beberapa tahun agar bisa mengumpulkan uang untuk membeli jeulamee (mahar atau mas kawin) yang harganya kini menjadi mimpi buruk bagi setiap pemuda di Aceh yang hendak menikah.
Adat perkawinan di Aceh biasanya mengharuskan calon mempelai pria untuk menyiapkan sejumlah emas sebagai mahar atau mas kawin. Standar mahar di Aceh berkisar di angka 10, 12 hingga 16 mayam. Ada juga yang meminta mahar dengan jumlah yang lebih rendah. Beberapa keluarga gadis dari keluarga menengah ke atas dan berpendidikan tak jarang meminta mas kawin hingga 20 mayam. Mayam adalah satuan berat emas tradisional yang senilai dengan 3,33 gram emas murni.
Harga emas di Aceh hari ini (Mei 2025) sekitar 5,5 juta rupiah. Jika seorang pemuda hendak melamar gadis idamannya, katakanlah dengan mahar sejumlah 10 mayam, berarti ia harus menyiapkan uang sebesar 55 juta rupiah. Tentu kebutuhan pernikahan bukan hanya mas kawin. Pengantin pria masih perlu menyiapkan sejumlah uang lainnya, minimal untuk resepsi sederhana. Tentu ini jumlah yang tidak sedikit.
Berdasarkan data statistik, lebih dari setengah penduduk Aceh berpendapatan di bawah upah minimum provinsi yang hari ini berada di angka 3,6 juta rupiah. Pada kenyataannya, masih banyak yang hidup dengan gaji hanya berkisar 1,5 sampai 2 juta rupiah per bulan. Jika pendapatan bulanan seorang anak muda berada di angka 3 juta, ia butuh waktu 18-24 bulan mengumpulkan gaji untuk mencukupi biaya mahar, itupun pendapatannya tidak digunakan sama sekali untuk belanja sehari-hari. Jika ia menyisihkan 1 juta rupiah tiap bulan untuk membeli mahar, maka butuh waktu 55 bulan atau 4,6 tahun untuk mengumpulkannya. Jika menabung dari sekarang, Muhammad baru bisa menikah di kisaran usia 30 tahun.
Dengan pendapatan rata-rata masyarakat yang terbilang rendah, mahar telah menjadi “hantu” bagi tiap anak muda di Aceh. Karena mahar telah menjadi momok menakutkan bagi para pemuda, banyak anak muda yang menunda waktu pernikahan, mereka bekerja keras dan menabung. Hal ini pula yang membuat Muhammad, tak buru-buru menikah.
Terkait dengan kondisi kesejahteraan Aceh yang masih belum teratasi dengan baik, turut memberikan efek domino dalam kehidupan sosial-budaya di Aceh hari ini. Selain penundaan pernikahan, migrasi penduduk usia muda juga semakin menjadi tren di Aceh. Banyak anak muda yang dengan keterbatasan jenjang pendidikan dan kemampuan finansial, memilih untuk hijrah ke luar mencari kerja, ke Malaysia, Jakarta dan kota-kota lainnya.
Perpindahan penduduk ini bisa dilihat dalam dua sisi, positif dan negatif. Di sisi positif, di Medan dan Jakarta kini banyak warga Aceh yang membuka warung kopi dan mencoba usaha kuliner seperti Mie Aceh. Sajian kuliner khas Aceh cukup digemari. Usaha mereka bisa dibilang sukses. Sementara sebagian dari warga Aceh lainnya terjebak dalam hal negatif seperti sindikat pengedar narkoba seperti sabu-sabu dan obat terlarang seperti Tramadol. Tentu himpitan ekonomi yang ada di Aceh hari ini menjadi pemicu tindakan kriminal tersebut.
Adat sebagai Prestise
Di Aceh, bagi keluarga yang masih punya ikatan persaudaraan yang kuat, biasanya beban untuk acara pernikahan dibantu oleh saudara-saudara terdekat. Tak jarang, orangtua turut menjual aset penting miliknya agar prosesi pernikahan bisa dijalankan. Di Aceh bukan lelaki saja yang harus menyiapkan biaya untuk menikah. Pihak mempelai wanita yang tak punya kewajiban mengeluarkan mahar, biasanya harus menyiapkan acara resepsi pernikahan di rumah mempelai wanita.
