Salah satu tren masyarakat modern adalah pada pola konsumsi yang identik dengan budaya konsumerisme. Kita tertarik dengan barang bermerek.
Sebagai manusia yang hidup di era modern, saya tak menafikan bahwa saya tergoda oleh produk-produk fesyen dari merek tertentu. Jenama tertentu di satu sisi menjamin kualitas produk yang baik, desain yang trendi dan mungkin bisa membantu untuk tampil menawan.
Tapi mungkin kita luput dari pengetahuan bahwa ketika kita membeli produk fesyen dengan merek terkenal, sebenarnya biaya produksi yang dibutuhkan untuk membuat suatu produk tertentu, jauh lebih rendah ketimbang harga jualnya. Lalu sebenarnya apa yang kita beli?
Sebenarnya pertanyaan ini bisa dijawab dengan banyak hal. Kita sebagai konsumen bisa nyaman dengan produk dari merek ternama kelas dunia karena kita membeli produk dengan jaminan kualitas. Merek-merek tersebut membutuhkan waktu lama, bahkan puluhan tahun untuk mendapatkan kepercayaan pasar bahwa produknya berkualitas.
Di sisi lain, merek-merek tertentu punya kesan tertentu di mata konsumen, seperti: keren, sporty, maskulin, gagah, anggun, berkelas, dan berbagai kesan-kesan mengagumkan lain yang telah direkayasa sedemikian rupa, sehingga produk dari merek-merek tersebut melambangkan citra tertentu.
Untuk menghasilkan kesan tersebut, merek-merek tersebut telah membelanjakan nominal yang besar selama jangka waktu yang lama untuk memberi anggapan dan kesan tertentu terhadap produk yang mereka produksi.
Dari iklan, merek-merek tersebut bukan hanya menjual produk atau barang, mereka menjual citra, kesan, sensasi dan pengalaman bagi konsumennya. Hal ini telah menjadi semacam “ajang permainan” dalam dunia pemasaran hari ini.
Kapitalisme, Konsumerisme dan Media Sosial
Jika kita melihat industri fesyen dan bagaimana merek-merek tersebut memasarkan produknya secara kritis, kita akan melihat bagaimana pola kapitalisme bekerja.
Kapitalisme yang menggunakan media periklanan untuk menjual kesan dan sensasi terhadap produknya, hari ini telah sampai pada tahap menggunakan media sosial sebagai senjata untuk menciptakan masyarakat yang konsumtif.
Melalui revolusi gaya hidup yang ditawarkan di media sosial — melalui influencer dan selebriti lewat akun medsos mereka — bermaksud menjadikan masyarakat sebagai konsumen yang secara psikologis terpikat untuk terus membeli produk-produk kapitalisme.
Masyarakat belanja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup semata, melainkan membeli produk untuk mendapatkan sensasi atau kepuasan psikologis melalui afirmasi sosial sebagai seorang yang ikut tren, dianggap berkelas, punya status sosial dan sensasi yang ditawarkan.
Thorstein Veblen, seorang ekonom dan sosiolog abad ke-19 terkenal dengan istilah "conspicuous consumer" yang ia jelaskan dalam bukunya "The Theory of the Leisure Class" (1899). Conspicuous consumer menurut Veblen merupakan cara untuk menunjukkan status sosial seseorang, terutama ketika barang dan jasa yang dipajang di depan umum terlalu mahal bagi anggota kelas yang sama. Jenis konsumsi ini biasanya dikaitkan dengan orang kaya tetapi dapat juga berlaku untuk kelas ekonomi mana pun.
Jean Baudrillard, seorang filsuf postmodernisme abad ke-20 mengungkap tentang budaya konsumerisme yang terjadi hari ini. Ia mengatakan bahwa dalam budaya konsumerisme, yang kita beli bukan hanya sebatas produk, melainkan sebuah penanda, simbol atau bahasa — ia menyebutnya signifier effect — yang menciptakan makna atau kesan tentang siapa kita. Pola konsumsi kita, secara semiotika, terkait dengan cara kita memproduksi identitas kita secara psikologis dalam pandangan dan kesan masyarakat.
Konsumen di era pasca modern yang tanpa makna ini tidak punya pilihan lain, selain terus mengonsumsi produk dengan berharap untuk dapat memenuhi hasratnya dalam memberi makna terhadap hidup.
Bagi Baudrillard, konsumerisme bukan hanya sebatas sistem ekonomi, namun menjadi sebuah cara bagaimana masyarakat pasca modern berfungsi. Produk-produk adalah simbol dan menerangkan tentang diri kita, lebih dari yang kita sadari
Konsumerisme menjadi alat untuk menemukan tempat tersendiri di dalam masyarakat dan alat untuk menentukan keadaan sosial. Konsumerisme menjadi alat untuk menjadi seperti yang kita inginkan dan menentukan bagaimana dunia melihat kita.
Baudrillard percaya bahwa media dan budaya siber — media sosial hari ini — bertanggung jawab atas terciptanya masyarakat konsumerisme. Ia percaya bahwa citra dan pengalaman yang diciptakan oleh media ini memiliki dampak besar pada sistem ekonomi pasca modern.
Pola Konsumsi yang Bijak
Sebagai konsumen dan makhluk sosial, ingin kelihatan keren melalui fesyen yang dikenakan sebenarnya lumrah dan manusiawi. Namun hal ini harus diatur dengan bijak. Produk yang harganya tak sesuai dengan kantong atau pemasukan sebaiknya dihindari. Ketimbang hanya melihat merek, dengan membanjirnya produk , kita masih bisa memilih produk yang berkualitas, keren, namun hemat di kantong.
Soal fesyen dan berpakaian, selayaknya kita melihat soal kenyamanan pribadi ketimbang mendapatkan pujian atau validasi dari orang lain. Orang lain mungkin melihat kesan pertama dari cara kita berpakaian. Namun tanpa didukung oleh karakter dan perilaku yang baik serta menyenangkan, kesan yang timbul dari gaya berpakaian pun akan pudar nantinya.
Mengenai kebijaksanaan dalam pola konsumsi, mengapa kita tidak turut mendukung produk lokal yang asli buatan Indonesia yang tak kalah bagusnya?
Jika semua warga Indonesia punya preferensi memilih merek-merek mewah buatan luar negeri, lalu bagaimana dengan nasib merek-merek dalam negeri? Tentu kita sebagai warga negara yang baik, cinta tanah air, harus turut mendukung produk dalam negeri.
Bicara tentang merek dalam negeri, saya kagum dengan Sandiaga Uno. Ia adalah konglomerat, namun mau menggunakan fesyen merek lokal untuk mendukung produk dalam negeri. Mungkin kita bisa belajar dari beliau, menciptakan tren baru menggunakan merek-merek dalam negeri.
Komentar
Posting Komentar