Jika memang menikah saja sudah harus menjual aset milik keluarga yang berharga, lalu bagaimana setelah menikah? Bagaimana dengan menyiapkan modal usaha setelah menikah jika ingin mandiri? Adat seharusnya tidak bikin repot. Tapi atas nama prestise, peutimang adat (mengikuti adat), orangtua rela mengorbankan hartanya yang tak banyak itu, korbannya adalah kehidupan generasi muda di masa depan.
Di satu sisi Aceh terkenal dengan keislamannya, provinsi ini juga menerapkan syariat Islam. Namun adat-istiadat perkawinan yang mahal ini tidak disesuaikan dengan tuntutan pernikahan islami Yan sederhana. Perihal urusan adat tentang pernikahan, sepertinya adat-istiadat yang mahal ini tak lagi relevan, khususnya di tengah kondisi ekonomi Aceh yang tak kunjung membaik. Padahal, Islam mengajarkan bagi perempuan untuk menerapkan mahar yang rendah, sementara apabila calon mempelai laki-laki mampu, dia yang menawarkan mahar yang lebih tinggi.
Dalam tradisi perkawinan, orang Aceh sekarang lebih cenderung ke sisi adat dan budaya ketimbang agama. Mereka menganggap prosesi pernikahan sebagai marwah dan harga diri keluarga di tengah masyarakat. Orang Aceh punya watak selalu ingin tampak mulia. Padahal agama tak menganjurkan pernikahan yang memberatkan.
Pernikahan yang mahal selain telah menjadi adat, juga bagian dari prestise orangtua, generasi baby boomers (rata-rata) yang mempertaruhkan citra dan nama baiknya melalui pernikahan sang anak. Sementara si anak, milenial dan Gen-Z, bukan tak peduli soal tradisi, motivasi hidup mereka lebih didorong oleh kenyamanan hidup dan tak terlalu peduli dengan kesan dan pandangan orang lain.
Milenial dan Gen-Z mungkin berpikir, daripada menghamburkan uang untuk mahar dan acara pernikahan, lebih baik menggunakan uangnya untuk modal usaha. Tentu ini akan membantu mereka sebagai keluarga muda nantinya untuk bisa hidup mandiri. Apalagi mereka harus menyiapkan sejumlah uang apabila nantinya punya anak. Mereka juga harus menyiapkan tabungan untuk suatu hari punya rumah sendiri. Hal tersebut tentu lebih masuk akal.
Dari besaran mahal dan adat-istiadat perihal perkawinan, juga bagiamana prosesi adat-istiadat dalam pesta perkawinan telah menampilkan perubahan dan inovasi modern dan kekinian--telah menunjukkan bagaimana masyarakat Aceh hari ini bisa dikatakan berorientasi materi. Penghormatan dan afirmasi sosial didapatkan dari kekayaan, pendapatan dan hal-hal duniawi lainnya. Karena desakan itu pula banyak anak muda yang menjadi kurir sabu-sabu dan terlibat bisnis Tramadol. Belum lagi gadis belia yang telah banyak terjebak dalam industri asusila. Fenomena sosial yang muncul bisa dijelaskan dalam terminologi singkat bahwa orang Aceh hari ini sudah meudonya--sebuah istilah yang dulunya menjadi aib bagi orang Aceh.
Jika masyarakat kita tidak mengubah cara pandang, budaya dan kebiasaan yang berorientasi materi dengan penghargaan, penghormatan dan afirmasi sosial berdasarkan aspek-aspek berbasis kemuliaan sifat, karakter, perilaku baik, integritas, kontribusi sosial dan hal non-materi lainnya, Aceh tidak akan menjadi masyarakat yang maju. Penghormatan dan pengakuan berbasis materi akan menjadi akar bagi timbulnya penyakit sosial sepert korupsi, industri asusila serta tindak kriminal dan berbagai perbuatan tercela lainnya, demi terihat kaya, hidup mewah dan terpandang di tengah masyarakat.
Tulisan ini telah di muat di: Meuseuraya.id
Komentar
Posting Komentar